CakNun.com

Hutang-Hutang Kebudayaan
dari Masalah Idealisme dan Orientasi Kaum Muda

(IV)

Tatanan sikap mental bisa diterjemahkan menjadi uraian yang kompleks dan detail, tergantung dari mana kita bertolak dan seberapa jauh kita memberinya perspektif. Kita bisa berangkat dari sekian segi pelaksanaan sosial, tetapi bisa juga berlandas pada essensi-essensi kefilsafatan baik sebagai manusia-individu maupun sebagai manusia-budaya, sehingga bisa terumuskan batasan minimal serta tahapan maksimal dari hasil budaya mereka.

Secara elementer, keutuhan gerak jiwa hidup manusia ialah apabila dicapai keseimbangan aktivitas dari semua anasir psychologis (tentu saja juga phisis)nya, yakni hati, rasa dan otak. Dalam perspektif kultural, keutuhan itu ialah terciptanya mobilitas keseimbangan antara hasil-hasil dari ketiga unsur itu dalam wujud budaya. Bagaimana ketiganya bertumbuh mekanis dan seimbang, tanpa salah satu menindas yang lain. Bentuk-bentuk feodalisme yang sering terdapat dalam masyarakat tradisionil, mithos dan kultus kepada Raja serta keluarganya, misalnya, adalah eksploitasi atas rasa dan hati (:unggah-ungguh, subasita, dst) yang tidak rasionil, serta merupakan penindasan terhadap tumbuhnya kreativitas otak. Akan tetapi banyak hal dalam tata perhubungan kehidupan “modern” (mekanisme di daerah-daerah urban industrialis, effek dari prinsip perekonomian dlsb) sering merupakan penindasan terhadap hati, di mana manusia-manusia saling berhubungan dalam mekanisme itu lebih sebagai fungsi-fungsi, alat dari struktur gerak pola suatu perhubungan.

Itu sekedar contoh. Tetapi kita tidak sedang akan membangun suatu dunia baru dengan bertolak dari nol. Sehingga sebenarnya tantangan dan pertanyaan bagi sikap mental manusianya ialah, untuk kondisi ini, bagaimana ia merespons gejala-gejala itu, berusaha menguasainya dan mengusahakan terpeliharanya tatanan sikap mental dalam dirinya agar tetap seimbang. Dan permasalahannya untuk anak-anak muda kita, sebagai pemegang kendali kebudayaan hari ini dan esok pagi, sejauh mana mereka memiliki kesadaran tentang hal itu dan seberapa jauh mereka cukup kreatif dan mengusahakan langkah-langkah untuk mampu mengolah kondisi itu.

Tetapi soalnya memang tidak sesederhana yang mampu diucapkan oleh teori-teori. Anak-anak muda kita sekarang ini adalah pewaris-pewaris okey, pewaris kemerdekaan politis yuridis formil negeri ini — tetapi juga, tidak saja pergeseran nilai dan orientasi kulturil kehidupan masyarakat, melainkan juga bertumbuhnya berbagai effek dan ongkos-ongkos dari pergeseran itu di dalam diri mereka. Karenanya bahwa hutang-hutang kebudayaan itu makin mereka ciptakan, sesungguhnya adalah hal yang cukup wajar terjadi. Inilah yang pada awal tulisan ini saya sebut bahwa membicarakan anak-anak muda, harus dengan memperbincangkan gerak langkah orang-orang tua sebelumnya.

Anak-anak muda kita adalah bayi yang dilahirkan oleh perang brubuh antara spiritualisme timur yang diilutrasikan terutama oleh keluguan, kedamaian dan kerukunan hati masyarakat agraris serta oleh tradisi rituil agamis, melawan raksasa-raksasa materialisme, rasionalisme dan sekularisme yang ditancap-kokohkan benderanya oleh kehadiran bukti-bukti konkrit benda-benda dan gaya yang diproduksi oleh teknologi modern. Saya sama sekali tidak berpendapat bahwa salah satu di antara kedua pihak itu musti diganyang habis. Tetapi kenapa kita harus tertegun jika melihat bayi-bayi itu hari ini cenderung tercerabut dari akar kebudayaannya, karena silau kepada sang raksasa yang memang menggiurkan dan enak dan praktis? Saya barangkali hanya menyayangkan bahwa mereka kenapa tidak jadi raksasa saja sekalian, sepenuhnya memiliki dan mengerjakan seperti apa yang telah dimiliki dan dikerjakan oleh para Bule. Terpaksa disayangkan, sebab hal itu memang mustahil terjadi. Lebih-lebih umumnya mereka hanyalah pembebek-pembebek dalam memakai produk-produk, kurang dalam kreativitas membikin. Kalau toh yang disebut terakhir itu cukup ada juga di antara kita (bukankah cukup banyak ilmiawan kita yang cakap dan kreatif), maka tantangan pokok berikutnya yang harus mereka jawab ialah bahwa masyarakat kita, sebagai subjek kebudayaan, memiliki problem yang berbeda dengan para Bule itu. Yang selama ini kita sebut modernisasi, sebagai contoh kemenangan sang Raksasa, jelas menumbuhkan hutang-hutang, bahkan di negara Barat sendiri, apalagi di sini.

Jadi, gambaran dari hutang kebudayaan di atas, pada anak-anak muda kita, ialah sejauh mana mereka memiliki wawasan tentang wajah dan isi kebudayaan mereka sendiri, dengan pelbagai gejalanya. Pelunasannya ialah apabila langkah-langkah untuk merintis penguasaannya mulai dilakukan. Apabila dari wajah hidup mereka tidak juga terpancar secara cukup kuat dan menyeluruh kesadaran akan idealisme serta ketepatan memilih orientasi, maka hutang itu pasti makin bertumpuk. Saya pikir, hanya jika kesadaran akan idealisme dan kepekaan untuk berorientasi dilangsungkan terus menerus sajalah maka seluruh deretan falsafah (keagamaan, kemanusiaan murni atau konvensi nasional semacam Pancasila) bisa memiliki arti dan karenanya bisa involve serta mewarnai sifat dan mekanisme kehidupan budaya mereka. Kaum idealis makin berguguran dan api idealisme makin buram karena kita selalu kalah dan tenggelam saja dibawa arus yang diam-diam kita ciptakan sendiri. Yang paling ringkih di tengah kehidupan hari-hari ini ialah kesetiaan pada prinsip (bahkan juga kesadaran untuk memiliki prinsip). Dan kesetiaan itulah tubuh dari idealisme. Jika ditanyakan apa gerangan bentuk kenakalan remaja dewasa ini? Bukannya ngebut, narkotik atau berbagai pelanggaran sosial atau moral lainnya — sebab itu hanyalah impuls-impuls. “Kenakalan” mereka yang paling mendasar ialah krisisnya idealisme, krisis wawasan tentang lingkungan budayanya sendiri, krisis orientasi, bahkan krisis introspeksi, krisis kontemplasi. Dan ternyata, krisis-krisis semacam itu juga merupakan “kenakalan” para orang tua. Itu hal-hal yang pokok. Berbagai variantnya bisa kita lihat pada banyak pola tingkah laku yang cenderung a-modern: pemakaian hasil-hasil teknologi tetapi dengan membiarkan penumbuhan borjuasi, berkembang suburnya selera-selera tidak bermutu di dalam menentukan bentuk hiburan atau konsumsi lain terutama yang rochaniah (lihat umpamanya film-film kita yang umumnya makin tak bermutu dan murahan karena apa yang dilakukan pembikin-pembikinnya hanyalah mengeksploatasi selera rendah anak-anak muda kita; lihat juga bagaimana larisnya majalah-majalah pop serta novel-novel picisan; sambil kita bayangkan juga kelompok terbanyak lainnya yang belum lagi cukup terlibat dalam kultur-baca – dst), dan akhirnya juga kecenderungan yang amat kuat akan keluwesan, salah satu ciri menonjol dari sikap mental anak-anak muda kita, yang dari sudut-sudut pandangan terpenting justru menampak sebagai ekspressi dari kelemahan, konsistensi kepribadian, keringkihan untuk gampang berkompromi, serta kurang dipegangnya secara setia unsur-unsur yang menjadi sosok dirinya. Variasi-variasi ini merupakan pernyataan juga dari gerak pangkal mereka’ di dalam mengorientasikan (atau di dalam terorientasikan tanpa kontrol kesadaran wawasan) hidupnya secara tidak terbatas dalam segi-segi kwantitatip, tetapi manja dan ringkih serta cepat letih dalam segi-segi kwalitatip. Sudah menjadi pengertian yang hampir basi bahwa hal-hal tersebut adalah hasil sampingan dari pemanjaan dan penyuburan sikap konsumtip yang ditawarkan oleh produk teknologi mutakhir untuk seluruh bidang kehidupan. Tidak saja pada kalkulator atau AC yang tinggal pakai, tetapi juga pada cara bagaimana seorang Guru memperlakukan anak-muridnya sebagai individu-individu yang semustinya dibiasakan untuk mengasah diri dan membuka makin lebar kunci kreativitas pribadi. Hasil sampingan ini ternyata akhirnya menjadi permasalahan yang cukup primer untuk dibenahi dalam tubuh kehidupan anak-anak muda kita. Pendekatan kita terhadap objek-objek (yang subjek) ini sudah barang tentu tidak terutama terpaku kepada anak-anak muda hari ini, melainkan juga anak-anak muda besok pagi yang sudah berjubel detik ini.

Lainnya

Ultra Lebaran Mega Idul Fitri Giga Takbir

Ultra Lebaran Mega Idul Fitri Giga Takbir

Ketika malam naik dan suara takbir melangkahkan kaki gaibnya dari pulau ke pulau, dari negeri ke negeri di seluruh permukaan bumi — bagaikan echo lagu semesta — Kyai Sudrun muncul di tempat persemayaman terakhirnya ketika hidup.

Tuhan Pun “Berpuasa”

Tuhan Pun “Berpuasa”

Allah sendiri “berpuasa”. Kalau tidak, kita sudah dilenyapkan oleh-Nya hari ini, karena sangat banyak alasan rasional untuk itu.