CakNun.com
Kebon (76 dari 241)

Garis Sambung Berbunyi “Semoga”

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Dok. Progress.

Ada prinsip yang sangat sederhana. Yang tidak memerlukan pemikiran tingkat tinggi. Tetapi cenderung sukar dipercaya oleh kebanyakan manusia atau menjadi kesadaran dasar dan baku dalam kehidupan mereka.

Minimal kurang tercermin dari pola perilaku kebudayaan dan peradaban manusia, utamanya di wilayah politik. Ialah bahwa dalam hidup ini yang mutlak berkuasa adalah Tuhan. Manusia berani berkuasa. Bahkan berani menindas sesama manusia. Berani mentang-mentang. Berani memberlakukan benarnya sendiri. Berani sombong dan menghina manusia lain. Berani adigang adigung adiguna. Logic-nya adalah karena dia tidak benar-benar percaya atau punya kesadaran bahwa sejatinya yang sungguh-sungguh berkuasa hanyalah Allah Swt.

Sementara kekuasaan manusia sangat relatif dan tentatif. Itu pun sejauh merupakan kontinuasi atau turunan dari kekuasaan Tuhan. Kontinuasi dan turunan itu juga sebatas perkenan-Nya, amar-Nya atau irodah-Nya. Kuasa yang kontinu dari kuasa Tuhan, semestinya berlingkungan nilai sebagaimana kuasa Tuhan. Sebabnya. Asal-usulnya. Alasannya. Tujuannya. Sama dengan atau mengacu pada peta kuasa Tuhan.

Bahwa Tuhan mutlak selalu benar. Sedangkan manusia mungkin benar mungkin salah. Bahwa Tuhan pasti baik. Sedangkan manusia tidak bisa menemukan presisi kebaikannya pada level tertentu.

Bahwa yang dikehendaki Tuhan pasti terjadi, atau yang terjadi pasti bersumber dari keputusan Tuhan untuk terjadi. Dan keputusan itu bisa berarti kemauan otentik-Nya, bisa merupakan respons kepada manusia, bisa merupakan peringatan, ujian atau hukuman.

Bahwa manusia sakit atau sembuh, jaya atau hancur, hidup atau mati, mendapatkan atau kehilangan, keputusan awal dan akhirnya tetap di tangan Tuhan. Bahwa manusia hanya bisa mencapai segala sesuatu bergantung pada kompatibilitasnya dengan kemauan Tuhan, perintah atau sunnah-Nya.

Ketika saya diundang diskusi di forum Fakultas Kedokteran UGM yang antara lain menyebut kisah sakit saya dan penanganan RS Sardjito, lantas ada yang bertanya: “Bagaimana metodenya dan apa obat atau kiatnya kok Cak Nun bisa sembuh dan normal kembali seperti sekarang?”

Faktanya waktu itu saya tidak bisa menjawab dengan gamblang. Saya cari-cari mungkin karena prinsip-prinsip sederhana yang saya uraikan di atas. Kalau saya bilang “sakit dan sembuh itu di tangan Tuhan”, itu bukanlah jawaban yang relevan dengan tradisi berpikir dan kebiasaan logika sebab-akibat teman-teman di Fakultas Kedokteran.

Mungkin saya bisa berkisah seperti di Maiyah tentang Nabi Musa sakit perut. Kemudian mengeluh kepada Tuhan. Dan Tuhan menyuruhnya naik bukit yang ada pohonnya. Nabi Musa disuruh mengambil daunnya untuk dimakan. Kemudian Nabi Musa sembuh. Lantas berjalan lagi bersama pasukannya yang sedang dikejar-kejar oleh pasukan kerajaan Fir’aun, dan sakit perut lagi. Nabi Musa kemudian langsung naik lagi ke atas bukit, langsung mengambil daun yang tadi disebut oleh Tuhan. Setelah memakan daun itu, bahkan dalam jumlah yang lebih banyak, tidak sembuh kali itu. Nabi Musa protes kepada Tuhan kok tidak sembuh. Tuhan menjawab: “Bukan daun itu yang menyembuhkanmu, melainkan kehendak dan perintah-Ku”.

Tetapi kalau saya kisahkan ini, tidak tepat juga. Karena bagi ilmu dan pemahaman dunia kedokteran, secara objektif daun itu yang tadi terbukti menyembuhkan perut Nabi Musa. Ketika para Dokter itu menanyakan kepada saya bagaimana bisa sembuh, saya harus menyebut konteks daun itu, dan bukan kehendak Tuhan.

Forum Fakultas Kedokteran itu adalah arena ilmu, bukan ranah iman. Itu pun ilmu yang tidak pernah diurus keterkaitannya dengan iman. Ilmu yang berdiri sendiri. Yang objektif. Yang berada dalam sebab-akibat yang logis dan bisa dinalar oleh akal.

