Berkelahi Sebagai Keberuntungan dan Kebanggaan
Sudah pasti saya tidak punya kehebatan untuk memiliki karakter pemberontak, meskipun masa kanak-kanak saya di Menturo, selama di Pondok Gontor maupun tatkala di SMA Muhammadiyah I Yogya, ada sejumlah pemberontakan yang tercatat dalam perjalanan hidup saya.
Tetapi terutama ketika menginjak dewasa, apalagi tiba di “hutan rimba” Maiyah, saya menemukan diri saya lebih sebagai “ruang” dibanding “perabot”. Lebih sebagai pengayom dibanding pemberontak. Lebih sebagai penampung dibanding pengusir atau pembuang. Lebih sebagai perekrut kemungkinan-kemungkinan dibanding penegak satu kemungkinan kebenaran.
Kalau pakai idiom AlQur`an, dulu saya lebih banyak mengakurasi “qatilu fi sabilillah”, sekarang “rahmatan lil’alamin”. Kenapa bisa demikian? Jawaban yang paling sederhana dan mudah adalah, pertama, karena dulu belum ada dunia maya. Belum ada internet. Belum ada teknologi informasi dan komunikasi dengan skala global dan mondial. Belum ada kendaraan (sosial, budaya, politik) yang bisa menyebarkan wewangian sekaligus kebusukan ke seantero dunia. Belum ada intisyarul-khairat dan sayyi`at sekaligus seluas dan sedahsyat sekarang.
Kedua, dulu manusia masih lebih manusia dibanding sekarang, yang kadar kehewanannya sangat tinggi. Dulu ummat manusia dan masyarakat dunia masih lebih menggunakan akal hidupnya. Masih lebih menata pikirannya dan lebih menjaga mulutnya dibanding era mereka menjadi netizen sekarang ini. Dulu manusia masih punya etika, mengerti kehormatan, sensitif terhadap kehinaan, serta masih menjunjung harkat kemanusiaan.
Separah-parah aturan di Gontor yang saya berontak, para birokrat dan tatanannya masih lebih manusiawi dan rasional dibanding sekarang. Senakal-nakal saya selama SMA, para guru, aturan sekolah dan lingkungan pendidikannya masih punya peradaban, masih menjunjung akhlaqul karimah, masih mempekai kehalusan dan kelembutan, dibanding kebrutalan dan kebusukan ekspresi manusia di era online sekarang ini. Sehina dan sekonyol-konyol budaya lingkungan di masa muda saya, manusianya masih menjaga kepalanya dari korupsi pikiran, masih menjaga dadanya dari kebusukan hati dan masih merawat mulut dan ekspresinya dari kedunguan dan sampah-sampah psikis.
Di era SMA, lepas dari jabatan Ketua OSIS, nakal dan anarkhi saya makin menjadi-jadi. Tiba-tiba saja pada suatu hari kursi bagian depan kanan di kelas yang biasa diduduki oleh Djaudan saya ambil alih. Djaudan datang dan meminta kembali. Saya marah dan menantangnya berkelahi. Kami ke belakang gedung sekolah. Tapi kemudian sepakat supaya tidak mengganggu situasi sekolahan, nanti sepulang sekolah kami akan berkelahi di dekat Jembatan Tamansari. Momentum itu pun tiba. Saya berhenti, sepeda saya robohkan, baju saya lepas. Siap adu arep duel melawan Djaudan. Mendadak Jafnan tampil dan berpidato memarahi saya, “Nun, kamu kan Ketua OSIS. Kamu harus menjadi teladan bagi semua siswa. Kalau kamu kerengan seperti ini, kamu menjadi tidak bermartabat”.
Saya menjawab, “Lho saya sudah mundur dari Ketua OSIS kemarin di depan Pak Giharso”.
Jafnan pinter berdebat: “Tetap saja, meskipun bukan lagi Ketua OSIS, kamu tetap pemimpin, kamu tetap panutan kita semua. Kamu tidak boleh memberi contoh buruk seperti ini”.
Saya kalah argumentasi. Akhirnya saya bentak Jaudan. “Oke. Kamu mau nggak berdamai!”. Saya ulurkan tangan dan disambut oleh Jaudan.
Pentas drama usai. Skenario yang saya susun bersama Jafnan bisa dilaksanakan secara saksama, dengan Jafnan sendiri menjadi aktor utama “Nahi munkar” di Jembatan Tamansari itu.
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ
فَإِن فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Jafnan adalah pahlawan saya, pahlawan perdamaian dan pengelolaan konflik, bahkan pahlawan kesehatan saya sampai hari ini. Tidak berhenti Jafnan mengirimi saya suplemen-suplemen herbal untuk kesehatan saya.
