CakNun.com
Kebon (106 dari 241)

Tidak Penting Esa atau Tunggal

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Karawaitan DInasti.
Mocopat Syafaat edisi Februari 2021.
Foto: Adin (Dok. Progress).

Di sela latihan dengan Dinasti menjelang pergelaran di Mocopat Syafaat 11 Februari 2021, Seteng Yuniawan menjawil saya dan mengemukakan sesuatu. “Jaman koyo ngene kok awake dewe gawe pementasan koyo ngene”. Di zaman kayak begini kok kita bikin pementasan kayak gini.

Kemudian kami berdialog lirih di sela-sela dentuman gamelan Dinasti. Kalimat Seteng sangat konotatif dan asosiatif. Artinya harus tidak ditangkap atau dipahami secara “wantah”. Zaman kayak gini maksudnya mungkin ketika kehidupan sedang berkibar-kibar dengan teknologi komunikasi dan informasi yang sedemikian canggihnya. Di mana seseorang sambil buang air besar di WC, memegang gadget, dan menyentuh-nyentuhkan jari-jarinya ke layarnya, ia bisa mengubah dunia. Sambil besok setiap orang bisa ikut membangun peradaban, atau merusaknya. Bisa menenteramkan hati jutaan orang, atau mengacaukannya. Bisa memuji-muji atau memaki-maki, bisa menyebarkan kebenaran atau kebohongan, berkah atau fitnah. Dan akses dari WC itu bisa menembus batas-batas semua negara, benua, dan teritorial apapun di sebulatan bumi.

“Jaman koyo ngene” itu maksudnya ummat manusia sudah sanggup melakukan berjuta-juta pencapaian yang setengah abad silam masih merupakan khayalan. Era zaman di mana orang bisa menjatuhkan bom-bom perubahan dinamika kemanusiaan dan peradaban, tanpa pelempar bom itu ketahuan wajahnya, atau bahkan ia sendiri tidak pernah mampu menghitung seberapa besar perubahan yang ditimbulkan oleh jari-jarinya. Atau seberapa berkah dan kerusakan yang lahir dari jongkoknya di WC.

Sementara “pementasan koyo ngene” pasti maksudnya adalah hal-hal yang jadul yang kuno, yang tidak aksesebel kepada dunia nyata hari ini. Karawitan Musik Dinasti diwujudkan, dibunyikan, ditabuh, dipetik, disuarakan, bukan oleh pemusik-pemusik. Apalagi players terpilih. Mereka hanya anak-anak kampung Dipowinatan. Membunyikan gamelan Jawa tetapi mereka bukan ahli karawitan. Biolanya Narto juga hanya lulusan keroncong kampung Yogya. Gitar Nevi semata-mata karena senang dan cinta. Pianika Joko Kamto ditiup sejauh yang diperlukan oleh aransemen. Terompetnya Kelik berikhtiar semaksimal mungkin.

Tetapi intinya, semua yang berlangsung dalam musik Dinasti itu tidak memenuhi persyaratan profesional tradisi dunia musik modern. Yang paling tidak terpenuhi adalah bahwa mereka tidak bekerja setelah ada perjanjian honorarium atau upah. Mereka bersemangat tandang. Mereka bergembira dan ikhlas, didorong oleh sesuatu yang lain. Bukan oleh janji materi. Bukan oleh jumlah uang. Juga bukan oleh efek sosialisasi, aktualiasi yang mungkin menghasilkan eksistensi dan popularitas.

Tetapi mereka bahagia. Sungguh-sungguh sumringah dan bahagia. Termasuk wajah Seteng di samping saya. Puisi “Berguru” sendiri bisa terlibat dalam tuduhan “antropomorfisme teologis”. Menggambarkan Tuhan dalam sistem wujud manusia. Meskipun sebenarnya itu semua sangat bergantung pada kemampuan cara pandang akal manusia sendiri. Bergantung pada daya pilah setiap orang dalam mengorganisir pemahamannya. Allah sendiri berfirman “biyadillah”, dengan tangan Allah. Tidak berarti Allah punya tangan, lengan, jari jemari, kelingking, jempol, hingga kuku, sebagaimana manusia. Allah juga menegaskan bahwa bahasa firman-Nya kepada manusia disesuaikan dengan “bilisani qoumihi”. Dengan bahasa kaum yang bersangkutan. Bahkan terang-terangan Allah berfirman menggunakan Bahasa Arab, bukan Bahasa Madura atau Indonesia.

Andaikan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw itu turun di abad 20-21, sehingga mushaf Qur`an itu sampai ke tangan para ahli bahasa dari Universitas-Universitas tertentu yang menerima Al-Qur`an, lantas mereka melakukan verifikasi akademis terhadap kata dan kalimat-kalimat Qur`an — kita jangan marah. Siapa saja mengungkapkan sesuatu menggunakan bahasa, wajib dicek dan ricek, diperiksa, diuji untuk diluluskan atau tidak oleh para pakar bahasa. Termasuk fakta bahwa wahyu itu ditanazzulkan oleh Malaikat Jibril secara lisan atau oral kepada Nabi Muhammad. Kemudian baru dituliskan secara sangat bertahap sesuai dengan tingkat peradaban tulis pada setiap era zamannya.

Ketika “Iqra`” dan seterusnya itu ditransfer oleh Jibril kepada Kanjeng Nabi, budaya tulisan Arab belum mengenal titik dan tanda-tanda baca. Nun atau Ta` atau Tsa` atau Syin dan Dho` belum ada titiknya. Hanya goresan seperti “perahu-perahu”. Ada yang lonjong panjang ada yang bulat pendek. Belum juga ada tanda yang membuat sebuah huruf misalnya ba` menjadi ba karena dikasih fathah. Atau syu karena dikasih dhommah.

Sudah adakah skripsi S1, Tesis S2 atau Disertasi S3 yang menganalisis secara ilmiah akademis bahasa Al-Qur`an berdasarkan kaidah-kaidah bahasa yang dikenal dan diakui oleh manusia? Jangan-jangan Allah S1 saja tidak lulus. Apalagi ada deretan huruf yang tidak jelas dunung arti dan pemaknaannya. Misalnya “Alif Lam Mim”, “Nun”, “Qaf”, “Kaf Ha Ya ‘Ain Shad” atau ‘’Ya Sin”. Kalau tidak ada penjelasan ilmiah akademisnya, faktor itu bisa menimbulkan bias, kontroversi, konflik, dan pertentangan, yang melahirkan golongan-golongan, aliran-aliran, ormas-ormas, bahkan mungkin parpol-parpol. Dan tidak mustahil bisa memicu peperangan.

Jadi manusia tidak punya peluang dan kemungkinan lain kecuali menjalani “antropomorfisme teologis”. Tuhan adalah Awal dan Akhir kehidupan. Tuhan adalah Maha Primer segala urusan makhluk. Tuhan adalah landasan utama setiap dan semua pertimbangan perbuatan manusia. Tetapi manusia dilarang menggambarkan Tuhan secara wujud pengetahuan yang dikenal oleh manusia. Tuhan tidak boleh dirumuskan dengan kata dan simbol. Tuhan tidak bisa diantarkan dari tidak mengerti menuju mengerti. Allah sendiri jelas “laisa kamitslihi syaui`un”.

لَیۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَیۡء
وَهُوَ ٱلسَّمِیعُ ٱلۡبَصِیرُ

“Tiada satu pun yg sama dgn Allah. Dan, Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”

Tidak seperti atau sebagaimana apapun dalam hal apa saja. “Lam yakun LaHu kufuwan ahad”. Tidak bisa disentuh dengan simbolisasi apapun dan perumpamaan secanggih apapun sejauh maksimalitas ikhtiar manusia dan makhluk lainnya.

Lainnya

Mengadili dan Membijaksanai

Mengadili dan Membijaksanai

Kecuali Allah sendiri yang menuturkan penggambaran atas dirinya. Allah mengajari manusia untuk mengenali kehadiran-Nya, perilaku-Nya, sifat-Nya, tetapi bukan Diri Sejati-Nya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik