Saling Tumbuh Mental Wirausaha

Ungkapan berikut amat akrab di masyarakat Jawa. Tuna sathak bathi sanak. Artinya kurang lebih dapat untung ala kadarnya tak apa asalkan tambah persaudaraan. Sepertinya ungkapan arif inilah yang melambari paparan Cak Nun tadi Minggu malam (12/09). Beliau membabar Nandur Mental Wirausaha bersama Diplomat Success Challenge (DSC) Wismilak Foundation dengan mengajukan keseimbangan homo socius dan homo economicus.
Tak ayal bagi masyarakat Jawa keyakinan atas keuntungan tak sekadar berwujud finansial tapi juga persahabatan. Pemahaman ekonomi betapapun hendaknya dilandasi dalam bingkai kemanusiaan. “Ekonomi insani” kalau kata Karl Polanyi, sejarawan dan ekonom kelahiran Wina. Itulah sebabnya, Cak Nun segera memaparkan pertanyaan lanjut, “Ada wirausahawan, pedagang, pengusaha. Lalu ada kapitalis, terus ada konglomerati. Apa bedanya wirausaha dan pengusaha?”
Di tengah zaman tatkala profil menjadi panglima, Cak Nun mengajak upaya perimbangan lewat nilai “penyayang dan pengasih” dalam wacana agama. Aras itulah letak pembeda antara pedagang dan wirausaha. “Kalau ada manusia yang hanya cari bathi tok maka derajatnya belum manusia,” kritik Cak Nun. Keuntungan bukan kekeliruan. Ia niscaya dalam berwirausaha. Namun, lanjutnya, bila keuntungan dan kemanusiaan berjalan harmonis, maka seseorang dapat meraih keberkahan. “Anda dapat bathi dua.”

Pendekatan dan strategi berwirausaha bisa beraneka rupa. Cak Nun menuturkan itu bergantung masing-masing orang. Tetapi fondasi nilai yang diterapkan selama berwirausaha kerap diabaikan. Cak Nun mengajak kembali menggali empat sifat Kanjeng Nabi yang terbuka luas diteladani bagi wirausahawan.
“Nomor satu sungguh-sungguh (shiddiq) . Kalau Anda bersungguh-sungguh, akan mendapatkan posisi amanah. Kalau Anda shiddiq atau tenanan maka output-nya jujur. Kalau Anda sudah tabligh maka akan mendapatkan kecerdasan, lantip, atau fathonah,” ujar Cak Nun. Jika empat sifat Nabi benar-benar diterapkan usaha apa pun akan berjalan berkah. Termasuk niat menjalankan bisnis. Bila keberangkatannya didasarkan atas “dimensi Maiyah” maka menurut Cak Nun tak perlu lagi cemas kehilangan ide bisnis.
“Usaha dalam dimensi Maiyah itu berpikirnya sosial, berlandas kebersamaan, dan bertujuan untuk masyarakat. Anda memulai dari kebutuhan di masyarakat. Bukan individual tapi sosial,” imbuh Cak Nun. Dengan begitu jenis usaha apa pun selalu berangkat dari kebutuhan atau persoalan kontekstual. “Itu pun manusianya harus berpijak pada hati yang tidak tega.”
Ide Lalu Berbagi
Edric Chandra, Program Inisiator DSC, segendang dan sepenarian dengan keseimbangan dalam berwirausaha buah pikiran Cak Nun. Menurut Edric, wujud keseimbangan program DSC terlihat dari jargon 3P: profit, people, dan planet. Ketiganya menekankan bukan hanya keuntungan yang hendak direngkuh, melainkan juga kemanfaatan sosial maupun lingkungan sekitar.
“Dalam sistem kewirausahaan utamanya berjejaring. DSC bukan bisnisnya aja yang bagus tapi yang dicari adalah orang yang berkarakter baik dan yang mau berbagi,” ucapnya. Ia melanjutkan misi programnya. Menemukan sekaligus merangkul orang baik untuk memecahkan masalah masyarakat melalui berwirausaha. Tak mengherankan kalau kata challenge di sana bermakna tantangan mencari masalah sebanyaknya untuk kemudian dipecahkan serta diberikan solusi seluasnya.

Dalam Sinau Bareng ini juga hadir Andromeda Sindoro, penyabet Best of the Best Challenger DSC|X tahun 2019. Pria lulusan Fakultas Peternakan UGM itu berhasil mengembangkan bisnis es krim. Ia beri nama Sweet Sundae Ice Cream. Usahanya itu Andro mulai semenjak tahun 2008 dengan motif melejitkan kesejahteraan peternak susu sapi. Lewat merangkul para peternak sapi, Sweet Sundae Ice Cream milik Andro berhasil menembus pangsa pasar internasional.
“Ide bisnis bermula dari salah satu persoalan di Sleman. Hasil ternak mereka dihargai murah. Ya akhirnya nggak untung malah merugi. Masa kerja apa-apa tapi malah menjual apa-apa. Dari susu sapi peternak itu kami olah jadi es krim. Bahan kami 120 persen lokal. Alhamdulillah sekarang usaha kami sudah tiga besar se-Indonesia,” kata Andro.
Pada 2011 Sweet Sundae Ice Cream mendirikan kantor. Tahun 2015 usahanya merambah Arab Saudi. “Kalau kita punya niatan baik maka semesta akan mendukung. Tujuan utama saya bukan menang tapi cerita kalau Indonesia punya susu. Kita itu punya potensi besar. Jangan impor susu lah,” tandasnya. Andro sedikit membocorkan kiat sukses menembus DSC: paham, piawai, dan persona.
Kuncinya Kolaborasi
Dunia wirausaha sebenarnya bukan hal asing bagi penggiat Maiyah. Malah sebagian besar jamaah merupakan wirausahawan di bidangnya masing-masing. Ambil contoh Rizky D. Rahmawan, Koordinator Simpul Maiyah itu. Di tangan kreatifnya Rizky mengubah gula jawa menjadi kristal. Ia jeli melihat potensi daerah di Kecamatan Somagede.
Mulanya masyarakat sekitar yang sebagian para penderas nira itu seperti berkerja sendiri-sendiri. Rizky menyinergikan segenap potensi mereka sehingga menaikkan nilai jual gula merah yang diolah penderas nira. Kuncinya menurut Rizky, “Kita berada di dua dekade satu lokalitas dan kolaborasi.” Usahanya kini meroket. Pasar internasional gayung bersambut. Para petani pun memperoleh apresiasi finansial skala global.

Orang bisa membayangkan tanpa kolaborasi barangkali kegiatan nderes (proses mendapatkan air nira kelapa sebagai bahan baku pembuatan gula jawa) tak akan disambut meriah di tingkat pasar internasional. Para petani memang tetap bekerja tapi gaungnya kurang dikenal khalayak luas. Rizky sebagai inisiator memboyong hasil olahan mereka agar dinikmati warga mancanegara. Itu dimungkinkan karena kolaborasi. Kolaborasi adalah kunci.
Melalui CV Mekanira Nusantara, Rizky dan sejumlah sahabat, selain menaikkan harga jual gula kristal, juga tengah menggenjot ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal. Hasilnya pun jempolan. Serbuk gula jawa kristal memiliki kadar air di bawah tiga persen. Ia bisa bertahan lebih lama selama satu setengah tahun tanpa bahan pengawet. Kelebihan ini jelas membuat produk bernama “SweetJava” amat unggul ketimbang gula merah biasa. Walau sekarang sudah berada di pucuk kesuksesan, Rizky tetap rendah hati dan tetap merasa masih proses belajar. Kariernya jatuh-bangun. Rekam jejak bisnisnya naik-turun.
“Kalau kita mulai sesuatu tidak bisa terburu-buru. Risetnya panjang. Kalau bikin bisnis awal-awal jangan langsung cari untung. Minimal proses dulu. Belajar. Sesuai nilai-nilai Maiyah. Bukan kapitalistik tapi belajar. Misalnya, gimana mendapatkan pasar. Dulu awal pemasaran bisnis ini di Blogspot. Lalu belakangan menjajaki media sosial. Itu pun masih tahap belajar sampai sekarang,” ungkap pemuda yang dikenal sebagai penggiat social entrepreneurship ini.
Malam itu Rizky menyitir kalimat mendiang Paulus Soegiono Dharmatjipto: local is the new sexy. Ungkapan itu benar-benar mengafirmasi sekaligus menginspirasinya ketika memulai usaha dengan menengok potensi warga di sebelah kanan dan kirinya. Tiap daerah punya potensi tertentu dan di situlah wirausahawan seyogianya membaca peluang. Lokal tak berarti tradisional. Tetapi sesuatu yang partikular atau kata E. F. Schumacher small is beautiful.

Seperti apa yang dilakoni Hari “Telo” koordinator Bangbang Wetan selama pandemi dua tahun belakangan. Ia mantap menjalani usaha “digital marketing” setelah beralih dari jualan telepon pintar. Profesinya sekarang pun akibat dari kolaborasi dengan salah satu jamaah Maiyah yang berkecimpung di dunia properti. Usai berembuk banyak hal ia lalu diminta memasarkan sebidang tanah luas yang tak terpakai. Lahan menganggur pun tak lama kemudian diminati pelanggan.
Dengan strategi pemasaran media dan ketekunan jemari di papan layar, Hari “Telo” meyakini betapa, “Hidup di dalam komunitas bisa membuat kita kuat survive di pandemi. Dan digital marketing ini saya dapatkan saat dituntut belajar dari mas Gandhie ketika meramaikan media sosial Bangbang Wetan.”