CakNun.com
Kebon (182 dari 241)

Membangun Siang Malammu Sendiri

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Mocopat Syafaat, Yogyakarta. Foto: Adin (Dok. Progress).

Setelah sekin putaran gaple “Dzikrul Ghofilin” model “gentho” dan tidak tidur semalaman saya tidak memerlukan tidur sampai siang atau apalagi sore. Sampai usia hampir 70 tahun malam tidak tidur, andaikan bakda shalat Subuh lantas tidur, nanti jam 6-7 pasti bangun dan mengerjakan program hidup sebagaimana biasa.

Saya menempuh cara hidup, mekanisme waktu dan teori tentang jaga dan istirahat yang pasti ditentang oleh kebanyakan dokter dan ilmu kesehatan. Istrahat tidak harus dilaksanakan dengan berhenti dari kegiatan kemudian jasad diturn-off dengan cara tidur. Istirahat bisa dilaksanakan dengan perpindahan atau pergantian jenis kegiatan. Lelah kegiatan pikiran, pindah ke kegiatan fisik, kemudian beralih ke konsentrasi dan tarikat rohaniyah, dengan berbagai variabelnya. Demikian juga sebaliknya, atau terserah bagaimana kesadaran dan roso menggembalakan irama kehidupan kita. Itu juga suatu jenis dialektika aktif dan istirahat.

Atau tidur fisik itu sendiri diefekifkan. Atau istilah saya; disejatikan. Ada tidur cacat, atau tidur penuh. Ada tidur setengah-setengah atau palsu, ada tidur sejati. Yang tidur itu mekanisme jasadiyah, ataukah juga hatimu dan pikiranmu? Yang pasti jantung tidak pernah beristirahat, padahal dia organ utama jasad manusia dan kunci kehidupan. Darah juga jangan sampai cuti mengalir. Napas jangan libur. Ketika tidur, apanya saja yang tidur?

Saya berangkat tidur dengan men-setup suatu PR pemikiran atau perenungan, yang nanti ketika bangun saya menerima hasilnya, sehingga tinggal menuliskannya. Tidur bahkan mungkin adalah ruang yang lebih luas dan lebih murni untuk wilayah hidayah, ilham, inspirasi dari Allah, dibanding ketika jaga.

Ketepatan manajemen tidur, dengan memproporsikan faktor apa saja yang off dan yang tetap on, bisa berpengaruh terhadap efektivitas waktu atas diri kita. Dismanajemen kejiwaan bisa membuat Anda memerlukan tidur selama 6-8 jam, karena sangat tergantung pada mekanisme alamiah. Sementara ketepatan dan keseimbangan manajemen kejiwaan bisa hanya membutuhkan waktu 1-2 jam tidur, atau 10-20 menit, bahkan bisa hanya sejenak sambil merebahkan punggung di kursi.

Perlu dipastikan perumusan bahwa tidur itu menonaktifkan apa saja serta tetap membiarkan apa saja lainnya yang tetap aktif. Setiap orang sudah diinstall oleh Allah untuk menjadi Khalifah atas dirinya masing-masing, termasuk menata bagaimana manajemen tidur dan jaga. Jaga dan bangun itu milik Allah, tidur juga milik Allah. Allah sendiri orang Jawa bilang “Gusti Allah ora sare”, Tuhan tidak pernah tidur. Maka khalifah Allah juga memiliki hakikat, dzat, mekanisme, sunnah, tadbir atau pengelolaan yang turunan dari Allah sendiri, meskipun dengan level dan kadar yang jauh lebih rendah atau kecil. Kalau Tuhan tidak pernah tidur, mestinya manusia bukan banyak tidur, melainkan punya hidayah ilmu dan makrifat untuk tidur seperlunya. Dan tidur seperlunya itu bisa saja mengatasi waktu.

Dulu di Gontor setiap pkl 21.00 malam selalu sangat mengantuk, karena semua santri aktif ini itu sejak bangun sebelum Subuh sekitar pukul 04.00 dini hari. Bel pondok berdentang secara berkala memimpin pergerakan seluruh santri. Bangun, lari ke Masjid, lari balik ke kamar, lari ke dapur A atau B atau C sesuai level masing-masing untuk sarapan. Kemudian bel berdentang lagi untuk mulai olahraga, apa hanya lari, main volley, pingpong, badminton atau sepakbola. Kemudian bel lagi balik ke kamar dan mandi. Bel lagi lari ribuan orang menuju kelas masing-masing untuk sekolah sampai siang. Demikian seterusnya sampai bel terakhir pkl 22.00 malam dan semua wajib ke kamar untuk tidur.

Di Gontor jam 21.00 saya sudah selalu mengantuk luar biasa. Tetapi sesudah kuliah begadang di Malioboro th 1969 sd 1975, sampai hari ini di usia hampir 70 tahun saya sangat sukar untuk mengantuk. Kita Maiyahan sampai pukul 03.00 pagi dalam keadaan sangat segar jiwa raga. Andaikan boleh sholat Subuh pukul 09.00 pagi mungkin Maiyahan kita laksanakan sampai pukul 07.00. Tanpa ada yang mengantuk meskipun jumlah massa Maiyah bisa 5 ribu, bisa 10 ribu, kadang sampai 20 atau 30 ribu. Semuanya sumringah, segar jasmani rohani, tidak hanya bergembira tapi juga bahkan bahagia bersama-sama.

Saya belum pernah membayangkan atau mensimulasikan bagaimana kalau Maiyahan sampai larut itu dikonangi oleh Kanjeng Nabi Muhammad, oleh Nabi Musa, Nabi Ibrahim atau siapapun tokoh peradaban dunia lainnya. Apakah akan dimaklumi ataukah dikritik dan dikecam. Sebab di zaman para Nabi dan Rasul itu, belum pernah saya dpatkan informasi bahwa ada ribuan orang berkumpul semalaman. Para Nabi tidak pernah mengalami kasus seperti itu. Secara budaya tidak ada klausulnya. Secara hukum tidak ada yurisprudensinya.

Yon Koeswoyo, adiknya mas Tony dan Nomo, kakaknya Yok, pernah saya datangi rumahnya di Jakarta Selatan untuk siapa tahu bisa saya ajak Maiyahan di “Kenduri Cinta”TIM Jakarta Pusat. Dia bertanya sampai jam berapa acaranya. Saya jawab biasaanya sampai jam 3 pagi. Mas Yon menjawab, “Wah sudah sejak dulu saya terbiasa jam 10 malam sudah tidur”.

Saya menawar: “Mbok jam 10-nya ditunda menjadi jam 3 Mas…”

“Lho bagaimana itu Cak?”

Lantas saya jelaskan hal-hal yang saya tulis di atas.

“Wah, gendheng Sampeyan iki Cak…”, kata Yon.

Kita bisa membangun siang malam kita sendiri. Kita bisa mengkhalifahi diri kita dengan menyusun jam-jam kita sendiri. Dalam sehari semalam bisa kita bikin sekian hari sekian malam. Dalam 12 jam kita bisa bikin sekian kali 12 jam di dalam 12 jam. Kita bisa tidur 8 jam dalam 10 menit. Allah menciptakan sunnatullah dengan siang malam tertentu, manusia bisa memaknai dan mentransformasikannya atau membangun satuan-satuan baru di dalam dirinya berdasarkan hak khilafah yang dianugerahkan oleh-Nya.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.”

Lailatul qadar. Malam kemuliaan. Jangan biarkan kebenaran mandeg tanpa menjadi kebaikan. Jangan macet berproses dan membiarkan kebaikan tidak memancarkan keindahan. Dan jangan berpuas diri menikmati rahmat Allah dengan membangun kebenaran, kebaikan dan keindahan tanpa menjadi kemuliaan. Itulah sehat yang sejati. Sehat utuh pada kehidupan manusia. Jelas kata Allah bahwa satu malam bisa mengandung seribu bulan. Bergantung pada manajemen kejiwaannmu, dengan keketatan pegangan ke tali Tuhan. “Wa’tashimu bihablillah”.

Lainnya

Mata Uang Maiyah

Mata Uang Maiyah

Yang saya tempuh selama sekian puluh tahun bersama bermacam-macam komunitas dan kelompok masyarakat di berbagai tempat dari Jombang keliling dunia hingga ke Yogya, ternyata sama sekali tidak ada alurnya menuju kehebatan sebagai manusia, keunggulan sebagai tokoh, bahkan tidak pula ada langkah yang memuarakan dirinya menuju bangunan apapun yang ada dalam masyarakat.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik