CakNun.com

Kredo Kesenian dan Kesastraan Cak Nun

The Playful Revolution: Theatre and Liberation in Asia (1992)

Cak Nun melihat aksi kultural merupakan kunci perubahan sosial. Bertahun-tahun ia menempatkan kecenderungan tersebut sebagai kredo keseniannya. Seni untuk melayani masyarakat.

Sejumlah karya Cak Nun memang banyak membicarakan tema-tema ketidakadilan sosial. Rakyat dibicarakan sebagai pihak yang tertindas, terasing, terpisah dari ruang sosialnya. Bukan dalam perspektif wacana kemiskinan, melainkan pemiskinan struktural. Rakyat atau wong cilik dikondisikan sedemikian rupa oleh kekuasaan di luar dirinya, baik disadari maupun tidak.

Kenyataan itu mendorong Cak Nun untuk menempatkan rakyat sebagai aktor di tiap langgam karya yang dihasilkan. Kekhasan itu terasa kuat dalam esai, naskah teater, puisi, cerpen, bahkan retorika yang disampaikan di muka umum. Ada dua alasan setidaknya mengapa ia memilih jalan itu.

Pertama, latar belakang sosialnya selalu tidak pernah tidak dalam ruang komunalitas. Fase Jombang, Ponorogo, sampai Malioboro dapat ditelisik lebih lanjut sejauh mana Cak Nun menempatkan diri di tengah keanekaragaman orang di dalamnya. Kedua, kecenderungan individu demikian lalu memberi bentuk, corak, dan format kredo kesenian maupun kesastraannya.

Hal terakhir inilah yang banyak disinggung oleh Eugène Van Erven dalam bukunya berjudul The Playful Revolution: Theatre and Liberation in Asia (1992). Terutama pada bagian delapan Beyond the Shadows of Wayang: Theatre of Liberation in Indonesia (195-206) 1.

Meskipun tidak sepenuhnya membicarakan kiprah Cak Nun, sejumlah paparan Eugène banyak memberikan analisis atas kredo kesenian dan kesastraannya. Terutama memfokuskan pada rekam jejak kreatif di titimangsa 80-an.

Buku ini dapat dikatakan merupakan hasil penelitian etnografis. Jauh dari kesan kaku. Uraian Eugène begitu mengalir. Genre tulisannya naratif. Praktis seperti gaya bercerita. Memang sewaktu melakukan penelitian lapangan ia bukan sekadar mewawancarai narasumber, melainkan juga mengikuti ke mana pun Cak Nun pergi 2.

Impresi itu lalu dituangkan dalam kajian ini.

***

Suatu ketika Eugène berbincang dengan Cak Nun. Mereka membahas mengapa orang Indonesia tidak sepenuhnya membenci orang Belanda. Kalaupun membenci di hati mereka masih menyisakan decak kagum. Seperti cinta yang mendua. Membenci dan mengagumi bercampur-baur.

The Playful Revolution: Theatre and Liberation in Asia (1992).

Di mata masyarakat setempat, orang Belanda dilihat positif karena mewariskan banyak hal kasatmata. Dari jalan raya sampai bangunan megah. Bahkan puing-puing peninggalan pemerintah kolonial dijadikan objek pariwisata. Kini malah dipakai sebagai latar swafoto.

Percakapan itu berlangsung di vespa biru milik Cak Nun. Ia memboncengkan Eugène seraya membuktikan hipotesis tersebut di jalan sepanjang Malioboro. Di tengah obrolan, Cak Nun menegaskan satu hal. Kriminal terbesar kolonial Belanda adalah meninggalkan rasa inferior yang akut. Sampai sekarang.

Trauma pascakolonial itu membuat penduduk setempat selalu memandang Barat lebih tinggi ketimbang mereka. “Penyakit kronis” ini menciutkan kreativitas masyarakat 3. Pada takaran tertentu bahkan membuat mereka tidak otentik lagi dalam memandang sesuatu. Khususnya memandang potensi individu di tengah kecamuk rasa rendah diri.

Pandangan Cak Nun itu membentuk pemikirannya dalam berkesenian. Ia melihat aksi kultural merupakan kunci perubahan sosial. Bertahun-tahun Cak Nun menempatkan kecenderungan tersebut sebagai kredo keseniannya. Seni untuk melayani masyarakat. Sekalipun pilihannya itu menuai risiko besar.

Ada satu tonggak sejarah di balik alasan itu. Selama dua bulan tahun 1980, ia mempelajari proses berkesenian sampai pelosok dusun di Filipina. Seniman dan masyarakat saling bahu-membahu mempersiapkan pentas. Bagi mereka, berkesenian tidak hanya di atas panggung. Meskipun tetap penting tapi ia bukan paling utama dalam pandangan kesenian sebagai proses.

Sepulangnya dari sana Cak Nun ke Jombang. Ia menyadari torehan prestasi atas puisi maupun deklamasi yang ia raih tidak bermakna apa-apa bagi masyarakat. Puisi dianggap barang asing. Selama ini penyair terlalu sibuk dengan kesunyian dan kesendiriannya semata. Jauh dari perkara kontekstual.

Romantisasi atas keterasingan dalam puisi hanyalah milik elite.

Kesadaran itu mengubah Cak Nun. Sejak itu ia menulis puisi dalam bahasa ibunya. Tentang realitas sosial yang ia temui, amati, dan rasakan. Wong cilik menjadi episentrum fokusnya. Pendek kata, Cak Nun sudah mulai menganggap seni sebagai medium dialog kepada masyarakat. Berbagai genre sastra atau pertunjukkan teater hanya sarana penyampaian nilai.

Eugène mencatat pada 1983 Cak Nun mulai memperkenalkan pembacaan puisi dan musik lewat Teater Dinasti. Embrionya sudah dikandung empat tahun sebelum itu. Pertama kali mementaskan musik-puisi yang ditulis Cak Nun pada 1979. Eugène semula tidak percaya kalau pertunjukkan mereka dikerubungi ratusan orang.

“Kalau tak percaya ayo datang ke Malang sabtu besok ini,” ajak Cak Nun.

Ajakan itu gayung bersambut. Eugène ikut Teater Dinasti. Mereka akan mementaskan pembacaan musik-puisi yang diselenggarakan organisasi mahasiswa Universitas Brawijaya. Perwakilan mahasiswa datang ke Yogya membawa mobil. Menjemput rombongan. Menjelang acara Eugène mendeskripsikan suasana secara detail.

At seven-thirty the calls to prayer started coming from the loudspeakers on the minaret. At a quarter of eight, Utung, the student council secretary, Emha, Michael Bodden (an actor and literature scholar from Wisconsin who proved to be an invaluable interpreter), and I walked to the mosque, protected from the steady rain by a huge umbrella.

Unable to find a seat in the giant mosque, people were spilling into the streets. Hundreds of fans came running toward us, holding up copies of Emha’s poetry collections for autographs. It took us more than twenty minutes to work our way through the crowd. Suddenly it dawned on me why the military had never dared harass the poet.

Emha Ainun Nadjib. The Playful Revolution: Theatre and Liberation in Asia (1992).

Ketidakpercayaan Eugène akhirnya terjawab. Ia berada di tengah kerumunan orang yang menyaksikan deklamasi. Ternyata musik-puisi hanya sarana komunikasi kepada jamak orang, selebihnya Cak Nun mengumpan sejumlah pertanyaan dan pernyataan. Dialog di antara mereka terjadi penuh antusias.

Catatan Eugène menunjukkan bahwa Cak Nun, selain menganggap seni sebagai medium dialog kepada masyarakat, juga acap kali memakai dasar Qur’an sebagai basis referensi. Jamak pula memakai ayat suci umat Islam untuk membedah realitas politik aktual waktu itu.

***

Pengetahuan politik, sosial, dan keislaman Cak Nun yang luas membuat dirinya mampu mewedar banyak hal. Strategi komparatif ini disebut Eugène sebagai “an Islamic variety of liberation theology” — Islam di satu pihak bukan dipakai sebagai dekorasi keagamaan, melainkan cenderung dijadikan basis nilai dalam mendedah perkara kontekstual. Salah satunya Cak Nun kerap mengutip cerita di Qur’an yang bertemakan sama dengan keadilan sosial.

Sayangnya pandangan Eugène itu tidak ia kaitkan dengan kecenderungan para mubalig di Indonesia. Sebagai perbandingan, saya kira itu penting untuk memperlihatkan kekhasan Cak Nun di tengah diskursus kesenian Islam yang lazim dipakai tahun 80-an.

Apalagi posisi Islam secara politik di kancah nasional semakin disudutkan oleh berbagai bentuk pelarangan. Salah satunya lewat diskriminasi pemakaian jilbab atau simbol-simbol keislaman lainnya. Hemat saya pembacaan semacam ini penting dilakukan untuk menengok konteks yang lebih luas. Apa yang dilakukan Cak Nun dengan langgam kesenian dan keislamannya sesungguhnya merupakan resistensi terhadap diskriminasi itu.

Selain berkonfrontasi terhadap rezim melalui pertunjukkan musik-puisi, Cak Nun juga mengembalikan posisi Islam secara nilai. Tidak hanya masalah — meminjam istilah Eugène — sebagai “moralistic regulations” seperti persoalan haram dan halal, tetapi juga masalah sehari-hari yang terjadi di sekitar masyarakat.

Menyejahterakan orang miskin sehingga tercukupi sandang dan pangannya, menurut Cak Nun, jauh lebih penting daripada ibadah haji ke Makkah. Analogi ini tidak berpretensi satu hal lebih tinggi ketimbang lainnya. Namun, ia memperlihatkan agar orang tidak terjebak dan terlalu berfokus pada tata cata ibadah formal, sementara melupakan tetangga terdekat yang kesulitan makan sehari-hari.

Pada aras demikian, kredo kesenian dan kesastraan Cak Nun begitu “melek” terhadap realitas sosial-politik, yang bukan dalam pengertian elite, melainkan berkesadaran kritis. Ketika ditanya Eugène bagaimana seharusnya memulai di tengah sistem berikut “isme-isme” di sekitarnya, Cak Nun berpendapat agar masyarakat harus berpikiran otentik dan berdaulat 4.

Lainnya