Kyai Muzzammil Mewarnai Perjodohan Madura dengan Maiyah
Saya lahir dan hidup sejak kecil di Madura yang berbudaya santri. Tapi saya sendiri tidak sebagaimana teman saya yang bisa belajar dan mengenyam pendidikan santri di Pondok Pesantren. Kadang sering iri melihat teman yang pulang dari pondok berpakaian putih, kopyah putih, wangi dan tutur bicaranya bijaksana.
Karena hidup dalam lingkungan santri itu yang melahirkan keinginan saya untuk mondok. Tapi keinginan itu tak tercapai sampai sekarang karena Ibu lebih menghendaki saya untuk sekolah formal saja, untuk pelajaran agama bisa belajar dari kiyai atau ustadz kampung. Lagian menurut Ibu belajar agama bisa di mana saja, yang penting niat dan kesungguhan hati untuk terus belajar.
Dari model pendidikan itu, saya nikmati saja alurnya. Salah satu cara saya belajar agama adalah dengan ngaji di kyai kampung dan memperhatikan setiap tindak tanduk beliau dari hal berpakaian, berucap sampai cara bersikap kepada santri dan orang sekitar.
Jadi ruang belajar saya lebih kepada ekspresi dan implementasi dari pendalaman dan pemahaman kyai itu terhadap Islam, yang saya perhatikan dan belajar dari yang terpancar dan tergetar dari dirinya. Bukan sebagaimana kebanyakan teman kampung saya yang hapal kitab kuning dan lalaran sambil berjalan atau bersepeda bersama.
Kegelisahan tidak bisa belajar agama secara akademis di pondok itu oleh Allah saya dipertemukan dengan Maiyah. Allah mengantarkan Maiyah kepada saya ketika pertanyaan perjalanan hidup saya sampai pada makna “syariat, hakikat, tarekat, makrifat”.
Karena keinginan kuat belajar mendalami agama, ketika teman kampung saya pulang, sering saya datangi dan ajak untuk disksusi. Saya berlaku sebagai santri, teman saya sebagai kyainya. Ketika saya bertanya bagaimana caranya orang bisa khusyu’ shalatnya? Seperti yang sering saya perhatikan dari kyai kampung itu ketika mengimami masjid. Teman saya menjawab.”oh beda maqam. Kita ini yang awam makamnya syariat. Kyai itu sudah hakikat dan makrifat. Jadi kadar dan tingkat shalat beliau tak sama. Karena hati kita masih dikuasai dunia”.
Jawaban itu tak sepenuhnya bisa diterima oleh hati dan keawaman saya. Dan karena ketidakpuasan atas jawaban itu membuat saya terus mencari jawabannya.
Allah membantu menemukan jawaban itu ketika di asrama sekolah pada sekitar 2014, teman saya memutar rekaman audio yang membahas tentang Syeikh Siti Jenar. Di dalam rekaman itu diterangkan bahwa “Manunggaling Kawula Gusti” itu pengertiannya bukan menyatunya hamba dengan Tuhannya. Tetapi menyatunya hati rakyat dengan hati pemimpinnya. Yang dari itu lahirlah tanggung jawab pemimpin untuk selalu bertindak dan mengambil keputusan sesuai isi hati rakyat.
Ketika saya tanyakan ke teman saya, siapa tokoh yang diputar tadi? Beliau menjawab itu salah satu isi pengajiannya budayawan Emha Ainun Nadjib. Seperti sedang diguyur air pegunugan, hati saya mengajak untuk mengetahui lebih banyak tentang beliau. Dari situ saya mulai menemukan informasi bahwa beliau penyair, lahir di Jombang, perintis Maiyah dan ada salah satu rutinannya di Surabaya. Dari situ saya mulai cari tahu jadwal terselenggaranya acara rutinan itu. Sampai pada rasa ingin selalu datang, karena di rutinan itu saya menemukan jawaban atas pertanyaan hidup saya sejak kecil, salah satunya belajar agama.
Di rutinan itu saya menemukan jawaban dari pertanyaan tentang bagaimana caranya shalat supaya khusyu’. Waktu itu Mbah Nun menjawab bahwa khusyu’ itu bukannya dicari tapi ditemui. Kita tidak bisa merangkai cara bagaimana bisa khusyu’, tapi kita bisa menemui ke-khusyu’-an itu tanpa kita. Asal kita melakukan sesuatu dengan niat baik dan bersungguh-sungguh termasuk shalat, Allah akan mempertemukan ke-khusyu’-an shalat Bersama-Nya. Mbah Nun bahkan mempertegas, mulai dari sekarang yang kita tingkatkan adalah banyak berbuat baik dan bersungguh-sungguh dalam melakukan apapun.
Jawaban demi jawaban saya terima dengan “puas” dan lega hati. Sampai Allah membimbing Kyai Muzzammil untuk ikut bermaiyah. Apalagi Mbah Nun ketika itu berwasiat kepada Kyai Muzzammil untuk terus menemani teman-teman jamaah maiyah di Surabaya. Kyai Muzzammil juga menjadi “bidan” kelahiran Simpul Maiyah Madura: PaddhangAtè, JhembharAtè, dan DamarAtè, yang sampai saat ini terus menggali dan menemukan keontentikan kemaduraannya.
Betapa gembiranya saya waktu itu. Dianugerahi bisa belajar kontekstual tentang Islam dan kehidupan, dan ditambahi dengan bisa belajar tekstual tentang Islam dari Kyai Muzzammil tentang khasanah kitab kuning di pesantren.
Perlahan Kyai Muzzammil menjadi idola kita di Surabaya dengan ilmu, pengalaman, guyonannya yang bertutur Jawa dengan logat Madura. Kyai Muzzammil di manapun tidak pernah mau menghilangkan kemaduraannya, meskipun sudah lama berdomisili di Yogyakarta.
Prinsip itu yang nge-charge saya untuk pede saja atas kemaduraan saya. Sebab Maiyah yang meluaskan kita dari pemahaman bahwa Indonesia itu ya Madura, Jawa, Sunda, Mandar, dan khasanah lokal yang lain. Kita justru akan utuh keindonesiaan kita jika sungguh-sungguh menjadi Madura, Jawa, Sunda, atau yang lain. Itulah cuaca Maiyah yang menggali keontentikan semua jamaah untuk berlaku sebagaimana takdir Allah atas hidup kita.
Sehingga kita dari berbagai latar belakang, budaya, bangsa dan kecenderungan bisa kumpul bersama dan betah sampai hampir Shubuh di setiap Maiyahan.
Tepat pada tanggal kelahiran Mbah Nun, Kyai Muzzammil idola kita telah mendahului pulang ke rumah abadi. Tentu yang selalu kita ingat dari beliau adalah guyonan dan logat Maduranya, yang dari itu juga terselip ingatan satu atau dua ilmu dan pemahaman penting yang kita butuhkan.
Tak salah jika suatu saat ketika Maiyahan secara tidak sadar kita terngiang-ngiang sosok beliau hadir, menantikan kedatangan Kyai Muzzammil, sebagaimana ketika dulu sering membersamai kita.
Sebab alam bawah sadar kita telah dikuasai oleh ruang cinta ketulusan dan keistiqamahan serta ingatan guyonan logat Maduranya Kyai Muzzammil. Kyai Matorsakalangkong. Atèh atemmoh atèh. Odik matèh kobessahna Gustèh.
Surabaya, 27 Mei 2021