CakNun.com
Kebon (74 dari 241)

Go-Send Knalpot

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Foto: Adin (Dok. Progress).

Ada wabah menyebar ke seluruh permukaan bumi. Benar. Semua pengurus Negara-negara mengantisipasinya, menata penangkalannya, mendisiplinkan perilaku rakyatnya. Benar. 3M, atau apapun. Benar.

Berbagai bias, perbedaan pandangan, kontroversi penanganan, ketidaksiapan manajemen ummat manusia melawan “musuh tidak kasat mata”. Benar. Kita semua pakai hijab, baik untuk mencegah penyebaran wabah, untuk menjaga jangan ditulari dan jangan menulari. Benar.

Atau untuk tasammuh sosial: menciptakan ketenangan pergaulan dengan pakai hijab. Benar. Ada wabah atau tak ada wabah, semua manusia menjaga jarak yang tepat untuk berbagai keperluan. Benar. Selalu jaga posisi suci dengan selalu langsung berwudlu kapan saja batal. Benar.

Tetapi seluruh kebenaran disiplin protokol kesehatan dari probabilitas terpapar wabah itu, tidak membuat kita meninggalkan atau melupakan fakta dan hakekat yang lebih mendasar dan substansial.

Bahwa meskipun ketat disiplin 3M, tetap bisa terpapar. Bahkan andaikan seluruh 7 miliar penduduk dunia ini memakai APD, tetap bisa terpapar. Bahwa andaikan tidak mematuhi 3M, bisa tidak terpapar. Hidup ngawur-ngawur saja tetap sehat juga bisa. Berlaku ekstra ketat dengan protokol kesehatan, tetap terjangkit, juga mungkin.

Tentu saja kita akan tetap “mengikatkan tali onta kita ke pohon atau tiang, baru kemudian diserahkan kepada Allah” sebagaimana seorang sahabat dinasehati oleh Kanjeng Nabi. Sebab Tuhan bukan karyawan penjaga onta kita. Tetapi meskipun onta kita ikat, bahkan kita kurung rapat di kandang, lantas tetap bisa dicuri orang, bisa juga.

Hidup ini probabilitas. Semua yang akan kita alami lingkupnya adalah ketidakterbatasan kemungkinan-kemungkinan. Tetapi jarak antara kepastian diri kita dengan kemungkinan nasib kita, kita isi dengan ikhtiar, usaha optimal dan disiplin untuk menjaga diri dan segala sesuatu yang harus kita jaga.

Waktu awal SD saya membaca cerita tentang sihir-sihir tingkat tinggi yang berlaga antara Prabu Anglingdarma Bojonegoro dengan Patih Batik Madrim. Satu menjadi api, lainnya melawan dengan badai dan air. Satu menjadi gelombang, lainnya menjelma kehampaan. Seperti para penyihir Fir’aun menyebarkan ribuan ular kecil, tongkat Nabi musa menjelma Naga raksasa dan menelan semua ular-ular itu.

Di rumah Menturo tiba-tiba semua bertengkar, termasuk semua Guru-Guru Sekolah kami “Mansya`ul Ulum” tidak ada yang mengajar. Beberapa jatuh sakit mendadak, lainnya mengalami kecelakaan kendaraan. Kaluarga dan Sekolahan kami bubar rasanya hari itu. Kemudian ayah saya melakukan shalat dan wiridan. Malamnya ayah mengumpulkan semuanya, pagi besoknya berjalan kembali seperti biasanya.

Saya mendapat tugas khusus dari Ayah untuk menggali tanah di sebelah utara Gedogan Jaran atau kandang kuda. Saya temukan beberapa botol berisi macam-macam benda keras dan tajam serta cairan aneh. Ayah menyuruh saya mencuci semua botol itu, kemudian siangnya menyuruh saya membeli minyak goreng ke warung atau toko kecil tertentu di Menturo. Rupanya si penyantet ada hubungan keluarga dengan pemilik warung itu. Sehingga informasi tentang botol-botol itu, yang memang bentuknya khas, akan sampai kepada yang mengirimnya.

