Keajaiban Kecil Bagi Allah Yang Maha Lebih Besar
Keajaiban-keajaiban itu betul-betul saya alami sendiri pada sekitar bulan Agustus tahun kemarin yang awalnya hanya Allah Swt yang Maha Mengetahui. Baru saya ungkapkan ke teman-teman saya juga dulur-dulur Maiyah beberapa bulan lalu karena mereka pasti menganggap saya ini ngigo, ngarang, ingin di anggap dekat dengan Simbah.
Bukan tanpa alasan karena menurut saya di simpul Paseban Majapahit terdapat para master, senior, yang saya rasa ilmu, metode Maiyah apapun yang saya rasa mereka sudah mengantonginya, juga karena sudah bertahun-tahun Maiyahan, Sinau Bareng Mbah Nun. Ada yang pernah bersalaman dengan Mbah Nun, bahkan ada juga yang pernah bersilaturahmi ke Kadipiro, juga hubungan dekat dengan keluarga Ndalem di Jombang.
Salah satu dari keajaiban-keajaiban tersebut adalah ketika saya berusaha betul-betul nyinaoni idiom Mbah Nun, “Sinau o marang hal-hal seng gak ketok-gak ketok. Awakmu kudu Yakin nek Onok Gusti Allah, Onok Kanjeng Nabi.”
Saya yang memang keseharian bekerja di sekretariat Kodya. Waktu itu bertepatan dengan kirim Do’a pembacaan Tahlil beberapa hari setelah ibunda Chammanah wafat. Saya yang baru mengenal atmosfer “Maiyah Paseban Majapahit” hanya bondo nekat kalau saya hanya beri’tikad baik memberanikan diri mengikuti majelis tersebut yang saya rasa waktu itu diikuti dulur-dulur khusus Paseban Majapahit dan “bersifat rahasia”, bertempat di Rumah Cak Robert Mojokerto kota.
Ketika tiba di rumah Cak Robert pun saya juga terlambat. Pembacaan tahlil sudah selesai. Akhirnya saya di situ tidak langsung pulang karena nggak berani, juga belum kenal dengan beliau-beliau “jagongan” mendengarkan dongeng-dongeng dari Mbah Man Tembelang, Cak Eko Jetis beserta tuan rumah Cak Robert yang saya kenal waktu itu juga kita jagongan sampai tiba waktunya tarkhim.
Karena memang nggak berani pamit pulang saya. Juga di sisi lain jiwa Cak Robert baik karena beliau-beliau Sinau betul-betul di kehidupannya. Cak Robert menginginkan saya agar menginap di rumahnya, karena saya akan berangkat bekerja pada pukul 05.00 padahal beliau baru mengetahui nama saya, kok tidak ada rasa curiga, tamu baru kenal kok diajak menginap di rumah.
Saya mengalami keajaiban ketika taplak meja yang dipakai untuk transit Ibu walikota dan wakilnya, Ibu sekretaris daerah, Dandim, Danrem, beserta Kapolres. Taplak meja itu ditugaskan untuk saya yang mempersiapkan.
Memang dasarnya saya ini pemalas dan taplak itu awalnya kotor saya titipkan ke adik untuk dicuci, saya kum di bak berisi air. Kemudian saya tinggal. Hingga sampai pada keesokan harinya taplak tersebut masih saya dapati basah kuyub di dalam bak yang berisi air.
Pada awalnya saya jengkel dengan situasi tersebut, karena saya sudah ngomong “iya” dengan yang memberikan tugas. Tapi taplak yang mau dipakai kan untuk orang yang merasa petinggi-petinggi tersebut masih basah.
Akhirnya saya ingat dengan ucapan Mbah Nun, “Putus asa pada dunia adalah sebuah jalan kesadaran, yang kontra produktif adalah putus asa pada pertolongan Allah.”
Di dalam hati saya spontan nggremeng, “Mbah Nun, mbok ya putune direwangin wong-wong kuwi Sampean siwer kabeh ben gak keroso nek e taplak e jek teles tas jupuk nang bak.”
Akhirnya saya pasrah sama Allah Swt, taplak meja yang basah tersebut sudah saya pakaikan, tetapi saya tidak mau mendekati meja tersebut, apalagi memandangi, wes mboh cek diurus Mbah Nun, jare nek berniat baik akan nemu dalan.
Saya tunggu transit tersebut di pos penjagaan, sambil berusaha berdamai dengan situasi. Akhirnya saya dipanggil seseorang, yang saya kira akan mempermasalahkan hal tersebut.
Ternyata yang terjadi, taplak meja tersebut dikelilingi mereka-mereka dengan sangat nyaman, tidak terasa kalau taplak e teles. Saya tertawa, akhirnya sambil menahan ngantuk saya setelah jagongan tadi malam. Bahkan misuh dalam hati, “Jangkrek Mbah Nun iki isok ae, padahal iku jek durung teko wonge, ndahne wonge nek nang kene...”
Tapi semua keajaiban-keajaiban tersebut saya sadari atas kehendak-Nya.