CakNun.com
Kebon (55 dari 241)

Pak Is dan Mas Is: Timur dan Barat, Langit dan Bumi

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Adin (Dok. Progress).

Betapa banyak, menghampar luas dan bertumpuk-tumpuk dosa saya dan KiaiKanjeng, Perdikan, Dinasti dan teman-teman Dipowinatan. Para ustadz dan pamimpin-pemimpin Islam sangat getol mengumumkan:

قال: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ ثَابِتٍ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي مُنِيبٍ الْجُرَشِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Imam Abi Daud berkata: “Telah menceritakan kepada kami ‘Utsman ibn Abi Syaibah, berkata: telah menceritakan kepada kami Abu al-Nadhr, berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman ibn Tsaabit, berkata: telah menceritakan kepada kami Hassaan ibn ‘Athiyyah, dari Abi Munib al-Hursyiy, dari ibn ‘Umar, berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari kaum tersebut.

Dulu Belanda, orang-orang kafir mengajari bangsa Indonesia pakai baju dan celana model orang Barat. Maka karena semua kita sekarang berpakaian seperti itu maka kita semua ini kafir. Orang musyrik minum air mineral, kita pun meminumnya, maka kita musyrik. Orang munafik bersekolah, anak-anak kita pun kita didik untuk menjadi orang munafik dengan menyekolahkan mereka. Orang-orang fasiq meniti karier di bidang politik, pemerintahan, bisnis, bahkan pertanian, maka kita pun fasiq karena mengerjakan hal yang sama.

Apa ukuran dan batas “tasyabbaha biqoumin”? Di urusan apa saja itu berlaku? Kita mengucapkan Selamat Hari Natal untuk menjalankan kemashlahatan bertetangga dan bebrayan antar manusia, kita lantas menjadi Kristen karena itu. Padahal ketika Idul Fitri mereka tidak mengucapkan Selamat Idul Fitri. Kenapa tidak batal nisbahnya, sedangkan kita memberi ucapan selamat sedangkan mereka tidak.

Anak Maiyah mendatangi kondangan nikahan temannya, padahal ia tidak setuju bahwa temannya itu mengawini seseorang yang menurut anak Maiyah tidak kondusif dan tidak maslahat. Datang ke kondangan dan mengucapkan selamat itu semata-mata untuk merawat silaturahmi kemanusiaan, tidak berarti menyetujui segala sesuatunya, apalagi sampai tingkat akidah atau keyakinan.

Lama-lama orang Kristen naik motor, kita menjadi Kristen karena juga naik motor. Orang Katolik beli rujak cingur kita pun beli rujak cingur sehingga akibatnya kita menjadi Katolik. Orang Hindu berenang di kolam renang, kita jangan berenang supaya tidak menjadi Hindu. Orang Budha bikin rumah untuk keluarganya, kita menggelandang saja di sepanjang jalan supaya tidak lantas menjadi orang Budha.

Itu semua didasarkan pada perbedaan sudut pandang antara para ulama dan penafsir Islam. Pendapat pertama memandang bahwa pengucapan selamat hari raya agama lain merupakan masalah aqidah atau ideologi. Sedangkan pendapat kedua memandang persoalan tersebut adalah masalah mu’amalah. Dan hampir semua pemimpin agama Islam, para ulama, ustadz, kiai dan habaib, kalau kasih pengajian kebanyakan hanya mengemukakan versinya, alirannya, pendapat subjektif atau pandangan personalnya. Mereka tidak bijaksana mendidik ummat dengan membuka lebar semua peta interpretasi itu untuk mendemokratisasikan forum ummat agar mereka punya kedaulatan untuk memilih.

Berabad-abad kehidupan kaum muslimin dipimpin tanpa kebijaksanaan, hanya kebenaran parsial. Tidak dipimpin dengan kearifan kebersamaan, hanya mampropagandakan pandangan sepihak atau fanatisme madzhab atau aliran. Tidak dipimpin secara Islam, sehingga masih sibuk dengan “Agama-agama lain” seolah-olah ada yang dari Allah selain Islam.

Padahal KiaiKanjeng ngertinya agama itu ya Islam, tapi mereka tidak mengumum-umumkan atau memperdebatkan dengan siapapun. Jadi tidak ada orang pindah agama. Yang ada beragama atau tidak beragama. Tetapi KiaiKanjeng bersikap baik, merawat silaturahmi, menjaga persaudaraan, dan berjuang melaksanakan keseimbangan dalam kehidupan bersama semua manusia, semua binatang dan alam.

Di seluruh dunia ini manusia melaksanakan kebudayaan gebyah uyah di mana-mana. Tidak pernah merundingkan batas konteks, skala urusan, spesifikasi aturan dan apapun. Semua diberlakukan untuk semua. Segala dalil dinisbahkan kepada segala urusan.

Para pemimpin Islam menyandera ummatnya di sel-sel kesempitan dan subjektivisme. Para pemimpin Islam menjebak masyarakatnya ke dalam bilik-bilik eksklusivisme dan kejumudan dalam menggunakan akal. Para pemimpin Islam berabad-abad lamanya menylamurkan atau menyamarkan bahkan menutupi dan menabiri rahmatan lil’alamin Islam kepada ummatnya sendiri. Bangsa Indonesia terdiri dari kaum muslimin yang jumlahnya mayoritas, tapi kehidupan bernegara kita sudah hampir satu abad tidak mencerminkan ilmu Islam, keteguhan bertuhan, akhlaqul karimah, keteduhan dalam keseimbangan dan kerukunan dan pengelolaan akal sehat.

Saya tidak bisa membayangkan institusi, lembaga atau lingkungan Islam yang seperti apa yang bisa menyiapkan ilmu dan “bilhikmah” untuk mengakomodasikan jenis manusia seperti anak-anak Dipo atau hingga KiaiKanjeng. Sejak awal kalau berpikir “normal”, kita tidak bisa membayangkan bagaimana Islamiyanto yang Jawa halus dan santri saleh, bisa melingkar bersama Rahmat Mulyono, Bobbiet, Jijiet, Sp Joko, apalagi Pak Ismarwanto. Bahkan pun Giyanto dan Sariyanto yang meskipun halus orangnya tapi lahir dan dibesarkan di lingkungan budaya abangan.

Lainnya

Mendakwa(hi) Pemerintah

Mendakwa(hi) Pemerintah

Dalam urusan keniscayaan sunnatullah bahwa hidup itu dakwah, andaikan saya ditanya oleh sesama manusia apa gunanya ada saya, Maiyah, KiaiKanjeng, Dinasti, Perdikan atau komunitas Dipowinatan dulu, saya pasti menjawab “Tidak ada gunanya”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik