CakNun.com
Kebon (104 dari 241)

Indahnya Dibenci dan Tidak Membenci

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Dok. Progress

Syukur sepanjang perjalanan hidup sejak Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan dan Kadipiro, atau sejak era Dipowinatan, Dinasti, hingga KiaiKanjeng dan Maiyah, yang kami anut dan jalani adalah “memungut yang dibuang orang, menghidupkan yang dikubur orang, mengingat yang dilupakan orang”. Dalam berbagai kesempatan komunikasi atau wawancara pencatatan sejarah di Yogya, figur-figur lama yang dulu se-era dengan saya, yang dulu membunuh eksistensi saya atau membangkaikan kehidupan kreativitas saya — semuanya saya junjung, saya “mikul duwur dan pendhem jero”.

KiaiKanjeng dan kami bukan hanya tidak ikut membangkaikan orang atau anut grubryug arus besar “memakan bangkai” — kami bahkan selalu berupaya untuk menghidupkan dan menjunjung semuanya. Saya dan kami semua tidak menuruti kebiasaan fasiq pada banyak manusia. Tidak ada indahnya menghardik manusia, meskipun mereka menghardik kita.

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ

Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.”

Shadaqallahu ‘Adhim. Maha benar setiap firman-Nya. Maha benar setiap huruf dari ayat-Nya. Maha indah setiap bercak dari jagat raya ciptaan-Nya. Sepanjang Engkau syukuri “menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu”.

Orang yang membenci kita, menindas kita, mencurangi kita, menista dan memfitnah kita, bukannya tidak menimbulkan rasa sakit dan mungkin juga kebencian yang sama dalam diri kita. Tetapi karena Allah “menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan”, maka dengan penuh kelegaan hati dan keikhlasan jiwa kita membalasnya dengan kasih sayang. Bahkan mereka yang mencurangi KiaiKanjeng, yang menyingkirkan dan memanipulasi fakta-fakta sejarah KiaiKanjeng, tatkala keluarganya meninggal dan mereka sendiri dipanggil Allah — KiaiKanjeng dan saya mengurusi dan menemani hari-hari terakhir hidup mereka, menyediakan berbagai fasilitas sampai turut secara teknis mengantarkan ke tempat pemakamannya.

Sungguh indah untuk berhasil tidak membenci orang yang membenci kita. Apalagi tidak mencurangi dan mendhalimi orang yang mencurangi dan mendhalimi kita. Lebih indah lagi kalau yang menghembus dari nafas dada kita adalah cinta, yang tergerak dari tangan kita adalah kasih sayang. Kita tidak pernah tega melihat manusia kok bisa melakukan kecurangan dan kedhaliman sejauh itu, meskipun yang dicurangi dan didhalimi adalah kita sendiri.

Mungkin sebenarnya tidak bernilai demikian, tetapi saya merasa berbesar hati jika dituntun oleh Allah Swt untuk turut mengantarkan sahabat sesama manusia yang dipanggil untuk kembali ke haribaan-Nya. Setiap kali ada berita duka dan saya berpeluang untuk bertakziyah, hampir selalu secara resmi saya diminta untuk mengantarkan almarhum atau almarhumah mudik kepada Allah Swt.

Termasuk Ibundanya Nevi Budianto dedengkot KiaiKanjeng, Bapaknya Brotoseno SAR DIY, sejumlah teman seniman misalnya penyair Hamid Jabbar, Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, sutradara teater Agung Waskito, juga Yon Koeswoyo vokalis Koes Plus yang dicintai oleh sangat banyak rakyat Indonesia. Serta sejumlah sahabat lain. Tatkala istri seorang seniman senior Yogya yang Padepokannya terkenal seluruh dunia dipanggil Tuhan, Nevi dan saya duduk menunggui jenazah beliau berjam-jam, karena putra-putri beliau sibuk melayani tamu-tamu.

Bahkan ketika istri Amru Saddong Tinambung Mandar Sulawesi Tengah melahirkan anaknya, Allah sudah meletakkan saya di suatu tempat yang hanya butuh 30 menit untuk sampai ke Tinambung. Saya dan sejumlah teman Maiyah menyongsong bayi tercinta itu dengan berbinar-binar. Karena semua anak-anak dan cucu-cucuku di Mandar adalah komunitas yang sangat memperoleh cinta yang istimewa dari hati saya.

15 tahun kemudian Allah Swt mengambil kembali putra Amru itu, dan Allah juga sudah meletakkan saya di jarak setengah jam perjalanan menuju rumah Amru. Andaikan anak Amru itu diambil Allah ketika saya di Yogya atau Jombang, mungkin 2-3 hari kemudian saya baru bisa sampai ke Tinambung. Tetapi Allah memperlihatkan kekuasaannya yang menakjubkan dan indah dengan menyiapkan saya 15 tahun yang lalu menyongsong bayi itu dan 15 tahun dari kelahirannya saya diperintahkan juga untuk mengantarkannya kembali kepada-Nya.

Keindahan dan kenikmatan jiwa tidak pasti hanya terkandung di dalam keberhasilan hidup dan kebahagiaan hati, melainkan ternyata termuat juga dalam bungkus duka derita.

Kalau mendekati kehidupan ini sebagaimana membaca secara dinamis lakon-lakon drama atau teater, akan terjumpai betapa dahsyat kekuasaan Allah yang membangun adegan, menentukan momentumnya, menuntun lalu lintas bloking dan dialognya. Mungkin suatu kejadian kita mengerti tema dan dialognya, bahkan bisa mengkasting menentukan siapa saja yang terlibat di dalamnya, tetapi kita tidak berkuasa atas detik demi detik momentum terjadinya dramatika dan estetika. Sebagaimana kita bisa jagoan main sepakbola, menerapkan strategi yang matang dan menjalaninya dengan kardio dan stamina prima — tetapi tetap saja gambar alur lika-liku berjalannya bola di lapangan bukanlah ranah kemampuan dan kuasa kita.

Karena Allah sendiri yang mengambil keputusan untuk menentukan batas-batas kemampuan manusia, maka Allah juga senantiasa siap untuk berperan secara lebih global maupun detail, berfungsi lebih mendasar maupun sampai yang kecil-kecil, misalnya kaki seorang pemain ditekuk pada sudut berapa ketika menendang bola. Allah yang berkuasa atas itu semua. Allah yang tahu dan menentukan sejak jauh sebelum pertandingan, nanti skor di menit ke 90 berapa lawan berapa.

Lainnya

Haqqullah dan Zombie

Haqqullah dan Zombie

Waktu di SMA dulu di mana saya menyewa kamar gedheg di Kadipaten, sudah ada dua anak Menturo, Cak Pai dan Mual Kudi yang ikut saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version