Fragmen Pitutur Mbah Nun
Salah satu keasyikan buku ini adalah pembaca akan diajak anjangsana ke lorong-lorong era 70-an dan 80-an di mana Dipowinatan merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penggembaraan Cak Nun muda.
Presiden Jancukers, Sujiwo Tejo, pernah bilang tiap Cak Nun bertutur sebenarnya ia sekaligus menulis esai. Kendati baru akan ditulis seusai Maiyahan, sebenarnya itu sekadar persoalan teknis. Pada keseimbangan semacam itulah Cak Nun bahkan bisa menjalankan tugas ganda dalam menerima tamu seraya memangku mesin tik.
Energi apa yang bersemayam di balik pena kreativitas Cak Nun? Tak lain dan tak bukan adalah prinsip nandur. Buku ini sengaja terhidangkan buat sidang pembaca sebagai bentuk karya atas “proses yang saya semaikan, tanam dan siram, sejak era Dipowinatan, Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan, hingga Kadipiro” (hlm. 01).
Dapat dikatakan buku yang Anda pegang ini merupakan “fragmen biografis” seseorang yang telah mencecap asam garam kehidupan tiga generasi. Mas Ahmad Karim dalam ulasan bertajuk Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha memberikan istilah “autoethnography atau otoetnografis” yang kental akan narasi emik: penggalian relung-relung terdalam yang dahulu tersembunyi kini tertampakkan.
Bagaimana tidak? Orang yang dahulu dikenal luas dengan sebutan Emha itu sekarang sudah akrab disebut Mbah Nun. Walau masih terdapat sebagian masyarakat memanggilnya Cak Nun, pergeseran tersebut menunjukkan lintas generasi yang masih bersinggungan dengannya.
Meminjam istilah dunia medium publikasi, pembaca tulisan Cak Nun menyempit bukan lagi dari generasi koran cetak, melainkan juga kanal internet—Twitter, Facebook, Instagram, bahkan juga TikTok.
Anak dan cucu Cak Nun tersebar luas, seluas bentangan jarak di antara keduanya. Generasi Baby Boomers hingga generasi Z, disadari atau tidak, mendefinisikan tulisan Cak Nun secara aneka rupa. Maka buku ini sesungguhnya menawarkan jelujur kisah yang barangkali di satu pihak sedemikian asing bagi kalangan kiwari, sedangkan di pihak lain justru merupakan afirmasi bagi usia sepantaran beliau.
Pertautan antarcerita yang sinambung dalam buku ini dibangun tak hanya berpijak pada rangkaian usia sang penulis tapi juga sekaligus dinamika sejarah yang terjadi di negeri Indonesia. Pada gaya bertutur Cak Nun, dengan kata lain, pengalaman yang ditemuinya kembali direfleksikan bukan mengisahkan sebatas pergumulan eksistensialnya, melainkan juga diupayakan sebagai bentuk kritik sosial terhadap karut-marut politik di sekitarnya.
Bukalah halaman 13 maka Anda menemukan judul Aktivis MLM dan Kampung Santri. Pada fragmen itu Cak Nun membicarakan sebuah kampung di sebelah timur Keraton Yogyakarta. Kampung Dipowinatan, kata Cak Nun, merupakan wajah miniatur dunia. Mengapa? Segala bentuk dan jenis orang tumpah ruah di situ.
Pengertian MLM sebagaimana tertulis di judul jangan diartikan Multi Level Marketing yang rajin mempersuasi orang agar ikutan menjaring massa demi iming-iming kapal pesiar. Namun, akronim Mo Limo ini bermakna sebenarnya. Seperti digambarkan sebagai berikut.
“ … ada yang rutin ikut berjudi di THR, kalau larut malam masuk kuburan Tionghoa yang di dalam makamnya terdapat harta benda yang dibawa oleh jenazah: kalung emas, cincin, perhiasan-perhiasan lain, termasuk sisa-sisa pakaian, atau bahkan sejumlah alat-alat kedokteran di makam orang yang semasa hidupnya seorang dokter” (hlm. 14).
Deskripsi ini membuat bulu kuduk berdiri. Tapi itu masih terkesan angker. Penjelasan berikutnya semakin membuat orang sekarang mengernyitkan dahi mengapa pikiran semacam itu terlintas di benak mereka. Cak Nun menambahkan, “Ada juga yang ketika larut malam mereka bergerak mencari gelandangan perempuan. Kemudian dibawa ke sungai, kemudian ditiduri bergiliran, di tempat yang sudah disiapkan dan ada penjaganya.”
Sampai di sini barangkali tak ada impresi lain kecuali mengelus dada. Terlepas perbuatan nirnalar yang membuat remuk redam nurani kebanyakan orang, apa yang disaksikan Cak Nun di kampung Dipowinatan gamblang adanya. Ia tak berpretensi mendramatisir apalagi meromantisir. Pada suatu masa Dipowinatan memang menakutkan, terlebih kawasan ini berdekatan dengan Taman Hiburan Rakyat (THR) yang dahulu terkenal sebagai pusat lokasi perjudian dan kemaksiatan.
Bagi anak kelahiran 90-an, THR hanya tinggal legenda sekaligus menyisakan buah bibir generasi orang tuanya. Kawasan itu sempat bersalin nama menjadi Purawisata (hiburan terintegrasi). Sejak tahun 2013 wilayah yang dahulu hobi menggelar panggung bagi biduan mau tak mau harus gulung tikar. Persaingan hiburan malam di Yogyakarta semakin sengit. Perlahan Purawisata meredup dan akhirnya reruntuhan bangunan.
Fenomena THR sebetulnya tak melulu persoalan tubuh, mabuk, dan lokasi pelarian orang dirundung masalah kehidupan. THR, menurut Cak Nun, juga menunjukkan bagaimana rantai ekonomi negara terus digenjot salah satunya lewat kantong-kantong hiburan malam. Seperti dikemukakannya, “ … produk keuangan dan kapitalisme modern, inisiatif perdagangan pragmatis, yang mendapatkan izin operasi dan pemerintah daerah” (hlm. 167).
Di zaman itu tiap kota pasti memiliki tempat serupa THR dengan beragam corak maupun variannya. Maka bukanlah mengherankan di balik dinding gedung hiburan terbentang perkara sosial, ekonomi, politik, serta problem kemasyarakatan yang acap dituding kambing hitam. Masalah demikian bisa diperpanjang sampai sejauh mana kesenjangan sosial dan ekonomi sebagai akibat dari kemunculan industri hiburan malam.
Bagi Cak Nun, cipratan masalah THR ke Dipowinatan tak dapat semata-mata dipandang searah. “Tidak lantas merusak kehidupan warga Dipo sampai tingkat yang mencemaskan,” catatnya. Buku berisi kesaksian faktual Cak Nun ini juga memperlihatkan sisi lain nDipowinatan. Sesuatu yang amat jarang dijadikan preferensi bagi mereka yang sudah terlanjur terjebak pada bias sudut pandang.
Meskipun dibayangi imaji keangkeran, kepiluan, dan kegetiran di kampung itulah embrio kelompok teater dan musik-puisi Dinasti muncul. Sejumlah anak muda di sekitarnya kemudian merapat lalu menyemai menjadi ruang kolektif paling aktif mengenalkan kesenian berbasis kewargaan. Nevi Budianto merupakan salah satu lokomotif penggeraknya.
Selain figur yang kelak memimpin KiaiKanjeng itu, Cak Nun menyebut sejumlah nama. “Ada Pram, aktivis Dinasti, tokoh pemuda kampung yang kelak benar-benar menjadi tokoh dalam kumpulan pemuda di tataran yang lebih tinggi. Ada Uswanto, pemeran utama Musik-Puisi Dinasti, yang terpelajar seni rupa dan hidupnya kreatif produktif sampai hari ini.”
Bambang Harimurti, Narto, Piyul, Godor Widodo, Joko Kusnun, dan Joko Kamto juga tak luput disebut Cak Nun. Nama-nama itu memang sekarang sudah berusia kepala enam lebih. Tapi legenda atas kesungguhan, ketulusan, serta kreativitas mereka terekam dalam sejarah orang-orang Dipowinatan.
Salah satu keasyikan buku ini adalah pembaca akan diajak anjangsana ke lorong-lorong era 70-an dan 80-an di mana Dipowinatan merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penggembaraan Cak Nun muda. Kendati tak sekadar membicarakan Dipowinatan, cerita seputar kampung ini begitu membekas di benak saya. Terutama penokohan orang-orang di dalamnya.
Cak Nun sungguh bertutur tanpa tedeng aling-aling.