Membangun Kemandirian dan Kemantapan Para Dalang
“Kalau kita ngomongin pluralisme bukan hanya soal agama, etnis, atau budaya saja yang berbeda. Tapi wayang itu sendiri. Di sana lengkap. Mozaik pluralitas di dalam wayang sangat jangkep.”
Khusus malam Jumat ini (11/02) sejumlah dalang tak membabar epos Mahabarata atau Ramayana. Pinjam istilah Ki Sigit, dalang sekaligus penggiat Simpul Maiyah Sendhon Waton Rembang, para dalang itu dirinya undang ke Mocopat Syafaat untuk menerima “tetesing tirta setaman” dari Cak Nun. Sebagian dari mereka berprofesi pula sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi.
Cak Nun sendiri gembira atas kedatangan para dalang itu. Ia mengaku bersinggungan dengan jagat pewayangan sejak dini. Dua tokoh dianggapnya sebagai acuan. Antara lain Pak Umar Kayam dan almarhum Pakdhe Nuri. Kedua orang itu menjadi sosok yang Cak Nun ajak untuk mendiskusikan nilai, tokoh, dan penokohan seputar wayang. Tapi peristiwa “menggelandang” di negeri Kincir Angin juga tak kalah membekas.
Waktu itu Cak Nun membuat semacam “disertasi” di International Institute of Social Studies (ISS). “Tapi tidak diterima karena mereka menginginkan agar mereka belajar kepada saya,” ujarnya. Intisari karya itu kemudian ia jadikan sebagai novel. Kelak diterbitkan dan diberi judul Gerakan Punakawan atawa Arus Bawah (1994).
Sejauh pergumulannya dengan kajian pewayangan, Cak Nun merefleksikan satu dimensi penting. “Kalau kita ngomongin pluralisme bukan hanya soal agama, etnis, atau budaya saja yang berbeda. Tapi wayang itu sendiri. Di sana lengkap. Mozaik pluralitas di dalam wayang sangat jangkep,” imbuhnya.
Dampak pageblug setahun terakhir membekas kuat bagi para dalang. Ki Sigit menuturkan banyak para dalang yang resah karena tak kunjung jamak mendapatkan undangan. Sebagian mengantisipasinya lewat pentas virtual. Namun, ikhtiar itu tetap dilakukan sebagian dalang. Sisanya kurang adaptif terhadap gaya pementasan baru semacam itu.
Bagi mayoritas dalang, profesi ini menjadi titik tumpu penghidupan. “Kalau di luar negeri kan seni tradisi untuk sekadar hiburan. Sedangkan di Indonesia lebih menggantungan kehidupannya kepada profesi ini. Dalam hal pentas wayang, masalahnya tidak semua dalang bisa virtual. Kula nyuwun dhawuh dhumateng Mbah Nun,” tambah Ki Yoyok.
Selain hambatan teknis, Ki Sigit juga gayung bersambut atas paparan K.R.T Manu J. Widyasěputra dalam tayangan dialog bersama Cak Nun di YouTube. Ia mengamini ada kaitannya antara pandemi dan posisi planet terhadap bumi. Ki Sigit menemukan penjelasannya dalam cerita pewayangan.
Ki Sigit sempat mendengar kisah dari sesepuhnya di masa silam. Soal pertemuan Respati dan Basundari. Respati ini merupakan nama lain dari planet Yupiter. Ia sebangun dengan penyebutan wrehaspati atau wrespati dalam bahasa Sansekerta.
Menurut Ki Sigit, pewayangan ternyata bukan sekadar karya sastra, melainkan juga perkara matematika. “Saya dan teman-teman membutuhkan data itu. Siapa tahu dapat membuat carangan untuk lakon berikutnya,” tegasnya.
Mencarangkan Hidup
Cak Nun merasa senang para dalang mewedar banyak hal. “Kalau sudah serawung dengan dalang itu adanya cuma keindahan. Bahasanya indah dan apa-apa yang disampaikan selalu keindahan,” responsnya. Keindahan itu ironinya di Indonesia selalu dianggap menjadi pelengkap penderita.
Berbicara mengenai pakem dan carangan, bagi Cak Nun, harus diperhakikatkan agar tak hanya berpusar pada kasatmata. Hidup ini semestinya harus berposisi carangan karena akan menjadi bekal meniti hari depan. Dasarnya sudah sangat jelas, yakni min haitsu laa yahtasib. Cak Nun berpesan agar jangan lekas putus asa. Walau dalam keadaan apa pun.