Kembali ke jembatan Tamansari itu, saya masih cukup waras untuk tidak nekad berantem melawan pendekar Tapak Suci, meskipun Tapak Suci itu sanad sejarahnya sama dengan persilatan di Menturo, yakni berasal dari Mbah Busyro Syuhada Banjarnegera, asal-usulnya dari Demak, dan sebelumnya Majapahit. Asal-usul saya malah langsung di wilayah Majapahit. Trio-Pendekar H Syarif, H Ihsan, H Makki, yang kami sekeluarga adalah dzurriyah-nya, adalah penasihat IPSI Jawa Timur sampai wafatnya. Mereka punya murid Wak Sampan Brudu, Wak Tonje Simping dll yang seya kenal kiprahnya sejak saya kanak-kanak. Tapi itu tidak lantas membuat saya membiarkan diri saya brèng tarung melawan Jaudan Kauman Yogya.
Di usia tua ini saya merasa beruntung dan bangga bahwa dulu pernah akan berkelahi, meskipun kami gagalkan sendiri. Tidak hanya yang selepas sekolah di jembatan Tamansari, tapi juga dalam sejumlah peristiwa lainnya, termasuk saya ditawur oleh 8 pemuda, di Tamansari juga tapi bagian timur dalam. Orang zaman sekarang tidak punya keberanian fisik, sok anti kekerasan, padahal memang pengecut untuk adu-arep. Manusia sekarang beraninya “lempar batu sembunyi tangan”, dan itu diakomodasi oleh dunia online selapang-lapangnya.
Tidak berani perang brubuh, ribuan orang membawa pedang dan rombak kemudian sampyuh bunuh-bunuhan satu sama lain. Tidak mungkin melakukan seperti yang dilakukan oleh KiaiKanjeng terjun melerai tawur di Stadion Taliwangsa Kuala Lumpur, atau di Sanggau urusan Dayak-Madura atau Tulangbawang di tengah perang 5.500 penduduk, atau menghadang 300 pasukan Mandar di Majene yang siap perang dengan pedang badik tombak.
Makhluk “ahsanu taqwim” itu sekarang sudah menjadi “asfala safilin”, karena keberanian perang mereka hanya terbatas pada mulutnya, lidahnya, medsosnya, statusnya dan upload serta sharing-sharingnya. Dulu saya mengalami budaya brèng gaprek-gaprekan, serbu sampek lèdhèh. Kemudian budaya berkembang ke “nyawat watu”, berkembang lagi santet dan puncaknya adalah bom jarak jauh dan “rudal”: alat paling pengecut sepanjang sejarah manusia. Semua bangsa di dunia diajari oleh para penjajah untuk menipu dan berlaku pengecut sejak abad ke-15. Mereka mendidikkan “pencerahan” padahal penggelapan, “kecanggihan” padahal keruwetan, “anti kekerasan” padahal kebancian.
Saya tidak tahu apakah ada kondisi masyarakat di zaman dulu yang punya kelayakan untuk digambarkan sebagaimana rumusan ayat Allah:
ضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيۡنَ مَا ثُقِفُوٓاْ إِلَّا بِحَبۡلٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبۡلٖ مِّنَ ٱلنَّاسِ
وَبَآءُو بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَسۡكَنَةُۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ
يَكۡفُرُونَ بَِٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلۡأَنۢبِيَآءَ بِغَيۡرِ حَقّٖۚ
ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali Allah dan tali perjanjian asasi dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”.
Tentu saja tidak ada lagi Nabi yang dibunuh. Karena sudah berakhir pada khatamal anbiya Muhammad Saw. Tetapi eksistensi kenabian yang Allah menisbahkannya diremehkan. Nilai-nilai yang Allah titipkan dimunafiki dan dilecehkan. Manusia zaman sekarang ini sangat pandai, termasuk untuk menstrategikan dan meretorikakan pembasmian dan perendahannya terhadap nilai-nilai Nubuwah. Abad ke-21 adalah puncak Peradaban Kamunafikan.
Tentu tidak sedikit bagian dari masyarakat dunia di sana sini yang tetap membangun kemashlahatan, melaksanakan akhlaqul karimah, lingkar-lingkar kecil “tata tentrem kerta raharja”. Tetapi itu bukan arus utama dan selalu alieanated, dikucilkan dalam arti langsung atau tak langsung, aktif atau pasif. Dan itu yang disebut “Jalan Sunyi”.
“Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”. Tidak pernah ada budaya kedurhakaan dan peradaban keserakahan selama sejarah alam semesta yang melebihi ummat manusia Abad ke-21 ini. Mereka tampak menegakkan nilai, menghias agama dan memperindah aura-aura langit, namun sekaligus merobohkannya, mengotori, dan memperhinakannya.