Memasuki Pasca Reformasi: Perubahan Tanpa Melukai
Dalam konteks ini pelaku dan pengikut reformasi dulu terasa sekali kalau melukai pelaku dan pengikut Orde baru dan pelaku serta pegikut Orde baru waktu menumbangkan Orde Lama juga melukai pelaku dan pengikut Orde lama. Jadi selalu ada mata rantai kebencian dan mata rantai luka-melukai dalam proses perubahan sejak dari Orde Lama ke Orde baru dan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Tetapi mengapa selalu saja pelaku perubahan ini justru kemudian meniru perilaku rezim yang dia benci dan dia tumbangkan? Jawabannya hanya ada pada satu unen-unen Jawa: Sengit ndulit. Arti dan maknanya adalah: orang yang sengit atau memberantas sesuatu dan seseorang atau orang lain dia akan terkena karma untuk melakukan hal-hal yang dia benci itu.
Dengan demikian, untuk memutus mata rantai benci-membenti, mata rantai luka-melukai dan mata rantai sengit ndulit ini maka yang perlu dilakukan jika ide untuk menggerakkan perubahan dalam format menuju era pasca reformasi atau post reformation era adalah memiliki langkah, perilaku dan kegiatan atau katakanlah aksi yang tidak melukai, tidak membenci atau sengit dengan perilaku pelaku dan pengikut reformasi yang sekarang telah menjadi pelaku dan pemuja KKN (korupsi-kolulsi-nepotisme) itu.
Bersih Negara dan Bangsa atau Ruwatan Bangsa dan Negara yang gagal meski bernama reformasi ini sebaiknya jangan diulang. Pelaku utamanya tetap sama, memberantas virus korupsi-kolusi-nepotisme dari tubuh bangsa dan menghilangkan benalu korupsi-kolusi-nepotisme dari pohon bangsa dan negara. Bersih Negara dan Bangsa atau Ruwatan Bangsa dan Negara sebagai upaya perubahan sebaiknya tidak menggunakan metode reformasi. Tetapi menggunakan metode transformasi. Transformasi sejati dan subtansial, bukan transformasi artifisial. Transformasi nilai-nilai anti korupsi transformasi nilai-nilai anti kolusi, dan transformasi nilai-nilai anti nepotisme dalam tindakan nyata dan perlu dilembagakan akan bisa berfungsi permanen. Dengan demikian dalam jangka yang amat panjang bangsa dan negara kita akan selamat dan menang dari godaan virus dan benalu korupsi-kolusi-nepotisme.
Mengapa tulisan ini memfokuskan pada trio KKN untuk mengukur apakah reformasi telah berhasil atau telah selesai karena gagal? Sebagai parameter moral agama dan moral politik trio KKN valid dan pas karena Trio KKN jelas bertentangan dengan moral agama dan moral politik karena Trio KKN mengkhianati nilai amanah dan nilai shidiq yang karena pengkhianatan itu menyebabkan merebaknya distrust sosial, ekonomi, budaya, politik dan hukum. Implikasinya, muncul anomali dalam banyak hal atau bahkan anomali dalam hampir semua lini kehidupan.
Dan anomali inilah yang menurut hemat saya bisa dihadapi atau diatasi dengan transformasi sejati, bukan dengan revolusi atau reformasi. Mengapa? Karena, sekali lagi; transformasi tidak melukai siapapun. Perubahan yang transformatif sangat elegan, santun, terukur, dan persuasif. Transformasi adalah mengajak untuk berubah, bukan memaksa untuk mengubah. Sebab segala sesuatunya sudah jelas. Lantas bagaimana kalau ada pihak-pihak yang tidak mau mentransformasi diri? Dia tentu akan ditinggalkan oleh sejarah esok hari dan sejarah masa depan. Sejarah tidak akan lagi memilihnya menjadi the rulling actors.
Tentu karena kita manusia beriman, kita dalam menjalankan transformasi menuju post reformation era kita lakukan dengan santun, lemah lembut, lapang dada berdasar pada khittah perjuangan tahsinul qulub, tahsinul kalam, tahsinul khuluq, tahsinul muamalah dan tahsinul baldah sekaligus tahsinul hayah. Salah satu bentuk dari serangkaian tahsinul-tahsinul itu adalah kita melakukan ikhtiar tasbihul hayah, tahmidul hayah, dan istighfarul hayah sebagaimana diisayaratkan Al-Qur’an dalam surat An-Nashr. Idza jaa nashrullahi wal fath. Wa roaitannasa yadkhuluuna fi diinillahi afwaja. Fasabbih bihamdi rabbika wastaghrir. Innahu kaana tawwaaba.
Yogyakarta, 25 November 2021