Belum pernah ada sekolah, universitas atau institusi pendidikan modern lainnya yang pernah mengolah peta hubungan antara ilmu dengan iman. Sebab ilmu adalah fakta objektif, sedangkan iman adalah kepercayaan subjektif. Sangat tidak mudah para ahli menyusun kurikulum dan metode Pendidikan untuk merumuskan hal itu. Bahkan sejak dari hulunya, ilmu memang dipisahkan dari iman. Maka negara juga dipisahkan dari agama.

Tetapi mohon jangan secara simplikiatif menuduh para dokter adalah manusia ilmu sedang saya didakwa sebagai manusia iman. Para dokter juga manusia iman dan saya sedikit-sedikit manusia ilmu.

Hanya saja ada perbedaan mendasar di antara para dokter dengan saya hal pemahaman, pengelolaan, dan rentang kontekstualisasi antara iman dengan ilmu. Saya percaya kepada dokter dan mematuhi mereka sejauh saya berkaitan dengan mereka hal sakit saya. Tetapi kepatuhan saya kepada dokter tidak terutama karena ilmunya, sebab saya bisa dan boleh berbeda pendapat dengan mereka. Yang saya ambil dan saya laporkan kepada Tuhan dari dokter adalah kasih sayang mereka kepada saya, niat mulia mereka untuk mengantarkan saya dari kepastian sakit saya menuju kemungkinan sembuh.

Saya sebut kepastian sakit dan kemungkinan sembuh karena kepastian sembuh saya ada di kehendak atau perintah atau perkenan Tuhan. Tuhan sendiri tidak sama persis pendapat-Nya dengan dokter. Umpamanya Tuhan berfirman:

يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِّلنَّاسِ

Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.”

Tuhan tidak memperinci atau memberikan spesifikasi penyakit atau sakit apa saja yang bisa disembuhkan dengan madu. Dokter juga setahu saya tidak pernah memberikan madu untuk obat kepada pasiennya, selain terbatas pada saran untuk suplemen.

Sebab dokter harus memakai dan berdasar ilmu. Sedangkan saya, berangkat dari iman kepada Tuhan, logis saja kalau saya minum madu untuk sakit jenis apa saja. Karena agar keputusan saya itu bersambung dengan kehendak Tuhan, saya baca basmalah atau alfatihah atau “Likulli da`in dawa`un”, atau yang lebih universal “Innalloha ‘ala kulli syai`in Qodir”. Allah berkuasa atas segala sesuatu. Kalau sekadar membuat madu itu menyembuhkan saya itu:

وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا

Itu hal yang mudah bagi Allah.”

Bahkan karena tidak punya uang untuk umroh atau beli air zamzam, saya ambil air bersih saja tapi saya mohon kepada Tuhan agar berkenan mezamzamkan air itu. “Ya zamzamallah, ya zamzamallah”. Atau apapun saja bisa saya makan atau minum dengan prinsip bahwa Tuhan mutlak sanggup menyembuhkan saya dengan apa saja. Kunci untuk mencapainya, bukan memastikannya, adalah berniat suci kepada Tuhan dan kehidupan. Atau saya ambil segenggam pasir, saya lemparkan ke gedung yang dipakai untuk mendholimi manusia dan saya ucapkan ayat-Nya.

إِنَّهَا عَلَيْهِم مُّؤْصَدَةٌ

“Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka.”

Dengan catatan, apapun saja pada manusia itu hanya probabilitas. Manusia hanya makhluk kemungkinan. Di jalan antara kemungkinan dengan kepastian ada “semoga”, “mudah-mudahan”. Semua doa manusia kepada Tuhan ungkapan utamanya adalah dua kata itu.

Ketika para dokter bertanya “Bagaimana bisa sembuh”, jawaban orisinalnya adalah bahwa kata “semoga” itu semacam jembatan menyambungkan garis kemungkinan dengan garis kepastian.

Lainnya

Mengadili dan Membijaksanai

Mengadili dan Membijaksanai

Kecuali Allah sendiri yang menuturkan penggambaran atas dirinya. Allah mengajari manusia untuk mengenali kehadiran-Nya, perilaku-Nya, sifat-Nya, tetapi bukan Diri Sejati-Nya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Indahnya Dibenci dan Tidak Membenci

Indahnya Dibenci dan Tidak Membenci

Syukur sepanjang perjalanan hidup sejak Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan dan Kadipiro, atau sejak era Dipowinatan, Dinasti, hingga KiaiKanjeng dan Maiyah, yang kami anut dan jalani adalah “memungut yang dibuang orang, menghidupkan yang dikubur orang, mengingat yang dilupakan orang”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Topik