Lusa Ayah saya pergi ke Mojoagung, datang seseorang menemuinya dan mengeluh: “Cak Mad, siapa ini yang namanya Abi Fuad Abi Fuad ini. Kok saya santet berkali-kali sampai tingkat tertinggi tidak mempan terus…”.

Saya tidak mungkin diajari oleh ayah saya teknik dan tarekat menyantet orang. Dari Ayah Ibu saya hanya dibimbing mengaji, berlatih puasa sebanyak-banyaknya, meneguhkan iman, taqwa dan tawakkal kepada Allah swt. Hanya saja saya mengalami banyak hal tentang santet-menyantet. Termasuk bagaimana wirid dan hizib Ibu memantulkan kejahatan ke orang-orang tertentu sehingga dia mengalami sakit parah, kecelakaan sampai dikuburkan dalam keadaan mbrodol ususe, atau lumpuh sehingga pakai kursi roda, atau keluarganya menjadi kacau balau.

Ketika pada suatu hari di Kadipiro saya mengalami hal yang aneh-aneh di luar tradisi kesehatan saya, tidak ada yang mengherankan. Saya tremor, tangan gemetar, berat badan saya menyusut cepat sampai hanya menjadi 46 kg dari 69-70 kg. Badan nggregesi terus. Kondisi sangat lemah. Manggung dengan KiaiKanjeng pingsan tengah-tengah Maiyahan. Teman-teman KiaiKanjeng tidak tega saya berdiri gemetar dan mau jatuh sepanjang Maiyahan. Pengajian di Rutan Cipinang pingsan sebelum doa akhir dan digotong ke ruangan sangat sejuk dan kasur sangat halus empuk, ternyata kamar penjara Tomy Suharto.

Bu Novia mengiguh saya periksa darah dan berobat ke dokter Profesor Asdi. Darah saya tidak diakui sampai tiga kali. Sebab menurut beliau kalau yang saya bawa itu darah saya, maka seharusnya saya lumpuh dan menggeletak di rumah. Padahal saya nyetir sendiri dari Kadipiro ke tempat dr. Asdi diantar Pak Ismarwanto penyuling KiaiKanjeng.

Teman-teman mengadakan pelacakan, penelitian, menyelidiki dan menyidik, sampai akhirnya teridentifikasi apa yang terjadi dan siapa yang melakukan. Tidak satu orang melainkan 41 orang dibayar untuk bersama-sama menyerbu saya. Penyidikan teman-teman sampai ke Sawangan Bogor dan rentang antara Kendal ke timur hingga Padangan.

Saya mustahil tega menuliskan laporan teman-teman. Banyak orang akan tidak kuat hatinya dan hancur pikirannya kalau mendengar fakta itu saya ungkapkan. Ini hanya salah satu dari banyak fakta Islam dan Indonesia yang wajib saya auratkan sampai akherat. Wajib saya rahasiakan, demi menghindari mudlarat yang lebih besar. Cukup saya saja yang menanggung muslarat hidup.

Seseorang telpon saya untuk mengecek apakah saya masih atau sakit atau bahkan sudah mati. Saya menjawab dengan guyon: “Mbok lain kali kirim saya mobil, jangan hanya knalpotnya...”. Orang itu tidak marah, tidak merasa aneh dengan jawaban saya, tidak menanya balik.

Lainnya

Menadahi Cliwikan atau Grojogan

Menadahi Cliwikan atau Grojogan

Allah mentanazzulkan dua pelajaran hidup kepada saya melalui Sidoarjo. Yang pertama adalah Gus Ud atau di sana dikenal dengan panggilan Mbah Ud yang makamnya di Pagerwojo.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Wartawan Kaos Oblong

Wartawan Kaos Oblong

Sesudah semalaman ditampung di rumah Mas Darmanto, saya pindah ke rumah Mas Bambang Subendo, yang juga saya perlakukan sebagai semacam Puskesmas — meskipun ketika itu sedikit pun tidak terbersit di hati dan pikiran kami untuk berobat ke Dokter.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik