CakNun.com

Kata ‘Perumpamaan’ dalam Surat Al-Baqarah 261

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit
Image by mohamed hassan from Pixabay

Dalam Sinau Bareng Gondelan Syafaat Kanjeng Nabi bulan lalu, ada satu uraian cukup menarik dari Mbah Nun saat beliau menyitir dan menguraikan ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 261.

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَا لَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَا بِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَا للّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَآءُ  ۗ وَا للّٰهُ وَا سِعٌ عَلِيْمٌ

Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui.”

Menurut Mbah Nun, hitungan lipat ganda di situ tidaklah berarti secara harfiah seperti tersebut pada ayat di atas, sehingga kita bisa memastikan secara matematis jumlah pahala yang kita peroleh. Atau, kalau pun rumusnya adalah seperti itu (dari satu 1 biji, menjadi 7 tangkai, dan pada setiap tangkai terdapat 100 biji, sehingga total 700 biji), maka hanya Allah yang berhak memastikan. Kita tidak boleh dan tidak berhak ikut memastikan.

Lagi pula, ayat Al-Baqarah 261 ini diawali dengan dengan kata ‘perumpamaan’ (matsalu). Dan ini barangkali merupakan alasan Mbah Nun untuk mengatakan bahwa hitungan lipat ganda pahala atas perbuatan baik atau derma tidak berlangsung leterlek seperti hitungan di atas. “Jadi itu hanya perumpaan, bukan persis seperti itu hitungannya,” tegas Mbah Nun.

Bila kita cermati, tampaknya memang kata ‘perumpaan’ pada ayat tersebut jarang menjadi fokus kita saat memahami ayat ini. Pandangan kita lebih cepat terpusat pada hitungan lipat ganda yang menggiurkan itu. (Naluriah barangkali?). Maka, menarik sebenarnya untuk mencari tahu atau mempelajari mengapa Allah menggunakan kata ‘perumpaan’ dalam ayat tersebut.

Para pengkaji Al-Qur’an lazimnya memahami bahwa di dalam Al-Qur’an Allah menggunakan banyak kosakata dari suatu bidang/dunia, misalnya perdagangan atau ekonomi. Sebagai contoh ada kata hisab (perhitungan), qardhan (pinjaman), timbangan, ajrun (balasan/imbalan/upah), lipat ganda (adh’afan mudho’afah), kitab (catatan), dll. Menurut para pengkaji Al-Qur’an tersebut, kosakata-kosakata itu dipakai di dalam Al-Qur’an dikarenakan masyarakat Arab pada waktu itu yang merupakan audiens pertama Al-Qur’an adalah masyarakat pedagang yang kuat. Mekah dan Madinah adalah dua kota niaga yang sibuk. (Lihat misalnya, Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual Al-Quran, Mizan, Bandung, cet. IV, 1994).

Namun, dalam catatan Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, terdapat satu kondisi tak tampak di balik geliat dan kesibukan ekonomi masyarakat Arab saat itu, yakni suatu ‘mental’ yang menyelimuti mereka bahwa mereka sangat ingin memperoleh harta atau kekayaan dengan berlipat ganda. Ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dalam benak mereka, harta yang banyak itu akan membawa mereka kepada keabadian. Sedemikian rupa kuat dorongan itu, sampai-sampai mereka mau melakukan kecurangan: curang dalam timbangan; melakukan praktik riba; dan monopoli. Dan praktik yang paling lazim untuk memaksimalkan keuntungan adalah memberikan pinjaman dengan pengembalian yang berlipat ganda.

Bisa dibayangkan tentunya situasi keserakahan ini akan melahirkan bukan hanya kesenjangan sosial ekonomi melainkan juga penindasan dan ketidakadilan oleh sebagian kelompok atas kelompok lain yang lebih lemah posisinya. Kondisi inilah yang dengan keras dikecam oleh Al-Qur’an.

Dalam suasana mental gila akan penumpukan harta, harta yang diperoleh akan diakumulasikan hanya pada dan untuk dirinya. Tak ada sebagian yang diberikan untuk orang lain, yang membutuhkan. Tak ada kosakata berderma atau berbagi. Di situlah, Allah men-challenge mereka dengan bahasa sehari-hari mereka (bahasa perdagangan), di mana kalau mereka ingin mendapatkan lipat ganda dari harta/uang mereka, maka justru harta itu perlu mereka keluarkan, untuk orang lain yang membutuhkan (kepentingan sosial).

Di situlah kemudian Allah menggunakan kosakata mereka untuk perumpaan menyangkut balasan bagi mereka yang mau berderma atau bersedekah: satu biji, menjadi tujuh tangkai, dan pada setiap tangkai, ada seratus biji. Algoritma yang menggiurkan bukan?

Dengan mengenali situasi historis yang mengitari turunnya ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang sekonteks, kita dapat memahami jika bahasa yang digunakan Allah dicirikan oleh logika ekonomi. Tetapi, jika ditarik secara universal dan hakiki, kata-kata ‘satu’, ‘tujuh’, dan ‘seratus’, serta ‘melipatgandakan’ pada ayat tersebut hanyalah perumpamaan, dan benar memang Allah sendiri menyebutnya perumpamaan pada awal ayat ini.

Berdasarkan pembacaan kontekstual ini, lantas kita bisa menangkap bahwa fokus ayat ini adalah tantangan Allah kepada kita untuk mau berbagi atau menyisihkan harta kita di jalan Allah. Bukan pada perumpamaannya itu sendiri. Persis seperti yang dikatakan Mbah Nun. Terlebih jika diingat bahwa ayat itu turun sebagai counter vis a vis ajaran Islam dengan praktik riba yang dilakukan orang-orang yang serakah hingga mau menempuh cara-cara yang tidak benar. Perumpamaan itu sekadar bahasa diplomatis pinjaman yang digunakan Allah untuk berkomunikasi kepada pengguna bahasa tersebut.

Sudah barang tentu, kritik sosial frontal Allah lewat ayat ini, dan ayat-ayat lain yang setema ini, bukan dalam rangka mendevaluasi arti perdagangan sebagai salah satu bentuk kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup serta kegiatan ekonomi sebagai salah satu roda fundamental bagi berjalannya suatu masyarakat, melainkan kecaman Allah atas cara-cara dan visi yang keliru yang mungkin dilakukan oleh sekelompok orang. Sebagaimana kita tahu Nabi Muhammad sendiri menjalankan praktik ekonomi dengan cara-cara yang terpuji, jujur, dan amanah.

Yogyakarta, 15 Desember 2021

Lainnya

Menggerakkan Gelombang Kelima

Menggerakkan Gelombang Kelima

Kelemahan puncak masyarakat atau bangsa kita sekarang adalah tiada semangat untuk merawat, menyiram, menumbuhkan kembali secara permanen kemudian menggelorakan kesadaran akan nilai menjadi gelombang kesadaran, gelombang pikiran, gelombang kehendak dan gelombang-gelombang tindakan yang positif.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.

Topik