CakNun.com
Majelis Ilmu Bangbang Wetan Surabaya edisi Juli 2021

Sinau Hayaty Khidmaty dari Cak Fuad

Dok. Bangbang Wetan

Hayaty Khidmaty

Merespons pertanyaan tentang bagaimana ceritanya beliau bisa masuk menjadi anggota dari sembilan dewan Board of Trustees yang dibentuk oleh Raja Abdullah, Cak Fuad berharap kepada kita agar tidak terlalu membesar-besarkannya. Menurut beliau itu menjadi hal yang biasa saja, sebab hal tersebut bagi beliau bukan karier. Beliau tidak pernah berpikir untuk mencapai tingkat apapun dalam hidupnya. Karena motto hidup beliau “hayaty khidmaty”: hidupku pengabdianku.

Kebetulan Cak Fuad dilahirkan dalam keluarga yang peduli kepada Al-Qur’an termasuk bahasa Arab. Maka sejak SD, beliau bersama Cak Nun sudah dimasukkan kursus tilawatil Qur’an yang lokasinya di luar desa Menturo. Jadi orangtua Cak Fuad dan Cak Nun sejak kecil sudah menanamkan rasa cinta kepada Al-Qur’an termasuk di dalamnya bahasa Arab.

Mengenai pengabdian hidup, Cak Fuad mengungkapkan bahwa beliau belajar dari orangtua. Beliau bukan belajar dari nasihat orangtua, melainkan menghayati dari kehidupan Ayah Muhammad dan Ibu Chalimah — yang memang hidupnya diabdikan untuk agama dan masyarakat.

Sejak di Pesantren Gontor, Cak Fuad sudah aktif di dalam bahasa Arab. Beliau ketika kelas satu SMA di Gontor sudah menerbitkan majalah dinding berbahasa Arab. Beliau dengan Kyai Hasan Abdullah waktu itu mendirikan Jam’iyatul Qurro’, karena beliau dan Kyai Hasan Abdullah termasuk qari’ yang sering disuruh membaca Al-Qur’an oleh Pak Kyai ketika ada tamu datang ke pondok.

Waktu itu Cak Fuad juga ditunjuk sebagai bagian pengajaran dari organisasi pelajar. Tugasnya adalah mengurusi imam, qari’, dan muazin di masjid, mengurusi kursus bahasa Arab sore hari, dan juga mengurusi muhadlarah latihan pidato tiga bahasa.

Setelah tamat Gontor, Cak Fuad masuk IAIN Yogyakarta mengambil jurusan Sastra Arab. Mulai tingkat satu beliau sudah menerbitkan majalah yang tercetak berbahasa Arab, dengan biaya sendiri berdasar kemampuan teman-teman Cak Fuad waktu itu. Penerbitan majalah tercetak berbahasa Arab itu berjalan terus sampai Cak Fuad tamat kuliah dan menjadi dosen di IAIN sekitar dua tahunan.

Ketika Cak Fuad diterima sebagai dosen di IKIP Malang, beliau mendirikan majalah baru yang meluas ke hampir seluruh kota di Indonesia. Majalah yang beliau terbitkan tidak ada hubungannya dengan lembaga, melainkan usaha pribadi beliau bersama teman-teman yang cinta bahasa Arab.

Puncak pengabdian hidup Cak Fuad terhadap agama khususnya bahasa Arab ketika mendirikan IMLA: Ittihad Mudarrisi Al-Lughah Al-Arabiyyah, yang itu pun menurut beliau terbentuk tidak berasal dari bayangan yang muluk-muluk. Bersama dekan fakultas Sastra IAIN Yogyakarta dan UGM, beliau memperluas IMLA sampai ke internasional. Pada undangan di Riyadh, IMLA ini dijadikan model organisasi dan pembelajaran bahasa Arab berbagai negara yang hadir, supaya belajar kepada IMLA dan meniru apa yang sudah ada di Indonesia.

“Jadi itu saja yang saya lakukan. Tidak ada dalam rangka menempuh karier. Wes pokoknya mengabdilah. Mengabdi dan tidak mengharapkan dukungan biaya proyek. Semua kita lakukan dengan usaha swadana dan swadaya,” tegas Cak Fuad.

Oleh karena itu, Cak Fuad diangkat menjadi anggota dewan Board of Trustees, menurutnya karena hadiah dari Allah, disuruh rekreasi. Beliau menganggap hal pengangkatan menjadi dewan Board of Trustees karena dihibur oleh Allah. Karena selama ini beliau tidak pernah rekreasi.

Satu hal yang perlu Cak Fuad tekankan, hal pengangkatan beliau menjadi anggota dewan Board of Trustees itu bukan karena kepakaran, melainkan sebagai aktivis atau penggerak bahasa Arab.

AL-Qur’an Sebagai Obat Rohani

Mas Rio melanjutkan pada pertanyaan bagaimana caranya ketika kita menghadapi suatu permasalahan kami terhubung dengan solusinya yang berasal dari Tuhan, melalui Al-Qur’an. Cak Fuad merespons dengan pemahaman bahwa Al-Qur’an itu dikatakan sebagai obat yang sifatnya rohani. Misalnya ketika kita menghadapi problem, kita lantas membaca Al-Qur’an insyaAllah sudah akan meleremkan hati kita. Dari semula kita mungkin panik, merasa tertekan, dan terdesak, InsyaAllah ketika kita membaca Al-Qur’an akan terasa sedikit longgar.

Ada juga pengalaman dari salah satu jamaah Cak Fuad yang sedang mengalami problem pada anaknya. Setiap kali orangtua anak itu melakukan shalat malam, lantas tidur maka di dalam mimpinya beliau memimpikan surat Ar-Ra’d. Orangtua anak itu yang keduanya berprofesi sebagai dokter mengalami stres karena anaknya meninggal dalam kandungan. Dokter yang semestinya merasa paling tahu perihal kesehatan medis, kok bisa sampai terjadi anaknya meninggal ketika istrinya mengandung, maka streslah pasangan dokter tersebut.

Cak Fuad menyarankan untuk memperbanyak berdoa dan shalat kepada pasangan dokter itu untuk menghilangkan stres. Ketika Cak Fuad membuka surat Ar-Ra’d yang selalu dimimpikan oleh pasangan dokter tersebut, beliau menemukan memang di dalamnya ada ayat yang berbicara tentang anak manusia yang ada di dalam kandungan itu, Allah yang menentukan nanti anak akan bagaimana.

Cak Fuad menganjurkan kepada pasangan dokter yang menjadi jamaahnya itu bahwa tidak perlu stres atas apa yang terjadi. Semua itu adalah kehendak dan sudah diatur oleh Allah Swt. Sehingga tidak diperkenankan menyalahkan diri sendiri. Jangan lantas merasa dokter yang tahu banyak tentang kesehatan, yang merasa tidak bisa menjaga kesehatan anaknya sehingga berujung keguguran, menyalahkan diri sendiri.

Sesuatu hal yang sudah terjadi itu, menurut Cak Fuad sudah takdir Allah memang terjadi seperti itu, harus diterima dengan ikhlas. Dan kedua pasangan dokter tersebut akhirnya mulai merasakan kelegaan setelah mendengar penjelasan dari Cak Fuad.

Cak Fuad menambahkan perihal Al-Qur’an sebagai obat bahwa kalau kita sedang susah, beliau menganjurkan dalam keadaan berwudhu kita melakukan shalat dan membaca Al-Qur’an: dimulai membaca Al-Fatihah diteruskan membuka Al-Qur’an secara acak, menemukan di dalam pilihan acak itu solusi dari problem yang membuat kita susah.

“Tentu kalau bisa setiap hari kita memang sudah akrab dengan Al-Qur’an, jangan kalau punya masalah tok. Tiap hari diusahakanlah! Paling tidak melirik Al-Qur’an yang kita punya di rumah. Melirik saja itu merupakan bentuk interaksi. Syukur-syukur jika nanti kita mempunyai waktu senggang bisa membaca Al-Qur’an. Sederhananya sebenarnya, sebab tuntutan Al-Qur’an itu tidak sama kepada setiap orang. Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya,” pesan Cak Fuad.

Hidup Mandiri di Yogyakarta

Ternyata pada waktu Cak Fuad melanjutkan sekolah di Yogyakarta, beliau bersama adik-adik yang ikut sekolah di Yogyakarta dididik untuk mandiri. Jadi beliau ke Yogyakarta dengan situasi orangtua yang mempunyai tanggung jawab mengasuh madrasah: harus menghidupi guru-guru, menyediakan makan dan tempat tinggal—yang itu semua ditanggung oleh Ayah Muhammad. Sementara SPP dari siswa tidak mencukupi untuk membiayai itu semua, karena siswa pada waktu itu hanya membayar SPP berupa padi setiap orangtua mereka panen.

Meihat perjuangan Ayah Muhammad dan Ibu Chalimah luar biasa terhadap sekolah, agama, dan masyarakat, ketika di Yogyakarta Cak Fuad mulai menyadari bahwa beliau harus bisa mandiri. Maka, waktu itu beliau ingin mengikuti kursus mengetik supaya bisa kerja dengan keahlian mengetik tersebut. Tapi waktu itu Ayah Muhammad tidak setuju, karena menurut beliau mengetik tidak butuh kursus, bisa dipelajari sendiri. Ibu Chalimah yang justru mendukung keinginan Cak Fuad untuk kursus mengetik.

Dok. Bangbang Wetan

Maka secara diam-diam — tanpa sepengetahuan Ayah Muhammad, Cak Fuad menitipkan jam tangannya ke Ibu Chalimah untuk menjadi jaminan supaya dibelikan mesin ketik. Akhirnya keinginan untuk dibelikan mesin ketik terlaksana atas diplomasi Ibu Chalimah terhadap Ayah Muhammad yang cenderung tidak setuju. Dan mesin ketik itulah yang kemudian menjadi modal Cak Fuad beserta adik-adiknya untuk bisa hidup mandiri di Yogyakarta.

Suri Tauladan Cak Fuad

Kita tahu bahwa Cak Fuad menjadi suri tauladan bagi adik-adiknya termasuk Cak Nun. Cak Fuad mengungkapkan sebenarnya beliau sebagai anak pertama merasa kurang bisa membantu adik-adik dalam masa-masa sulit — yang keluarga Cak Fuad alami setelah Ayah Muhammad meninggal dan ibaratnya menjadi keluarga termiskin di Menturo.

Cak Fuad mengungkapkan bahwa seharusnya setelah bekerja, beliau bisa membantu menghidupi adik-adiknya. Tetapi waktu itu gaji pegawai negeri masih sangat rendah, jadi untuk keperluan hidup selama sebulan pas — dengan cara hidup ngirit yang luar biasa. Apalagi ketika Cak Fuad harus ngontrak rumah dan pinjam uang di koperasi maka harus nyicil, gaji itu sudah tidak cukup.

Padahal, dalam hati Cak Fuad ingin membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Maka mesin ketik yang dibelikan Ayah Muhammad itu oleh Cak Fuad dibawa ke Malang untuk menerima ketikan skripsi dari mahasiswa di sana — meskipun Cak Fuad sudah menjadi dosen. Cak Fuad membuka kios itu di daerah Dinoyo, sambil menjual keperluan sehari-hari: menjual alat tulis, sabun, dan lain sebagainya.

Cak Fuad memang merasakan bahwa beliau menjadi panutan bagi adik-adiknya dan keluarga yang lain begitu menghormati. Tapi menurut Cak Fuad itu semua bukan karena beliau hebat sehingga dihormati. Semua itu menurut beliau karena Allah dan memang lingkungan keluarga mendidik seperti itu. Yang muda menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda. Pendidikan keluarga secara umum itu sangat menentukan.

“Tidak hanya dari Bani Muhammad, bahkan dari Bani Latief penghargaan terhadap yang lebih tua sangat dipentingkan. Bahkan tidak hanya dari segi usia, sampai pada hierarki keluarga — orangtua yang lahir lebih tua dalam garis keturunan kakek nenek lebih dihormati dari garis keturunan setelahnya (lebih muda),” ujar Cak Fuad.

Maka Cak Fuad sebagai kepala suku Bani Latief bisa memahami bermacam-macam dinamika dalam keluarga besar Bani Latief. Beliau selalu menunjukkan kelapangan, mencoba membantu mencarikan solusi, jika ada anggota keluarga mengalami masalah. Beliau juga tidak pernah merendahkan dan meninggikan anggota keluarga satu dengan yang lain — tidak terkesan membeda-bedakan. Cak Fuad menghargai dan menghormati semua anggota keluarga Bani Latief.

Menjadi Marja’ Cak Nun

Perihal menjadi marja’ khususnya oleh Cak Nun dalam mentashihkan setiap ayat di dalam tulisannya yang akan dikeluarkan, Cak Fuad merasa bersyukur karena masih dijadikan tempat bertanya dan bisa dipercaya. Cak Fuad dijadikan rujukan karena beliau mempunyai sumber-sumber yang bisa dipelajari ketika harus menjawab pertanyaan dari Cak Nun.

Pertanyaan dari Cak Nun tidak semuanya bisa langsung dijawab oleh Cak Fuad, karena beliau merasa tidak mempunyai pengetahuan yang cukup. Tapi karena Cak Fuad memiliki banyak referensi buku di rumah, maka hampir semua pertanyaan Cak Nun bisa dijawab — jawabannya punya dasar yang kuat.

Perlu Cak Fuad sampaikan bahwa tidak semua pandangan Cak Nun yang ditashihkan cocok dengan beliau, ada yang tidak sependapat. Ketika pendapat Cak Nun dianggap tidak menyalahi hal-hal yang sifatnya prinsip di dalam agama, oleh Cak Fuad dibiarkan. Meskipun mungkin Cak Fuad tidak seratus persen setuju.

“Yang penting tidak menyalahi hal-hal yang sifatnya pokok di dalam agama. Itu saya anggap sebagai kreativitas dan hal itu bagus,” ungkap Cak Fuad.

Pemilik Angka Tujuh

Pembahasan mengalir sampai pada ungkapan Cak Nun yang menyatakan bahwa Cak Fuad itu pemilik angka tujuh, semua serba tujuh. Dari lahir tanggal 7, bulan 7, tahun 1947, sampai nomor rumahnya D-77. Mas Rio menanyakan pernahkah Cak Fuad mengalami hal istimewa terkait ketujuhan ini? Cak Fuad menjawab terkait ketujuhan ini sebenarnya isyarat dari Allah.

Cak Fuad sering mengalami hal-hal yang berkaitan dengan angka tujuh. Misalnya suatu ketika menginap di hotel, sering diberi kamar dengan nomor yang ada angka tujuhnya. Terkait nomor rumah D-77 ini, menurut Cak Fuad juga aneh. Karena tidak urut dari nomor rumah yang lain.

Akhirnya Cak Fuad mengambil sikap bukan karena percaya kepada angka tujuh itu bagaimana, tapi rupanya angka tujuh ini menjadi sikap hidup Cak Fuad kepada Allah untuk selalu merasa cukup, tidak ingin meraih lebih dari tujuh.

Perihal sikap hidup tujuh misalnya, Cak Fuad ketika selesai menjadi dekan, oleh teman-temannya diusulkan lagi untuk menjadi dekan lagi dan menempuh karier sampai tingkat rektorat. Tapi menurut Cak Fuad, apa yang beliau peroleh selama ini sudah cukup, lebih dari tujuh. Sehingga menurut beliau kalau diteruskan menjadi tidak baik.

Ternyata dengan Cak Fuad qanaah dengan sikap hidup tujuh itu, Allah memberi yang terbaik. Kalau seandainya beliau meniti karier sampai delapan atau sembilan, bisa jadi menurut beliau tidak baik bagi dirinya.

Jadi, semua hal itu bukan percaya dengan kesaktian angka tujuh. Itu semua menurut Cak Fuad merupakan isyarat dari Allah untuk meneguhkan prinsip bahwa orang hidup itu harus bisa membatasi diri.

Sesuai yang dikatakan Cak Nun bahwa kemerdekaan adalah pengetahuan akan batas. Jadi angka tujuh menurut Cak Fuad adalah kemerdekaan. Dengan angka tujuh itu, beliau tahu batas-batas sejauh mana harus melangkah dan meraih sesuatu.

Di akhir majelis, Cak Fuad berpesan kepada kita untuk meneguhkan kesetiakawanan dan peseduluran tanpa batas kepada siapapun, tidak hanya sesama Jamaah Maiyah. Sesuai sabda Nabi Saw., “Sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna untuk orang lain”.

Surabaya, 2 Agustus 2021.

Lainnya

Berdangdut Tak Harus Tawur

Berdangdut Tak Harus Tawur

Aroma khas pesisir pantai utara sudah mulai tercium tatkala memasuki gapura bertuliskan Desa Dalegan.

Dukohkidul Sinau Sedekah Agungnya Allah

Dukohkidul Sinau Sedekah Agungnya Allah

Hajat dan tema Sinau Bareng tadi malam di desa Dukohkidul Ngasem Bojonegoro adalah Sedekah Bumi, dan dari sedekah bumi ini Mbah Nun sampai pada ungkapan ‘sedekah agungnya Allah’.