Mengenalkan Kembali Konsep First Principle Hidup Manusia
Minggu malam (21/2) menjadi momentum bagi jamaah Bangbang Wetan untuk berkumpul terbatas, bertukar kabar dan sinau di MI Tarbiyatus Syarifah, Pekarungan, Sukodono, Sidoarjo. Penggiat dan jamaah dibagi menjadi dua bagian titik kumpul. Ada yang berkumpul di dalam ruangan untuk memandu jalannya diskusi—yang tersambung dengan para narasumber via Zoom. Dan, ada yang menyimak melalui layar laptop dan speaker sound (yang tersambung dari dalam ruangan), dari teras ruangan sambil menikmati wedang kopi, wedang uwuh, martabak, roti terangbulan dan pohong keju.
Renewal merupakan tema kita kali ini untuk menyambut tanggal berakhirnya PPKM mikro. Melalui tema tersebut, kita mendiskusikan langkah praktis pembaruan di masa pandemi.
Setelah nderes surat Al-Mulk oleh Eka Putra, Mas Damis membuka majelis dengan nomor-nomor karya sendiri yang bertemakan perjuangan dan keseimbangan hidup sebagai manusia, makhluk dan hamba Tuhan.
“Kilau cahaya dari laut, bias sinarnya pecahkan kabut, berkecamuk jiwa manusia, langkah tegar menggapai asa” penggalan lirik lagu yang dibawakan oleh Mas Damis, seniman Sidoarjo, yang menurut beliau belajar dan menemukan keseimbangan hidup di Bangbang Wetan.
Lik Ahid mengawali diskusi dengan mengungkapkan kegelisahannya perihal bahasa warisan leluhur kita kepada Mbak Ani, seorang filolog asli Sidoarjo, yang sekarang berdomisili di Magelang. Lik Ahid mempertanyakan kenapa kita sekarang kok tidak mewarisi bahasa dan aksara leluhur, kenapa kita lebih memilih huruf Latin dan bahasa Indonesia, sebagai bahasa dan alat komunikasi.
Mbak Ani merespons bahwa salah satu sebabnya karena kita dibuat lupa dan tidak percaya diri oleh sistem kolonial, yang karena itu membuat kita sekarang memilih bahasa dan aksara atau huruf bukan dari warisan dari leluhur, melainkan produk warisan dari kolonial.
Menurut Mbak Ani, salah satunya jalan yang dapat kita tempuh saat ini adalah membiasakan, supaya bisa. Membiasakan belajar terus tentang bahasa dan aksara warisan leluhur kita, supaya kelak kita bisa dan menguasai bahasa dan aksara warisan leluhur kita.
Mas Amin yang sudah bergabung menemani Lik Ahid memandu jalannya diskusi mempersilakan Mas Acang bergabung. Sebab sebelumnya di ruang kelas sebelah, Mas Acang menjadi salah satu narasumber dalam seminar bersama simpul Mafaza. Mas Amin meminta Mas Acang untuk menceritakan hasil yang diseminarkan tadi.
Tak Ada Alasan untuk Tidak Percaya Diri
Mas Acang menceritakan hasil seminar simpul Mafaza yang bertemakan poskolonialiasme. Menyambung paparan Mbak Ani, pertanyaan besar bagi bangsa Indonesia adalah kenapa kok kita merasa inferior, rendah diri. Jika ada pertanyaan kenapa kok sulit melacak suatu karya leluhur kita siapa penulis dan tahun pembuatannya pada naskah-naskah lama, karena tidak mengikuti kaidah-kaidah metode ilmiah yang dikenalkan Eropa.
Jadi, pada saat Eropa mendapat abad pencerahan itu ditentukan juga metode ilmiah dalam pembuatan makalah, ditentukan nama, tanggal dan tempat makalah dibuat, sebenarnya di Jawa juga ada tapi metodenya tidak sama dengan metode yang ditentukan Eropa.
Misalnya dalam hal lukisan Leonardo da Vinci yang menceritakan fragmen perjamuan terakhir Yesus pada abad ke-15, yang dinilai sangat simetris karena patuh pada hukum matematika. Sedangkan pada abad yang sama, di Bali ada lukisan Asmaradhana, di dalamnya ada api unggun, ranjang, dewa-dewi. Tidak diketahui sampai saat ini siapa pembuatnya. Pertanyaannya kenapa kita selama ini dalam berkarya tidak menunjukkan siapa yang buat, tapi ini buatan atau karya saya, melalui sandi-sandi di setiap karyanya.
