Mesra dengan Pasien dan Mesra dengan Tuhan
Pagi tadi, pintu ruang praktik diketuk, terdengar suara salam dari bocah kecil, guru saya.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam…,” jawab saya.
“Nayla Pak Dokter,” sahut ibunya.
Seorang gadis kecil berumur empat tahunan, dengan kudung berwarna pink, bermasker, dan dengan rok panjang masuk kamar periksa dan menghampiri saya dan mengajak bersalaman.
“Aaaah… Nayla, cantiknya.”
Kemudian, saya buka sistem rekam medis pasien Nayla di komputer. Sambil menunggu proses loading mengambil data rekam medis, ibunya bilang, “Ini sudah kontrol rutin tiap bulan, Pak Dokter.”
Statement ini menandai bahwa Nayla sudah terbebas dari kemoterapi setidaknya sudah dua tahun.
Saya tertegun sambil mengamati hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pagi ini. Semuanya normal, sebagaimana layaknya anak sehat. Saya pelototi lagi di sistem rekam medis. Nayla adalah seorang ‘syndrom down’ yang sekaligus penderita leukemia yang Alhamdulillah sudah menyelesaikan pengobatan.
Dengan wajah ceria, Nayla mendekati saya dan sontak saya raih hape saya untuk mengajak selfie. Eeeh dia nurut dan mau saya ajak berswafoto. Dengan mimik lucunya saya minta untuk menurunkan masker sebentar untuk selfie. Nayla tersenyum dan tampaklah gigi ompongnya, dua gigi tengahnya sudah tanggal, menambah mimik lucu si bocah, guru saya ini. Sampai Nayla pamit dengan dengan salim, dengan dadah-dadah dan ‘cium jauh’, saya masih tertegun.
Jenis penyakit yang diderita Nayla bukan penyakit biasa. Bukan penyakit yang ringan. Tidak sedikit penderita yang tidak sukses dengan protokol pengobatan yang mereka jalani. Tetapi Nayla tidak. Dia berhasil menjalani perjalanan protokol pengobatan dengan segala macam efek sampingnya.
Kenapa saya tertegun, kenapa saya terdiam, dan termenung agak lama. Saya mendapati jawabannya ketika tak sengaja saya membuka kanal youtube sore ini dan mendapatkan rekaman acara syawalan tahun 2017 di kantor saya bersama Cak Nun.
Di situ saya mendapatkan jawaban atas dan tentang ketermenungan saya. Pertanyaan saya, ketidaktahuan saya, kesombongan saya, kebodohan saya, dan kepicikan saya.
Cak Nun bilang, ‘kesembuhan’ bukan milik dokter. Kesembuhan adalah hak prerogatif Allah. Sembuh adalah milik Allah, sebagaimana sakit juga milik Allah. Dokter hanyalah petugas. Dokter adalah sosok orang dengan ilmu yang dia miliki yang bertugas dan berikhtiar untuk mengupayakan kesembuhan. Asal kita berada di dalam posisi ini maka ketidakmungkinan dalam ilmu medis tentang kesembuhan menjadi mungkin, atas perkenan Allah tentunya.
Bisa melalui proses logis, bisa juga melalui jalan yang ajaib. Tentang ‘sembuh’ sendiri kan terbebas dari penderitaan atas sakitnya. Bisa penyakitnya yang hilang atau penderitaannya yang lenyap. Cak Nun juga berpesan, bermesralah dengan pasien. Bukan mesra secara fisik, tetapi mesralah dengan hati, mesra dengan perilaku, dan tutur kata.
Kemesraan antara dokter dan pasien akan menjadi tangga menuju pintu kesembuhan. Kemesraan membuat hubungan dokter-pasien menjadi cair, lepas dari ketegangan dan formalitas birokratis kedokteran.
Mesralah juga dengan Tuhan. Karena kemesraan dengan Tuhan akan membuat Tuhan menjadi trenyuh dan memberikan izin dan memberikan kasih sayang-Nya, sehingga ketidakmungkinan akan menjadi mungkin. Guru kecilku yang bernama Nayla membuktikannya.