Keberagaman Pangan dan Pertanian Berkelanjutan
Problem pangan di Nusantara tidak akan selesai dengan penerapan kebijakan secara top-down jika berkaca pada kondisi pemerintahan saat ini. Solusi yang bersifat bottom-up lebih mampu menjamin ketersediaan pangan di masyarakat secara adil dan berkelanjutan. Itu adalah satu dari sekian take-home message dari kegiatan Sinau Bareng daring Mafaza yang diadakan pada penghujung Oktober 2021 yang diberi tajuk “Rajut Tali Pangan”.
Dalam paparan Dr. Erna Abidin, doktor peneliti dan pendiri Reputed Agriculture 4 Development Stichting–Foundation, disebutkan bahwa pemenuhan pangan sejatinya berkaitan dengan nyawa manusia. Permasalahan pemenuhan kebutuhan pangan secara adil dan merata bukan hanya masalah bagi Indonesia, karena hal serupa juga terjadi di negara lain. Oleh sebab itu dibutuhkan perombakan yang tidak hanya berfokus pada penataan regulasi, kebijakan, dan strategi pangan, tetapi juga perlu ada usaha untuk mengubah pola masyarakat secara menyeluruh, termasuk di dalamnya adalah pola pikir perangkat pemerintahan. Misalnya mindset pembangunan di bidang pangan, yang seharusnya tidak hanya mementingkan keperluan budidaya dan pasar komoditi, namun lebih condong kepada pembangunan menyeluruh yang berkesinambungan serta menjaga keharmonisan antara alam, manusia, dan kemakmuran bersama (people, planet, prosperity).
Lebih lanjut Dr. Erna menjabarkan tentang target Zero Hunger atau “Nihil Kelaparan” yang termaktub dalam Sustainable Development Goals. Faktor-faktor seperti pangan yang sehat, produk yang merespons kebutuhan pasar, sistem pertanian yang berkelanjutan, perubahan iklim, situasi politik, aktor/penikmat produk, keseimbangan distribusi serta andil pemerintah sangat berperan dalam pemenuhan target “nihil kelaparan” tersebut.
Sebagai contoh Dr. Erna menjelaskan secara lebih detail tentang faktor produksi sumber pangan sehat, mencakup pertanian juga peternakan, yang harus memperhatikan keberlangsungan proses produksi (sustainable agriculture) karena sangat erat kaitannya dengan dampak perubahan iklim. Menurut beliau, dengan memperhatikan Crops Diversity atau keragaman tanaman pangan, akan sangat membantu mengurangi dampak perubahan iklim yang terjadi dewasa ini, selain juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu contoh yang saat ini sedang digalakkan di Ghana, pemerintah setempat bersama tim NGO yang dipimpin Dr. Erna, mengajak masyarakat untuk menanam ubi jalar warna oranye sebagai salah satu produk pangan substitusi ubi kayu.
Ubi jalar yang kaya akan beta caroten ini tidak difungsikan untuk mengganti fungsi ubi kayu sebagai menu utama masyarakat Ghana, akan tetapi sebagai diversifikasi pangan atau alternatif bahan konsumsi guna tercapainya kedaulatan pangan masyarakat tanpa harus bergantung pada impor. Selain itu menanam tanaman pangan yang beragam juga bertujuan untuk memperbaiki zat hara tanah yang selama ini hanya “dimonopoli” oleh satu jenis tanaman. Jika proses produksi ubi kayu memakan waktu hampir 1 tahun, dengan menanam ubi jalar petani bisa melakukan 3 kali panen dalam setahun, yang tentu berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelebihan hasil panen kemudian dapat dimanfaatkan untuk proses pangan dengan teknologi lebih lanjut (higher food processing technology) yang berfungsi sebagai “simpanan pangan”. Jika masih ada produk afkir dari hasil panen, maka bisa digunakan juga untuk pemenuhan pakan ternak, sehingga tidak ada satu bagian pun yang tidak dimanfaatkan.
Menanggapi paparan Dr. Erna, Pak Siswa Santoso yang bergabung dari Belanda berpendapat bahwa selain ada “Aktor” yang disebutkan sebelumnya, ada pula “Faktor” yang turut menentukan tercapainya kedaulatan pangan secara komprehensif. Menurut literatur yang dibaca Pak Sis, Indonesia pada era abad ke-5 hingga 15 adalah bangsa yang memiliki teknologi pertanian tingkat tinggi, yang mana bagi Pak Sis hal tersebut tergolong ke dalam “Faktor”.
Akan tetapi semenjak pergolakan politik pada masa penjajahan Belanda, juga penerapan tanam paksa atau Cultuurstelsel, masyarakat Nusantara yang awalnya adalah “pelaku produksi” yang sangat memperhatikan kaidah keseimbangan alam, berubah menjadi aktor yang berperan dalam rusaknya alam demi tercukupinya kebutuhan komoditas perdagangan. Bahkan setelah era kemerdekaan Republik Indonesia hingga era pasca Reformasi saat ini, kita masih belum bisa membawa bangsa ini menjadi pengampu kedaulatan pangan negerinya sendiri, karena faktanya kita masih sangat bergantung pada produk impor untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Menyambung paparan dari Pak Sis, Pak Toto Rahardjo mencoba membedah lebih dalam perihal perbedaan perspektif pangan sebagai komoditas dan pangan sebagai kebutuhan dasar penduduk. Konsep sistem pemenuhan pangan dewasa ini bagi Pak Toto sangat meresahkan, karena proses produksi pertanian tidak lagi bertujuan untuk mencapai kedaulatan pangan tetapi lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan dagang di mana banyak lahan yang dikuasai oleh golongan tertentu di tanah air untuk mencari keuntungan pribadi sebesar-besarnya, sehingga kesejahteraan rakyat seperti yang dicita-citakan pada sila ke-5 Pancasila amat sulit untuk direalisasikan.
Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai data statistik produk-produk impor yang semakin hari semakin menunjukkan peningkatan jumlah. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, ironisnya bahkan harus mengimpor berbagai bahan pangan seperti bawang putih, beras, santan kelapa, gula hingga garam dari negara-negara tetangga yang notabene memiliki wilayah agraris yang lebih kecil daripada Indonesia. Keberadaan para pemburu rente dari kegiatan impor yang bercokol di berbagai instansi pemerintah itu sendiri juga semakin memperlemah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pak Toto kemudian menambahkan bahwa untuk melawan kebobrokan sistem di Indonesia, jangan telurkan solusi dari top to down, tapi sebaliknya harus dimulai dengan memperkuat sistem dari tingkat desa, atau lebih kecil lagi dari entitas keluarga. Selain itu perangkat desa seperti RT, RW dan Lurah juga memiliki peran dalam proses perbaikan cara pandang kedaulatan pangan di masyarakat. Dalam konteks ini, desa memiliki potensi untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakatnya melalui dana desa yang dikucurkan pemerintah, tidak hanya untuk pembangunan infrastruktur tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk pembangunan sumber daya manusianya yang juga menyangkut perbaikan pola pikir dan wawasan penduduk setempat. Pola hidup khas desa seperti bebrayan atau saling mendukung satu sama lain serta hidup dalam kebersamaan, adalah cara tepat untuk membangun peradaban yang lebih baik, melawan tren individualitas di masa kini.
Sejalan dengan konsepsi dari Pak Toto, Dr. Erna berpendapat bahwa proses perbaikan kedaulatan pangan juga sepatutnya dimulai dari bawah, sebagai contoh pendekatan melalui keluarga untuk mengubah pola hidup dan keterlibatan kepala suku di Ghana, sangat menunjang keberhasilan proyek yang beliau kerjakan selama lebih dari 20 tahun di Afrika. Penguatan keterampilan bagi masyarakat melalui balai pelatihan atau memberi kesempatan bagi tokoh masyarakat untuk meningkatkan wawasan untuk lebih kreatif dan inovatif juga perlu terus dilakukan sebagai salah satu cara melawan hegemoni pasar bebas. Solusi yang berbasis konteks lokal, yang muncul dari masyarakatnya sendiri bisa secara efektif menghadapi berbagai permasalahan yang ada di suatu wilayah.
Diskusi pun dipungkasi dengan ide praktis dari Pak Sis, yakni teman-teman di Indonesia bisa memulai membangun kemandirian pangan dengan menjadi “produsen pangan” pada tingkat atau skala yang kecil, termasuk membentuk koperasi yang bisa menjadi tujuan alternatif pemenuhan kebutuhan pangan, bebas merdeka dari para penguasa pasar yang ada di Indonesia.