Berdiri di Garis Fana
“Kalau ada benar dan salah, baik dan buruk, sedih dan gembira, di posisi manakah manusia menempatkan dirinya?” Pertanyaan itu disampaikan Mbah Nun saat membuka Pengajian Padhangmbulan, Rabu (27/1/2021) di Mentoro Sumobito.
Potensi kebaikan sekaligus keburukan itu tertanam secara laten dalam diri manusia. Dua potensi itu tidak serta-merta menafikan salah satunya. Manusia tidak bisa mengklaim kebenaran yang benar-benar benar atau kesalahan yang benar-benar salah. Baik dan buruk, salah dan benar, indah dan jelek bergetar-getar dalam ruang kemungkinan. Demikian Mbah Nun memasang fondasi berpikir di depan jamaah yang hadir di halaman pengajian Padhangmbulan.
Malam itu kerinduan jamaah terobati. Seorang jamaah yang duduk di baris paling depan tak tahan untuk tidak menangis. Berkali-kali ia mengusap air matanya. Kegembiraan pun bisa membuat air mata mengalir. Mbah Nun menyapa jamaah, menampung kerinduan anak kepada bapak, cucu kepada simbah.
Kendati sejak memasuki gerbang halaman pengajian Padhangmbulan jamaah harus menerapkan protokol kesehatan: mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak duduk, hal itu tidak mengurangi kemesraan dan kebahagiaan.
Pertanyaan pembuka mengantarkan jamaah menuju tahap berpikir selanjutnya. Apakah kalau sudah mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak pasti tidak terpapar virus? Apakah kalau tidak memakai atau menerapkan protokol kesehatan apapun pasti juga terpapar? Apa pilihan kita?
Mbah Nun menggoda sekaligus menata ulang cara berpikir kita agar selalu waspada bahwa setiap upaya yang kita kerjakan maupun yang tidak kita kerjakan tidak membawa kita menuju hasil yang pasti. Mengapa? Karena manusia adalah makhluk kemungkinan.
“Di tengah probabilitas itu siapa yang pasti benar?” tanya Mbah Nun. Pasti, jawabannya adalah Allah Swt. Bagaimana dengan malaikat dan setan? Malaikat diberi potensi selalu benar dan setan selalu salah. Manusia berada di antara keduanya: bisa benar bisa salah; manusia memiliki peluang atau kemungkinan untuk benar dan salah.
Satu-satunya “kepastian” yang bisa kita kerjakan adalah mengerjakan kebaikan, kebijaksanaan dan keindahan dengan bersandar kepada Allah. Ini bukan teori klise untuk menghibur diri di tengah tata kehidupan sosial politik agama yang porak-poranda.
Kepastian yang bisa kita andalkan hanya dan semata-mata karena ada Allah. Kita berbuat baik, berkata sopan, membantu tetangga, menolong teman, merawat hutan karena Allah. Seandainya Allah tidak ada maka tidak ada satu pun alasan bagi kita untuk mengerjakan kebaikan itu.
Tidak perlu logika tingkat tinggi untuk memahami cara pandang tersebut. Kerusakan, mudlorot, mafsadat yang menimpa hidup manusia adalah kontinuasi dari kesadaran yang menempatkan Allah sebagai pelengkap penderita. Manusia sudah sangat meyakini bahwa humanisme adalah puncak kemanusiaan yang tertinggi. Di atas puncak itu tidak ada apa-apa lagi, Tuhan pun tidak.
Ruang lingkup pencapaian itu tidak hanya berlaku pada skala individu dan kehidupan sosial. Humanisme sebagai puncak kesadaran egoisme juga merasuki manusia saat mengelola ormas, partai, pemerintah, negara bahkan menjalankan agama. Manusia kehilangan “tulang punggung” hidupnya.
Soal tulang punggung itu menemukan irisannya dengan pengalaman Bapak Muhammad Zaini yang mengenalkan terapi Zamatera kepada jamaah. Zamatera adalah akronim dari Zaini Manipulation Therapeutic. Terapi ini menekankan pentingnya menjaga kesehatan syaraf tulang punggung karena di sana terdapat “pusat” kebugaran manusia. Kalau ingin sehat jaga tulang punggung dan syaraf-syarafnya.
Bapak Zaini juga menceritakan perjalanannya menemukan dan mengembangkan terapi Zamatera hingga ke Jepang. Beliau seorang terapis sekaligus mujtahid terapi tulang punggung yang mengikuti saran Mbah Nun agar tidak bergantung kepada perusahaan serupa di Jepang.
Cerita pengalaman Pak Zaini menemukan metode terapi Zamatera dielaborasi Mbah Nun untuk membuka kembali kesadaran jamaah bahwa hidup ini bukan penggalan-penggalan. Analoginya, mata tidak bisa bekerja sendiri sebagai mata. Ia membutuhkan kerja sama dengan darah, syaraf, otak, jantung dan seterusnya.
Bumi tidak bisa hidup sendiri sebagai bumi. Ada matahari, bulan, bintang, oksigen, air, atmosfer, galaksi yang menopang kehidupan bumi sebagai kesatuan orkestrasi semesta. Demikian pula manusia tidak bisa memuncaki prestasi peradaban dengan menjadikan dirinya sebagai pusat segala pusat pencapaian. Manusia harus mengakhiri egosentrisme humanisme yang menempatkan Tuhan sebagai pelengkap penderita atau malah sama sekali dianggap tidak berperan.
“Sekarang, sebutkan satu saja yang tidak ajaib dalam hidupmu,” ujar Mbah Nun. “Apa yang tidak ajaib? Adakah yang tidak ajaib dalam hidup?” Manusia tidak mampu menemukan keajaiban karena ia merasa mampu menguasai apapun. Bahkan terhadap Tuhan pun manusia “jaga jarak” demi menjalani protokol kesehatan.
Mbah Nun menyampaikan kesadaran kunci. “Berdirilah di garis fana. Engkau akan melihat keajaiban demi keajaiban. Meneliti bulu di badan akan membawamu pada kesadaran takjub: ‘Rabbanaa maa khalaqta haadza baathilaa’. Puncak dari rasa takjub itu adalah Maha Suci Engkau dan jagalan kami dari api neraka (Q.S. Ali Imran: 191).”
Hidup menjadi lebih terkendali dan waspada. Ada keniscayaan yang manusia tidak bisa lari darinya. Menyitir surat Al-Baqarah: 216: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” Kata “diwajibkan” (kutiba) sengaja saya bold-italic. Tadabur yang disampaikan Mbah Nun kata “kutiba” tidak selalu berarti “diwajibkan”.
Kutiba dalam bahasa Arab adalah bentuk kata kerja pasif (fi’il majhul), yang bisa berarti “ditetapkan, dipastikan, diniscayakan”. Jadi, ditetapkan, dipastikan, diniscayakan dalam hidup manusia selalu mengalami peperangan. Bukan selalu perang bentrok fisik: tembak-tembakan, bom-boman, atau saling menghilangkan nyawa, tapi perang potensi kebaikan melawan potensi keburukan.
Menjelang bangun shalat shubuh pun sudah terjadi peperangan: perang antara bangun untuk shalat shubuh atau meneruskan tidur. Juga perang antara melakukan korupsi atau tidak, melampiaskan dendam atau mengolahnya menjadi kebijaksanaan, memukul atau merangkul. Pada konteks peperangan dalam kesadaran mikrokosmos ini manusia mengalami kekalahan demi kekalahan. Ia bertekuk lutut pada egosentrisme humanisme.
Pengajian Padhangmbulan tidak bisa ngebleng hingga menjelang shubuh. Kita harus bertenggang rasa, sawang sinawang, mengerti kahanan lingkungan. Pukul satu dini hari Kyai Sunartip dari Ponorogo menutupnya dengan doa.