Self Releasing, Muhadlarah, dan Bayyinat
Kalau kita mengenal idiom guru, ustadz, kiyai, pendidik, mu’allim, mursyid, tutor, narasumber, pernahkah kita bertanya: apa maknanya, apa asal katanya, dari mana asal-usulnya, bagaimana konteks penerapannya, mengapa ia digunakan pada konteks tertentu sedangkan yang lain tidak?
Apa pertimbangan ideologi, filosofi, etimologi, denotasi, dan konotasi, serta aksiologi penggunaan satu kata, misalnya “tenaga pendidik”, yang menggantikan kata “guru” dalam konteks pendidikan?
Kita bisa menderet ratusan pertanyaan untuk sebuah kata yang terlanjur populer digunakan pada lingkup pendidikan, politik, ekonomi, dan agama. Urusan satu biji kata bukanlah sekadar kata itu sendiri. Terdapat konteks, fakta, kasunyatan yang berlapis-lapis, berlipat-lipat, bersamar-samar, misterius, dan gaib yang melingkupi satu biji kata. Itu baru satu kata, belum bagaimana yang satu biji itu berinteraksi dengan pikiran dan emosi kita.
Dan pagi itu, Sabtu (20/11), dipandu oleh Mbah Nun, Bapak Nevi Budianto, dan Bapak Joko Kamto para guru SMK Global diajak memasuki atmosfer belajar yang bukan saja kompatibel untuk menjawab deretan pertanyaan di atas.
Acara bertajuk Ta’dib Keluarga Besar SMK Global yang diselenggarakan Yayasan Al Muhammady Mentoro juga mendorong para guru menemukan puzzle kesadaran baru lalu menyusunnya kembali melalui rekonstruksi pengalaman nyata. Ta’dib yang sekaligus ta’addub.
Ditemani mendung dan rintik gerimis, didekap udara pagi yang dingin usai sisa hujan semalam, para muaddibin dan muaddibaat malah merasa ungkep. Sesi pertama adalah sesi peregangan otot kaki, punggung, lengan tangan. Pak Nevi langsung turun tangan. Peserta Ta’dib diengkuk-engkuk badannya sesuai gerakan yang dicontohkan oleh sesepuh KiaiKanjeng itu. Badan pun berkeringat.
Ta’dib yang mungkin dibayangkan para guru akan berlangsung super serius dan mengerutkan kening justru menjadi ruang kegembiraan bersama. Padahal ini baru sesi pertama: Self Releasing dan Exploring.
Tidak hanya peregangan otot, Pak Nevi mengajak peserta Ta’dib melepaskan ekspresi melalui gerak badan bebas. Diiringi lagu Rampak Osing KiaiKanjeng, anggota badan pun bergerak mengikuti irama lagu. Kepala, tangan, kaki, wajah, kedua bola mata harus digerakkan. Setiap peserta bebas mengekspresikan gerak badan model apa pun.
Situasi riuh rendah ini tidak dibayangkan menjadi bagian dari proses exploring Ta’dib. Rasa canggung, sungkan, pakewuh yang selama ini menghalangi keberanian berekspresi runtuh bersama lagu Rampak Osing. Ini semacam terapi untuk meruntuhkan mental block.
Giliran aktor teater, Pak Joko Kamto, mengambil alih situasi. Kali ini menunya adalah latihan pernapasan dan olah vokal. Kendati tidak bertujuan untuk tampil di pentas teater, latihan yang dipandu sahabat Mbah Nun ini menekankan pentingnya kesadaran terhadap ruang dan audiens saat berbicara. Volume suara dan intonasi berbicara di hadapan lima puluh orang—tanpa pengeras suara—berbeda dengan bicara di hadapan dua orang.
Kegiatan exploring semakin seru ketika peserta Ta’dib melakukan ekspresi gerak badan dan muka. Dua orang saling menirukan layaknya orang bercermin. Ekspresinya bebas dan merdeka. Tak urung, gelak tawa pun pecah.
Di tengah atmosfer kegembiraan itu Mbah Nun menebar benih-benih penyadaran: “Siapa di antara Anda yang hari ini tidak memiliki uang?” Ajaibnya, hampir semua peserta mengangkat tangan. “Apakah karena tidak memiliki uang lantas Anda tidak bahagia? Faktanya, meskipun tidak punya uang hari ini Anda tetap bisa bahagia. Bahagia atau tidak bahagia bukan karena Anda dikendalikan oleh uang, melainkan secara default Anda diciptakan sebagai manusia yang bahagia.”
Demikian benih-benih itu ditabur pada momentum yang tepat. Juga ketika peserta Ta’dib mengikuti sesi kedua, yakni Muhadlarah. “Yang utama bukan apa yang ada dalam pikiran Anda, melainkan siapa audiens utama Anda,” saran Mbah Nun.
Hal ini merespons simulasi peserta Ta’dib yang akan berpidato sebagai apa kepada siapa. Peserta bebas menentukan mau berbicara sebagai apa: Pak Lurah pidato kepada warganya, ibu kepada anaknya, kiyai kepada santrinya, kepala sekolah kepada para guru, dan seterusnya. Peserta akan menilai ia berperan sebagai apa.
Alhasil, kreativitas pun muncul secara spontan. Ada yang berpidato sebagai Kepala Sekolah SMK Global kepada para guru. Sales minuman kepada calon pembeli. Kasir minimarket kepada orang yang belanja. Tour guide kepada rombongan orang yang sedang rekreasi.
Pada sesi Muhadlarah atmosfer belajar telah terbentuk dan berjalan secara natural. Hal itu ditandai oleh antusiasme peserta dan spontanitas cuatan-cuatan kreativitas yang di antara mereka sendiri tidak menduga. Psikologi mental peserta pada sesi Muhadlarah benar-benar merdeka. Saking merdekanya Cak Nang pun berkomentar, “Baru kali ini saya menyaksikan kemerdekaan belajar para guru di SMK Global.”
Sesi Muhadlarah pada dasarnya adalah pintu masuk menuju sesi selanjutnya, yakni Bayyinat: pemetaan, analisis, dan perumusan. Sesi ini lebih berat bobot tantangannya. Peserta dihadapkan pada sejumlah fakta yang harus dipetakan, dianalisis, dan dirumuskan.
Paragraf pembuka tulisan ini merupakan salah satu fakta yang menjadi bahan diskusi kelompok. Terbuka kesempatan antar kelompok untuk saling merespons, mempertanyakan, menyanggah, mengoreksi.
Yang menarik adalah terbukanya lapisan-lapisan fakta hubungan antara guru dan siswa. Konteks yang mana yang paling Anda utamakan dalam hal hubungan Anda dengan para murid?
- Hubungan antara yang pandai dengan yang belum pandai
- Hubungan antara orang yang lebih tua dengan yang lebih muda
- Hubungan sesama manusia dan sesama hamba Allah
- Hubungan sesama anggota masyarakat dan sesama warganegara
- Hubungan persahabatan
- Hubungan antara pihak yang membayar dengan yang dibayar
- Hubungan pihak yang berkuasa dengan yang dikuasai
- Hubungan antara sesama orang yang belajar
Saya merasa gemas dengan fakta — kalau kita mau jujur — yang kerap terjalin adalah hubungan antara pihak yang membayar dengan yang dibayar. Kita dikepung oleh pembenaran sepihak yang kemenyek mengatasnamakan lembaga pendidikan tapi faktanya perusahaan. Berlagak membuka kelas pembelajaran tapi aslinya membangun supermarket.
Mengapa pada sesi Bayyinat peserta mendiskusikan hal itu? Tidak untuk menyudutkan kenyataan yang beredar di sebagian besar sekolah, melainkan untuk menemukan kembali orisinalitas, autentikasi, dan substansi hubungan antara guru dan siswa di SMK Global.