Sampai pada tahun 1982, ada ilmuwan Eropa yang menulis tentang Geometri Fraktal. Geometri Fraktal itu sebuah geometri yang tidak tunduk kepada hukum-hukum matematika yang kita kenal. Misal ketika kita melihat hasil memotong buah pisang dan memotong batang pohon pisang, maka kita akan menemukan sebuah patern atau pola yang sama. Geomotri Fraktal ini ketika diterapkan persis dengan lukisan Asmaradhana.
Mas Acang menyimpulkan, pada saat Leoardo da Vinci melukis The Last Supper (Perjamuan Terakhir) yang patuh kepada hukum semesta, pada saat yang sama di Bali juga juga ada karya Smaradhana yang juga patuh kepada hukum alam bernama Geometri Fraktal, hanya saja Geometri Fraktal ditemukan baru tahun 1982, jauh sesudah lukisan Asmaradhana dibuat. Jadi menurut Mas Acang, tidak ada alasan bagi kita bersikap inferior atau tidak percaya diri terhadap diri bangsa, karya leluhur, dan karya kita sendiri yang bersumber dari pemikiran orisinal kita sendiri.
First Principle yang Dapat Dilakukan Manusia
Mas Sabrang merespons tema pembaruan dengan mengenalkan kembali konsep First Principle atau kalau dalam Islam disebut sebagai hakikat. Yaitu memandang sesuatu dari hal yang terkecil, yang tidak bisa dipecah lagi. Prinsip dasar itu adalah merawat dan membeli. Pada prinsipnya, manusia hanya dapat merawat dan membeli. Yang sudah ada dipertahankan dan menambah yang baru.
Minimal yang dapat dilakukan manusia adalah mempertahankan dan merawat, sebelum membeli sesuatu yang baru. “Kalau tidak memiliki budaya merawat, mau membuat sesuatu yang baru kayak apa saja tidak akan bisa merawat anyway”, tutur Mas Sabrang
Meneruskan fokus pada budaya merawat, Mas Sabrang menawarkan konsep merawat sesuatu dengan aksidental. Mekipun kebanyakan dari kita menyatakan bahwa sebenarnya kita sudah sudah merawat.
Merawat Secara Aksidental dan Intensional
Menurut Mas Sabrang, ada beda antara merawat secara aksidental dengan merawat secara intensional. Aksidental itu secara kecelakaan merawat, sedangkan Intensional itu secara sengaja perawat.
Contoh sederhananya misalnya kita merawat tubuh dengan mandi, itu ada yang dengan aksidental dan ada yang intensional. Ada dari kita yang melakukan dengan sengaja, ada yang tidak dengan sengaja.
Ada dari kita yang tahu konsep mandi agar dirinya bersih dan tidak bau, maka itu disebut intensional. Ada banyak juga dari kita mandi karena sepertinya harus biasa dilakukan. kalau pagi dan sore mandi itu biasanya yang harus dilakukan, ya dilakukan. Itu berasal dari kebiasaan yang dirawat tanpa intensi tapi aksiden, kecelakaan kerja.
Mengutip yang disampaikan Mas Acang bahwa yang dilakukan Maiyah itu sebenarnya merawat. Mas Sabrang mempertanyakan apa yang sedang dirawat oleh Maiyah. kalau memakai cara pandang modern, keilmuan Maiyah tidak jelas. Sebab Maiyah itu ya membahas politik, ya ekonomi, dan khasanah yang lain.
Maiyah Merawat Tanah dari Pohon Ilmu
Mas Sabrang menganalogikan dari apa yang dilakukan Maiyah selama ini. Contohnya kita bisa merawat pohon ilmu, bisa pohon ilmu ekonomi, politik, sains, dan bisa pohon apapun juga. Tapi ada satu hal yang sama di antara pohon itu bahwa mereka harus tumbuh dari tanah. Dan tidak ada yang membicarakan bagaimana merawat tanah. Sehebat apapun benih pohonnya kalau tanahnya tak dirawat, maka tumbuhnya tidak akan maksimal. Itu yang coba dilakukan Maiyah, merawat tanah dari tumbuhnya pohon-pohon ilmu tersebut.
Ketika ilmu bermunculan, yang membuat ilmu menjadi signifikan dan dirawat lebih mudah adalah ketika masuk pada sebuah ekosistem. Karena tiga pohon berdiri akan lebih mudah berbuah daripada pohon sendirian, karena kemungkinan penyerbukannya lebih banyak.
Selaras dari yang disampaikan Mas Sabrang, menurut Pak Suko Widodo, Maiyah adalah ruang egaliter gagasan-gagasan baru untuk dibaca bersama yang disebut Sinau Bareng.
Langkah Merawat Tanah Pohon Ilmu Indonesia
Mas Sabrang mencoba menyambungkan dengan pencarian sejarah leluhur kita. misalnya menggali buku kuno itu sangat bagus sebagai sebuah pohon ilmu. Tapi kalau kita mempelajari ilmu Barat, kenapa mereka sekarang berdiri sangat dominan sebagai sistem, karena mereka berlaku sebagai ekosistem.
Walaupun kita mengadopsi dan melihat misalnya ini adalah ilmu sejarah, ini adalah ilmu filsafat, ini ilmu adalah ilmu fisika, dst. Tetapi ada garis persambungan di antara ilmu itu yang membuat sebuah ekosistem ilmu. Yang disebut sistem ilmu adalah di mana premis di antara ilmu tersebut koheren, tidak berlawanan.
Nah, untuk merawat ilmu Indonesia seperti yang dicita-citakan bersama adalah tidak hanya menggali informasi. Ke depan untuk bertahan, informasi yang kita gali harus juga disambungkan dengan ilmu-ilmu yang lain.
Misal, ilmu sejarah tidak hanya urusan cerita manusia, tetapi juga apa output manusia, ilmu batunya, ilmu pertanian, dan ilmu perikanannya bagaimana.
Kalau ada yang mengatakan bahwa satu kitab kuno mengandung banyak keilmuan. Itu perlu dikembangkan menjadi cabang-cabang ilmu yang berhubungan satu sama lain menjadi ekosistem yang koheren. Koheren simpelnya adalah sebuah sistem yang benar salahnya konsisten di antara banyak bidang ilmu.
Satu hal yang perlu digarisbawahi oleh Mas Sabrang, ketika mengutip apa yang dikatakan Mas Acang, bahwa tolak ukur keilmuan tidak harus seperti Barat. “Dengan premis yang sama, jangan lupa kita juga jangan terjebak pada pemilahan ilmu seperti Barat. Sebab kita saat ini memilah ilmu masih seperti Barat. Tidak mudah kita meng-counter hanya dengan opini. Kalau mau meng-counter buatlah ekosistem ilmu yang berbeda,” tambahnya
Sekarang ada juga sebuah sistem yang berjalan selain sains yang koheren, misalnya Big System. Big System itu cukup komprehensif untuk menghadapi manusia dan alam, tapi dengan terminologi dan pemahaman sama sekali berbeda dengan sains modern. Kalau sudah ter-layout seperti itu, orang akan ikut mana terserah saja.
Langkah pembuktian selanjutnya adalah apakah konsep ilmu tersebut efektif membantu manusia. Karena menurut Mas Sabrang, seindah-indahnya ilmu kalau tidak membantu perkembangan manusia, ya bakal hilang juga.
Mas Sabrang mempertegas pertanyaan Lik Ahid pada awal diskusi, “setahu-tahunya kita terhadap sejarah, kalau tidak membantu pemahaman terhadap diri kita sendiri, sehingga dapat memberikan pertimbangan lebih tepat untuk ke depannya. Maka tidak ada gunanya sejarah, selain menjadi arsip dan bahan kita bangga, yang kadang-kadang kita lupa alasannya.”
Rentang Waktu Evolusi Aksidental
Mas Amin mencoba menggali apa yang disampaikan Mas Sabrang tempo hari, yang memprediksikan terjadinya evolusi aksidental yang berlangsung selama 150-200 tahun mendatang. Mas Amin bertanya apakah ada percepatan-percepatan yang dapat kita lakukan terutama pada masa yang kita alami sekarang ini.
Mas Sabrang meresponsnya dengan menyampaikan bahwa percepatan terutama di bidang keresahan. Sekarang keresahan sudah semakin menjadi umum, emergence keresahan di masyarakat, walaupun kita tidak bisa mendefiniskan emergence keresahan itu. Menodong sana sini, semua orang merasakan bahwa ada yang tidak beres.
Definisi-definisinya mungkin mengadopsi aksidental, dari luar negeri dengan ikut resah. Tetapi sebenarnya keresahan itu modal utama untuk menghadapi perubahan. Evolusi aksidental yang berlangsung selama 150-200 tahun itu, rentang minimal yang diprediksikan oleh Mas Sabrang. Sebab kalau kita melihat keadaan sekarang, kita tidak punya kemewahan untuk menunggu sebegitu lama.
Mas Sabrang mengantarkan pemahaman bahwa perlu berpikir kritis untuk menjawab prediksi dari yang disampaikan beliau. Kalau Mas Sabrang memprediksikan rentang waktu 150-200 tahun, pertanyaannya sekarang sudah sampai pada posisi mana, dari rentang waktu itu. Karena 150-200 tahun menurut pandangan Mas Sabrang, berbeda dengan kita.
Analogi Hitungan Evolusi Aksidental
Mas Sabrang menganalogikan hitungannya, jika kita berjalan pada hegemoni yang sudah berjalan 500 tahun. Kita bisa mengakselerasi perubahan pada waktu 50 tahun saja, itu sepersepuluh waktunya. Itu juga percepatan yang luar biasa.
Berharap boleh, sebab harapan itu penyambung semangat. Tapi menurut Mas Sabrang practical saja. Melihat apa yang bisa dilakukan waktu itu semaksimal mungkin. Kalau tidak bisa dilakukan, menunggu kesempatan berikutnya.
Mas Sabrang melanjutkan bahwa sebenarnya manusia semakin besar, maka akan semakin ‘berkurang’ dari potensi aslinya. Misalnya jika kita setiap hari ditekan masalah setiap hari, stres mengurusi keadaan. Karena kita melakukan setiap hari, maka kita menganggap stres itu normal. Tapi jika kita melihat anak kecil, yang normalnya adalah bahagia.
Dari normal bahagia, senang, tidak dendaman, melihat hari esok dengan penuh semangat, menjadi orang yang normalnya melihat hari esok stres, buntu, melihat esok itu mumet berikutnya, apakah itu bukan degradasi? Dan itu pasti mempengaruhi manusianya tumbuh, memahami dan menyerap.
Target yang diprediksikan oleh Mas Sabrang tentang evolusi aksidental adalah bagaimana manusia itu bisa menjadi dirinya sendiri dengan dirinya sendiri, dengan “minimal afford”. Di mana ekosistemnya menyediakan tempat bagi dirinya untuk menjadi dirinya sendiri.
Distribusi Kesadaran untuk Bertahan Hidup
Pertanyaan terakhir dari Mas Hari, beliau bertanya bagaimana cara bertahan hidup di tengah pandemi ini terutama di bidang ekonomi. Merespons pertanyaan Mas Hari, Mas Sabrang memberikan konsep memahami positioning uang, agar kita mengetahui fundamental, First Principle-nya.
Semua penemuan dan teknologi yang dibuat manusia itu esensinya adalah ekstensi, perpanjangan dari manusia. Perpanjangan otaknya, perpanjangan tangannya, perpanjangan mulutnya, maupun perpanjangan hidupnya. Semua penemuan manusia hanyalah perpanjangan dari kebutuhan dasar manusia.
Maka dari itu kalau melihat apa yang dominan dari society itu bisa dilihat dari diri sendiri. Bisanya yang paling penting dilihat adalah bertahan hidup, tidak mati. Kemudian kebutuhan dasar itu diterjemahkan menjadi teknologi. Teknologi adalah cara manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu produk teknologi manusia adalah uang.
Kenapa yang paling gampang itu uang, karena uang mempermudah proses pertukaran sumber daya yang dibutuhkan manusia. Dari sebelumnya, misalnya tukar-menukar ketela dengan pisang menggunakan ukuran kepantasan seberapa, kemudian ketika ada mata uang itu menjadi lebih mudah bertukarnya.
Mas Sabrang curiga bahwa uang dari dahulu faktor fundamental yang dikejar manusia. Uang lebih dominan karena berhubungan langsung dengan hidup manusia.
Perlu kita tahu juga, dalam peradaban ada yang namanya distribusi kesadaran. Yang menyadari dirinya paling basic itu yang paling banyak. Yang universal misalnya kemampuan bertahan hidup pasti disadari oleh banyak manusia.
Tapi ada yang lebih tinggi dari itu, misalnya ingin pencapaian spiritual. Dunia dianggap menghalangi pencapaian spiritual, jadi bagi dirinya uang menjadi tidak penting.
Dalam sebuah peradaban untuk menentukan mana yang penting dan mana yang tidak itu tergantung pemimpinnya. Karena kemudian pemimpinnya punya pengaruh besar dari mekanisme apa yang dibangun di masyarakat.
Menurut Mas Sabrang, uang itu selalu akan penting, karena itu berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia. Tapi pencapaian apa yang dihargai oleh sebuah struktur pemerintahan, itu akan menggeser keseimbangan nilai apa yang diangkat.
Misalnya kalau rajanya senang spiritual, maka pegawai yang diangkat adalah yang spiritualitasnya tinggi. Sehingga orang-orang yang ingin mencapai posisi itu harus meningkatkan spiritualitasnya.
Mas Sabrang meneruskan pertanyaan dikotomis Mas Hari yang menilai manusia saat ini sangat bergantung uang, sedangkan dahulu tidak. Beliau mengajak kita untuk tidak memandang kehidupan secara hitam-putih. Sebab semua itu urusan keseimbangan mana yang dibutuhkan manusia dan mana yang tidak.
“Ojo mati sek, PR-e sek akeh” closing statement Mas Sabrang mengakhiri sinau kita kali ini.
Surabaya, 22 Februari 2021