Menanti Buka Puasa Bersama “Menjelang Senja”
Menemani kita semua serta masyarakat luas dalam menanti saat berbuka Puasa tiba, sore tadi Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir melalui program Menjelang Senja. Acara ini dipersembahkan oleh PR Sukun Kudus dan Murianews TV. Secara rutin acara ini akan disiarkan secara virtual pada tanggal 15, 22, 25, 27, 29 April dan 4, 6, 11 Mei mendatang melalui channel YouTube CakNun.com, PR Sukun, Murianews TV dan Instagram Gamelan KiaiKanjeng secara serempak.
Ngabuburit ala KiaiKanjeng ini disajikan secara berbeda dari biasanya Sinau Bareng. Para personel mengenakan busana bebas alias tidak seragam. Formasi duduk barusan depan KiaiKanjeng pun sangat santai. Demikian juga dengan Cak Nun. Yang bertindak sebagai host adalah Mas Jijid dan Doni. Di sela-sela lagi dan obrolan mereka berdua, Mbah Nun masuk merespons secara asik, ringan, tapi masuk ke inti-inti yang jarang kita sadari. Cak Nun juga ikut melantunkan lagu pada beberapa nomor.
Tentang puasa, Cak Nun mengingatkan bahwa puasa ternyata merupakan hal pasti dalam kehidupan manusia, dan kita diajak melihatnya dari contoh riil yang acap dipandang remeh. Misalnya, memilih pakaian untuk dipakai. Peristiwa memilih ini melewati sejumlah pertimbangan. Mengapa memilih corak tertentu dan mengabaikan lainnya.
“Kan tidak bisa memakai pakaian semuanya. Pasti harus memilih salah satu dan berpuasa terhadap pilihan-pilihan lainnya,” ujarnya. Hidup pada dasarnya adalah berpuasa. Itulah sebabnya, puasa mempunyai kedudukan istimewa di hadapan Allah. Sebab Dia sendiri yang akan menilai kualitas puasa para hamba-Nya.
Di samping puasa, Cak Nun juga menuturkan perihal Jalan Sunyi setelah KiaiKanjeng memainkan satu nomor yang berjudul sama yang diambil dari album Kado Muhammad. Menurutnya, tembang Jalan Sunyi ditulisnya setelah penggembaraan di Malioboro pada titimangsa 70-an. Waktu itu terdapat anggapan kalau dewasa atau tidaknya seseorang bila sudah tidak memilih jalan utama Malioboro. Ia sudah mulai melewati gang-gang kecil di sebelah barat maupun timur jantung ekonomi kota Yogyakarta tersebut.
“Kalau dia masih berada di tengah keramaian Malioboro berarti dia masih biasa. Kalau sudah tidak kerasan di Pasar Bringharjo, lalu mencari gang, maka dia berarti sudah mulai berpikir. Itu pengalaman saya di Malioboro,” imbuhnya. Perumpamaan Malioboro dan gang di sekitarnya memperlihatkan “nilai dan lelaku” untuk tidak terintervensi arus utama.
Cak Nun melanjutkan, “Ketika kamu melakukan yang kamu rasa benar tapi bagi orang lain salah, maka sebenarnya kamu sudah berada di jalan sunyi.” Keadaan ini lalu dikaitkan dengan kemunculan Islam di Makkah. Menukil pernyataan Kanjeng Nabi, Cak Nun mengatakan Islam dimulai dari kesunyian dan akan kembali kepada kesunyian pula. “Tentu kesunyian di sini bisa kita terjemahkan menurut istilah masing-masing.”
Selain hikmah di balik puasa, acara ini pada dasarnya dikonsep mengeksplorasi (dengan maksud mengingat kembali) lagu-lagu KiaiKanjeng sejak album perdana. Antara lain lagu Tombo Ati. Sejarah di balik tiap nomor KiaiKanjeng tak luput direfleksikan. Dari alasan mengapa KiaiKanjeng konsisten membawa tembang-tembang shalawat sampai kisah unik yang dialami para personel.
“Tombo Ati ini merupakan trigger, bertemu, dan diangkatnya kembali oleh KiaiKanjeng. Dan sebenarnya ini merupakan kembalinya kepercayaan diri, khususnya masyarakat lama, terhadap shalawatan,” sambung Cak Nun. Dahulu tembang ini sekadar dikumandangkan di langgar, mushala, pesantren, atau dusun pelosok. Namun, setelah KiaiKanjeng membawanya ke panggung-panggung shalawat semakin diterima, bahkan disemarakkan secara nasional.
“Ini sebenarnya tentang kebangkitan budaya,” tegas Beliau.