CakNun.com
(Kebon209 dari 241)

Jadilah Sahabat Sejati Bagi Dirimu

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit

Sahabat sejati adalah orang-orang yang setia bersama kita dalam jangka waktu yang panjang hingga usia tua. Sahabat sejati adalah manusia yang menemani kita secara total sampai hal-hal yang paling mendasar dan prinsipil dalam kehidupan. Sahabat sejati adalah manusia yang menenami kita sampai pada taraf hampir meniadakan dirinya sendiri, memberikan kepada kita segala yang paling berharga baginya.

Sahabat sejati adalah manusia-manusia yang menghutangi kita sangat banyak hal namun tak pernah menagih piutangnya kepada kita. Sahabat sejati adalah manusia-manusia yang melangkah bersama kita di sepanjang perjalanan hidup, yang tidak melakukan apapun selain yang menggembirakan hati kita, yang menyehatkan pikiran kita, yang memperteguh iman kehidupan kita, serta yang memperkuat energi perjuangan kita sepanjang perjalanan hidup.

Nabi Ibrahim, satu di antara Nabi dan Rasul yang digelari Ulul ‘Azmi adalah sahabat sejati Allah. Khalilullah. Ketika Allah mewahyukan kepada perintah untuk khitan, yang ada di dekatnya adalah kapak, dan Nabi Ibrahim mengkhitan alat kelaminnya dengan kapak. Ia tidak mau Allah menganggapnya sebagai hamba yang menunda-nunda perintah dan kewajiban. Maka ia tidak mencari-cari pisau atau alat lainnya, melainkan langsung menggunakan kapaknya.

Malaikat Jibril As diperintah oleh Allah Swt untuk menjelma jadi manusia dan mendatangi Ibrahim untuk menguji mental dan kepribadiannya. Jibril mengeluh bahwa ia butuh pertolongan dan bisa diatasi kalau ia punya kambing. Secara bertahap Nabi Ibrahim mempersilakan Jibril untuk mengambil salah satu dari 14.000 ekor kambingnya. Kemudian mempersilakan Jibril mengambil sepertiganya dari jumlah itu. Akhirnya Ibrahim mempersilakan Jibril mengambil dan memiliki seluruh kambingnya.

Gelar “Khalillah”, sahabat karib Allah terasa begitu indah. Allah tidak diperanakkan oleh siapapun. Tidak juga punya anak, istri atau sudara-saudara. Tetapi Ia punya sahabat sejati.

Salah satu fakta anugerah Allah Swt kepada hidup saya. Salah satu bukti Rahman Rahim Allah Swt serta semua sifat-sifat penuh kemurahan, kasih sayang, pengayoman, perlindungan dan penghiburan-Nya kepada hidup saya adalah banyaknya sahabat-sahabat sejati di setiap jengkal perjalanan hidup saya sejak kanak-kanak hingga usia tua sekarang ini.

Maka saya juga wajib menjadi sahabat sejati bagi diri saya sendiri. Saya harus setia kepada kewajiban hidup diri saya sendiri. Allah sendiri adalah Maha Sahabat Sejati bagi setiap hamba-Nya. Saya tidak boleh menipu dan menganiaya diri saya sendiri

وَظَلَّلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡغَمَامَ وَأَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَنَّ وَٱلسَّلۡوَىٰۖ
كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡۚ وَمَا ظَلَمُونَا
وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ

“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”.

Di Menturo saya dianugerahi banyak sahabat sejati. Ada Markesot manusia prima-logik, hidup sangat konsisten dan syar’i. Punya Guk Denan, yang di masa tua sekarang ini saya baru tahu bahwa ia seorang santri. Ia ternyata murid rahasianya Ayah saya. Ia pendekar sepakbola yang mengajari saya “ngelmu titèn” sampai diterapkan di peta strategi sepakbola. Ia sangat akurat mengetahui kelemahan mental saya ketika bermain bola. Kami di-bon oleh klub-klub di Jombang dan cukup kamu berdua yang menjelajah lapangan untuk memasukkan gol demi gol. Ketika jumlah gol sudah cukup, saya tendang bola keluar lapangan karena bosan menang. Guk Denan marah. Saya dimarahi karena memenggal posisi rasa syukur. Dia bilang sepakbola itu bukan soal jumlah gol, melainkan bermain maksimal sesuai dengan anugerah kemampuan kita dari Tuhan.

Ketika saya beberapa tahun di Gontor, permainan sepakbola saya menurun. Ketika kami berdua menjelajah lapangan menembus sela-sela kaki lawan-lawan, Gus Denan bilang “Sampeyan kok wis gak titèn…”. Main bola tidak bisa ilmiah, tidak sempat mengukur peta koordinat, berapa meter bola harus ditendang, lengkung ekstrem atau landai atau telèsèr. Dan itu tergantung posisi bawah kaki berserta sudut ketika menendang. Semua tidak bisa diukur secara akademis. Ilmu sudah harus menyatu dengan kaki, hati dan perhitungan pikiran dalam spontanitas-spontanitas. Dan menurut Guk Denan sore itu saya sudah jauh menurun spontanitas titènnya.

Guk Denan 84 tahun dan masih naik sepeda onthel sehari-hari sampai puluhan bahkan ratusan kilometer. Di Padhangmbulan kemarin ngobrol akrab dengan Mbak Via, kemudian dikirimin sejumlah peralatan untuk menyempurnakan sepedanya. Guk Denan menangis dan bilang “Sungkan aku…”. Guk Denan berterima kasih dengan doa panjang dan Alfatihah. Dia mengaji sehari satu Juz. Padahal selama 60-an tahun sejak di Menturo saya menyangka dia tidak bisa membaca Al-Qur`an.

Di Gontor saya dianugerahi Allah sahabat sejati bernama Ismail Malakalu. Ia satu klub bermain sepakbola. Ia mengajari saya ngremus semprong, makan silet dan bohlam listrik, sebagaimana Markesot mengajari saya main olah pisau atau lempar pisau, dan di masa kanak-kanak mengajak saya melakukan hal aneh-aneh dari urusan dukdèng hingga mistik. Ismail lari dari Pondok Gontor mencari saya di Ponorogo beberapa jam setelah saya diusir dan tinggal bersama sahabat sejati lainnya, Damanhuri Panjaitan yang lebih dulu diusir dari saya. Di Sabah Ismail adalah muballigh empirik yang terjun langsung ke masalah lingkungannya dengan kecerdasan dan kebijaksanaan. Di usia tua lebih setengah abad kemudian saya bersama Mbak Novia mengunjunginya di Tambunan, Sabah Malaysia. Ismail melaksanakan panduan hidup Sunan Kalijaga Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti. Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan juga sabar. Anak-anaknya ia kasih nama Imam Khomeiny, Muammar Khadafi, dan Leyla Khalid pejuang Palestina.

Ketika beracara dengan Ustadz Yasin Hasan Bangil di Pesantren Darut Tauhid Malang, saya ditemani pendekar-pendekar dan tim lengkap para sahabat sejati dari Yogya: Toto Rahardjo, Halim HD, Simon Hate, Pakde Nuri, dan Alisyahbana. Masing-masing dari mereka punya karakter dan wilayah kesejatian dan kesetiaannya sendiri-sendiri. Toto Rahardjo adalah Marja’ Maiyah di bidang pergerakan soaial dan dipanggil Kiai Tohar.

Pakde Nuri menulis di buku hariannya tiga syariat hidupnya yang ia tetapkan sendiri. Pertama, taat menjalankan syariat Allah. Kedua, selalu siap kerja keras dan menderita untuk kebenaran dan kebaikan. Ketiga, menemani perjuangan Cak Nun. Halim adalah penegak nilai-nilai sosial yang sangat ketat sikap dan perjuangannya. Simon adalah filosof yang menyembunyikan tauhidnya dengan penampilan budaya yang amat sederhana sampai level anti kemewahan. Simon mengatakan tidak mungkin ada yang lebih benar dari Muhammad Saw dengan tauhidnya. Tauhid adalah puncak nilai kemanusiaan, ilmu, sejarah dan peradaban.

Ketika selesai acara di Darut Tauhid, panitia Malang siap mengantarkan kami ke Bangil, sementara panitia Bangil juga sudah datang dengan kendaraannya siap menjemput kami. Dua Panitia ini berdebat, tidak ada yang mau mengalah untuk mengangkut kami, sampai bertele-tele dan tidak ada kaputusan. Alisyahbana akhirnya tampil karakter Mandarnya seolah Panglima Perang Balanipa.

“Caknun, naik ke sini”, katanya sambil membuka pintu Kijang dari Bangil. “Toto, Halim, Pakde, Simon, ayo naik”. Kemudian kepada Panitia Malang Ali bilang, “Kau pergi ke kamarmu, balik ke asrama Pesantren. Niat baik kalian sudah diterima di langit”.

Tanpa keributan semuanya patuh kepada Ali. Kami pun segera melaju ke Bangil. Di Pesantren Syi’ah pimpinan Habib Husein kami dijamu diletakkan di salah satu kamar santri. Para pendekar pathak warak dari Yogya ini canggung. Toto dan semua lebih cocok habitatnya di rumah gubug Mlangi Kedungombo atau di bangunan-bangunan sederhana di Nitiprayan tempat Sekolah Alamnya Mbak Wahya Toto Rahardjo. Kami pun mbobol, lompat dari jendela kamudian berjalan kaki beberapa kilometer mencari warung rakyat. Balik lagi ke Pesantren pagi hari ketika acara saya terjadwal akan dimulai.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ بِطَانَةٗ مِّن دُونِكُمۡ
لَا يَأۡلُونَكُمۡ خَبَالٗا وَدُّواْ مَا عَنِتُّمۡ قَدۡ بَدَتِ ٱلۡبَغۡضَآءُ
مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَمَا تُخۡفِي صُدُورُهُمۡ أَكۡبَرُۚ
قَدۡ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلۡأٓيَٰتِۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”.

Min dunikum” pada kebanyakan manusia dan kaum muslimin dipahami secara adminstratif dan identitas formal, meskipun dikualifikasi dengan sebutan “teman seiman”. Fakta akhlaqnya, ketahanan dan jam terbang kejuangannya, kesetiaan kemanusiaannya, tidak dijadikan pertimbangan utama. Parameternya adalah pengelompokan secara padat, organisasional dan institusional.

Kalau kriteria itu yang saya pergunakan dalam hidup saya, maka sahabat-sahabat sejati saya adalah para ulama, kiai, ustadz atau habaib yang ada disekitar aktivitas perjuangan saya. Tetapi lebih setengah abad proses verifikasi, saya menemukan bukti bahwa sejumlah sahabat sejati yang saya sebutkan di nomor tulisan ini memang berkualitas ulama, kiai, ustadz, meskipun belum pernah saya lacak dan teliti apakah mereka adalah para Habib.

Lainnya

Perlombaan Lempar Mayat

Perlombaan Lempar Mayat

Bersyukur perkelahian saya melawan Djaudan bisa digagalkan oleh Jafnan. Atau ketika saya dihadang oleh delapan anak muda di kampung dalam Tamansari, salah seorang memukul samping kepala saya dan anehnya kepala saya tidak bergerak, apalagi badan sampai jatuh.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik