CakNun.com
Kebon (184 dari 241)

Ditangkak Frèng, Tak Ditangkak Kewajibang

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Dok. Progress

Pada hakiki faktanya hidupnya manusia memang hanya Lak-lak Undi. Manusia hidup tapi bukan dia yang menciptakan dirinya dan bukan yang menciptakan hidupnya. Manusia seakan-akan hidup tetapi ia tidak bisa memastikan bahwa ia hidup dan tak bisa mengelak atau mentidakkan matinya. Manusia hidup ditandai oleh detak jantungnya tetapi ia bukan subjek dari detak jantungnya. Manusia hidup diindikatori oleh aktivitas otaknya tetapi ia bukan penguasa primer dari kerja otaknya.

Bahkan pun para Nabi dan Rasul yang diistimewakan dan dikasihi oleh Tuhan. Nabi Musa selamat dari kejaran Fir’aun, tetapi tidak bisa dibilang Nabi Musa sanggup menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Bapak Angkatnya itu. Nabi Musa selamat karena dengan pukulan tongkatnya lautan menjadi terbelah, tetapi tidak bisa dicatat bahwa Nabi Musalah yang membelah laut. Meskipun Nabi Musa memukul-mukulkan tongkatnya ke laut seribu kali, laut takkan terbelah kecuali sesudah Allah dhawuh: “Idhrib bi’ashokal bahr”. Wahai Musa pukulkan tongkatmu ke air laut. Menurut saya ada perintah lain bersamaan dengan itu, yakni perintah Allah kepada laut: “Wahai air laut, belahlah dirimu begitu disentuh oleh tongkat Musa”. Hanya saja perintah yang kedua ini tidak difirmankan atau diinformasikan di Al-Qur`an, karena Tuhan sudah menjodohkan Kitab-Nya dengan akal pikiran, kecerdasan dan daya imajinasi manusia.

Tidak rasional bahwa Nabi Musa punya kemampuan otentik untuk membelah air. Lebih tidak masuk akal lagi air laut bisa membelah dirinya. Jika tidak karena irodah dan amr Allah Swt. Sebab terbelahnya laut ketika itu bukan default sunnatullah, melainkan custom iradatullah. Rumus segala sesuatu mutlak satu: la haula wala quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Adhim.

Jadi jangan marah kalau sesungguhnya Nabi Musa pun Lak-lak Undi, karena Allah-lah maha pelaku sejati setiap mukjizat. Itu Nabi, Rasul pula, Kalimullah alias juru bicara Allah pula. Apalagi kita-kita manusia biasa. Terlebih saya yang hanya awam dan “gentho ngasak”.

Terkadang manusia dipayungi nasib, di saat lain ia menjunjung nasib. Sekarang ia dilindungi, besok ia dibebani. Semua itu rumusnya “Innalloha ‘ ala kulli syai`in Qodir”. Allah berkuasa dan menentukan segala sesuatu. Manusia hanya Lak-lak Undi. Anda semua dahsyat karena berposisi sebagai Lak-lak Undinya Allah, sedangkan saya Lak-lak Undi di antara sesama manusia, di dunia dan di Indonesia.

Terkadang saya melakukan sesuatu yang orang tidak mengetahui. Saat lain saya melakukan sesuatu yang orang mengetahui tapi tidak mengakui. Atau tidak menyukai karena menurut mereka cocoknya bukan saya yang melakukan. Di dalam diri manusia, termasuk saya, Tuhan menanamkan aplikasi software yang manusia harus waspada, misalnya virus dengki, cemburu, iri, hasad hasut, ketidakikhlasan alamiah.

Saya sudah sejak remaja memastikan bahwa kenyamanan jiwa saya tidak saya gantungkan kepada sesama manusia. Sebab meskipun manusia mengetahui, belum tentu mengakui. Meskipun manusia mengakui, ia belum tentu sanggup tidak sekadar menyimpannya dalam hati. Meskipun mungkin ia mengucapkan pengakuan resmi, tetapi tidak dijamin ia mengikhlasi atau tidak memunafiki atau sedang melakukan hipokrisi.

Jadi sebelum manusia menyiksa saya dengan ketidakjujuran, ketidakobjektifan atau membutakan hati, lebih aman kalau saya nyatakan saja saya ini Lak-lak Undi. Sejak kecil saya berlatih “gak pathèken”, “sak sangkem-cangkemmu”, I don’t give a shit”. Wallahu ‘Alimun bidzatis-shudur. Allah Maha Mengetahui apapun saja yang disembunyikan di lubuk hati hamba-Nya. Suharto saja saya virusi “Ora dadi Presiden ora pathèken”.

Kalau 270 juta penduduk Indonesia tidak mengetahuinya, dan para orang pandai di level menengah dan elitnya tidak mengakui, orang lemah macam saya cukup meneguhkan “Wa kafa billahi Syahida, wa kafa billahi Wakila”. Cukuplah Allah, Malaikat Jibril, Kanjeng Nabi, Penjenenganipun Raden Syahid Jogokali dan Mbah Ud Kedungcangkring Pagerwojo menepuk bahu saya memberi penghiburan.

Juga sesudah itu tatkala saya mengobrol 2,5 jam dari jatah tamu 30 menit ditemui Pak Harto, untuk meminta legowo hati beliau terhadap naiknya Gus Dur ke kursi Istana, sesudah saya “memfetakompli” PPP dan Golkar melalui Ketuanya masing-masing sekitar 20 menit untuk jangan sampai tidak memilih Gus Dur: kafa billahi Syahida wa kafa billahi Wakila.

Juga tatkala bersama Gus Dur dan Eros Djarot di Surabaya, kita mengupayakan dari lini tertentu agar Suryadi lengser dan Megawati naik memimpin PDI (belum pakai P). Termasuk jimat dari seorang Kiai Madura yang diletakkan di tasnya Bu Mega. Sesudah orasi di depan massa PDI, saya ditangkap oleh Kol. Satriya yang memimpin satuan tentara yang “mengamankan “ Kongres itu. Saya digelendeng oleh dua prajurit, dari tempat orasi menuju salah satu tenda. Kol Satriya nyengèngès begitu saya masuk dan nyeletuk: “Kalau tidak begini caranya, belum tentu saya bisa bertemu Cak Nung...”. Dia kelahiran Makassar, mengucapkan Cak Nun menjadi Cak Nung. Andaikan nama saya Cak Nung akan diucapkan menjadi Cak Num. Seorang Polisi asal Bugis mengeluh ketika ada pelanggar lalu lintas yang ternyata adalah temannya sendiri di kampung: “Mau saya tangkak, frèng. Kalau tidak saya tangkak, kewajibang….” Maksudnya: tangkap, friend, kewajiban.

Semua orang bisa paham logat dan artikulasi orang Bugis atau Sulawesi Selatan pada umumnya. Sebagaimana Nabi Musa yang kurang artikulatif kalau bicara, kita semua sejak kecil hapal doa memohon kefasihan dan pemahaman:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”

Pun tulisan Kebon ini.

Lainnya

Topik