Rezeki bukan sekadar datang dari pementasan wayang. Namun, dapat hadir dari mana saja. “Berikutnya, nomor dua, kalau pakai tawakal, maka yang dapat kamu urus maka uruslah. Tapi yang tidak dapat diurus maka serahkan kepada Gusti Allah,” lanjut Cak Nun. Esensi tawakal adalah mewakilkan. Pentingnya harus kembali pada keluasan hati berada di sana.
Menurut pandangan Cak Nun, para dalang itu mampu melihat lebih jauh, menuju sesuatu yang futuristik. Potensi itu sayangnya dianggap para orientalis sebagai wacana kearifan lokal semata. Pandangan ini berakibat pada bias cara pandang seni tradisi yang acap diperhadapkan dengan seni modern. Demikian pula ranah pendikotomian antara yang lokal dan yang universal.
“Wayang itu sangat universal. Kosmologinya lebih jangkep. Tapi kita cenderung dibuat inferior dalam melihat itu,” kritik Cak Nun
Pakem Wayang, Seperti Apa?
Dari awal diskusi dihela, Pak Manu cenderung menyimak. Di tengah ping-pong dialog, ia dipersilakan Cak Nun untuk memberikan pendapat. “Mas Manu ini tidak ada duanya di dunia. Filologi itu merekrut semua naskah naskah kuna. Dan itu semua urusan manusia. Bergama, berkeluarga, dan lain sebagainya. Mas Manu ini kita mohonkan kepada Allah Swt agar dipanjangkan yuswanipun,” ucapnya menyerahkan mikrofon.
Pak Manu memberikan prolog dengan satu pertanyaan tajam. “Saya tadi selalu mendengar kata carangan. Sebetulnya pakem wayang kita itu apa to? Lalu timbul kisah carangan. Teman-teman dalang, pakem wayang kita itu apa?”
Menurut filolog dan dosen FIB UGM ini epos Ramayana dan Mahabarata itu tak hanya satu versi. Bukan versi bahasa Sansekerta semata. Anggapan selama ini hanya satu bahasa tersebut, bagi Pak Manu, salah kaprah. Itu pun ditambah ada tradisi India Utara dan India Selatan. “Kita tidak pernah melacak sejauh itu. Kita hanya mengikuti,” jelasnya.
Keberagaman itu menunjukkan kayanya jagat pewayangan. Salah satu contohnya Mahabarata Tamil. Di dalam epos itu tokoh utamanya Drupadi. Bagi masyarakat Tamil, ia selalu menjadi dewi ibu dan dipuja khalayak setempat. “Bagaimana versi di Yogya? Di Yogya tidak begitu. Di Yogya cenderung Srikandi,” lanjutnya.
Pak Manu kemudian memaparkan begitu rincinya epos Mahabarata versi Sansekerta. Ia menguraikan empat versi di dalamnya. Di antara banyaknya khanazah itu versi Yogyakarta mengetengahkan posisi tokoh Srikandi dan Salya. Sementara Srikandi, menurut versi Yogyakarta, adalah karakter yang menjadi Seno Agung dari awal dan akhir.
Kasus Solo dinilainya menarik. Tradisi Solo mengikuti teks Jawa kuna, sehingga memudahkan pelacakan. Di sana konsisten mengikuti Yasadipura dari Kakawin Bhāratayuddha menjadi Serat Bratayuda. Berbeda dengan konteks Yogyakarta. Pendeknya, tiap wilayah mempunyai ciri khas tersendiri. Latar belakang riilnya berlainan.
Misalnya, di Yogyakarta, salah satu brahmana yang memakai “sepatu” itu Drona. Itu secara simbolis memperlihatkan ketokohan yang sudah mengatasi manusia. “Seseorang yang lebih dari manusia. Kalau dikatakan Drona elek itu siapa yang bilang? Karena kita tidak mau melacak,” tandas Pak Manu.
Silsilah pandawa di Yogyakarta dan Solo memang berbeda. Namun, apakah perbedaan itu kemudian dikatakan sebagai carangan, Pak Manu menampiknya. Segala versi itu merupakan “babon” yang berlaku sedemikian rupa. Lakon carangan, imbuhnya, hanya lakon wayang Sriwedari. Itu karena pertimbangan pementasan yang berorientasi kebutuhan pasar.
Pak Manu tak mempermasalahkan benar atau salah. Pakem yang benar dan carangan yang salah. “Tapi sebagai orang yang punya tradisi mestinya kita jaga. Kalau bukan kita lalu siapa? Kehebatan mereka itu orang yang literer yang membaca. Jadi penurunan dari nenek moyangnya masih turun-temurun. Karena membaca,” katanya.
Masalah perkembangan variasi itu Pak Manu lacak berdasarkan perspektif antropologis. Sebuah tradisi dikatakannya selalu mengalami transformasi. Namun, ia mengingatkan apakah transformasi itu mengalami kontinuitas atau malah diskontinuitas. Kedua hal itu ia berikan catatan: bergantung sepenuhnya oleh kondisi masyarakat setempat.
“Di dalam diskontinuitas itu apa yang terjadi,” tanya Pak Manu kepada para dalang. Ia berharap agar mereka juga menguasai pengetahuan filologis. Supaya memahami varian-varian kisah yang ada dalam jagat pewayangan. “Varian-varian ini merupakan kekayaan yang kita miliki.”
Manakala Rabindranath Tagore bertandang ke Pulau Jawa, ia tertegun saat menyaksikan pertunjukkan epos Ramayana. Pak Manu menyitir majalah Jawa yang terbit pada tahun 1927. Majalah itu memuat impresi Tagore yang ternyata orang Jawa lebih memahami Ramayana ketimbang orang India. “Di India tidak ada wayang. Yang ada ya di Jawa. Sudah menjadi versi Jawa,” paparnya.
Majalah Kajawèn edisi 40 (9 Rabingulakir Taun Jimakir 1858, 6 Oktobêr 1927, Taun II) memberitakan, “Ing dintên Akat surya kaping 18 Sèptèmbêr 1927 wanci enjing panjênênganipun Tuwan Dr. R. Tagore dalah para pandhèrèkipun anglajêngakên lampah bidhal saking Surakarta dhatêng Ngayogyakarta mawi mampir mariksani candhi ing Prambanan.”
Sedangkan pada Surat 12 dalam Letters From Java: Rabindranath Tagore’s Tour of South East-Asia 1927 Tagore menulis: “Kisah Ramayana dan Mahabharata masuk ke dalam kehidupan masyarakat Jawa dalam bentuk yang masih hidup. Karena hidup, versi lokal dari kisah ini bukan hanya merupakan replika dari sastra kuno melainkan berkembang menjadi bentuk baru, dalam perjalanannya setelah berpapasan dengan ide-ide dan imajinasi masyarakat lokal sendiri. Tokoh-tokoh India dalam epos-epos itu masih mendiami tanah ini dalam wujud semangatnya.”
Merefleksikan perjalanan Tagore yang terpukau atas pertunjukkan itu Pak Manu berkomentar, “Kita hanya mengingat tradisi, bukan memakai tradisi.”
Tangapan Revolusioner
Mendengar para dalang yang berkeluh-kesah karena jarang ditanggap selama pandemi, Pak Manu mengingatkan satu hal. Sebaiknya para dalang jangan mengharapkan orang Indonesia nanggap wayang. Para dalang seharusnya berfokus pada kreativitas yang dapat dimungkinkan dan lebih mengarahkan perhatian terhadap masyarakat internasional.
“Dengan sarana IT yang luar biasa, kita bisa berhubungan dengan pusat-pusat foundation dunia. Asal kita bisa menunjukkan kekayaan kita yang sangat khas,” saran Pak Manu. Pada 2015 ia pernah ditunjuk mewakili Indonesia untuk menampilkan epos Ramayana di acara Asosiasi Peneliti Ramayana di Thailand. Di sana wayang sudah dianimasikan, difilmkan, dan lain sebagainya.
Itu kenapa Pak Manu berpesan “jangan khawatir” kalau jarang ditanggap selama pageblug. “Asal mau bergerak. Pasti semua akan teratasi. Dan jangan mengandalkan orang Indonesia. Kita harus mendunia. Kalau mengerjakan sesuatu, kita harus andalkan tradisi tulis. Jangan patah semangat bila tidak ada yang menanggap.”
Pak Manu bersedia membantu para dalang untuk melakukan ekspansi wayang ke luar negeri. Mendengar paparan itu Cak Nun menilai bahwa Pak Manu telah menegaskan sesuatu yang revolusioner. “Saya kira responsnya teman-teman dalang buat satu tim. Lalu konsultasi kembali ke Mas Manu. Untuk melakukan sejumlah langkah. Kita harus mempelajari strategi dan metodenya dengan berguru ke Mas Manu,” pungkasnya.