Belajar Sahabat, Sayang, dan Kepercayaan Kepada Cak Nun
Sahabat, sayang, dan kepercayaan. Seperti saya ceritakan pada tulisan sebelumnya, itulah tiga kata yang keluar dari lubuk hati Cak Nun sebagai impresi beliau ketika kepadanya disebutkan kata ‘dokter’.
Saya mencoba merenungkan lebih jauh apa makna tiga kata tersebut, walaupun secara implisit Cak Nun sudah menerangkan kepada kami (saya dan sahabat saya, dr. Agung ‘Acong’ Nugroho Sp.M., seorang mutadabbir yang kebetulan seorang dokter spesialis mata) dalam kesempatan ngobrol Dialog Tidak Tega dengan Cak Nun di Kadipiro.
Saya bertemu, dalam arti bertatap muka, ngobrol dan berdiskusi atau lebih tepatnya saya meguru kepada Cak Nun mulai tahun 1985. Waktu itu saya masih kuliah semester 5 di Fakultas Kedokteran UGM, dan saya nyambi ‘dodolan abab’ dengan menjadi penyiar radio swasta yang bernama Geronimo.
Di radio Geronimo itu saya menyalurkan hobi dan sekaligus pendukung finansial saya yang kelak menjadikan saya lulus sebagai seorang dokter. Di bulan Ramadhan, ada satu acara yang saya pegang yaitu ‘pengantar berbuka puasa’ yang isinya dialog tentang agama, baik yang menyangkut ibadah, hukum, iman, dll.
Karena segmen radio tersebut mengarah ke anak muda, maka semua program acara disesuaikan dengan selera anak muda (pada waktu itu). Maka ketemulah saya dengan Cak Nun pada acara tersebut, berkali-kali. Dimulai dari bulan Ramadhan itu dan berlanjut sampai sekarang. Mulai dari saya kuliah sampai selesai hingga sekarang ini.
Setelah lulus dokter dan spesialis bahkan subspesialis, Cak Nun tetap saja berhubungan dengan konsep sahabat. Profesi bukan menjadi kerangka hubungan individu maupun sosial budaya antara Cak Nun dengan saya. Inilah yang membuat saya senang dan bahagia. Sehingga kami bisa ngobrol tanpa ada sekat budaya yang bernama profesi. Walaupun Cak Nun sangat bangga dan salut dengan profesi dokter, tetapi itu tak mengubah ‘persahabatan’ Cak Nun dengan teman-teman dokter lainnya. Sebut saja drg. Agus Ramli, dr. Pri (dr. Supriyanto, direktur RS Iskak Tulungagung), dan sejumlah dokter lainnya.
Beberapa kali saya ‘disambati’ Cak Nun tentang pusing, batuk, pilek dan juga sambat yang lainnya. Saya datang memeriksanya dan memberinya obat. Dan selesai. Eh ternyata bukan sebatas itu, tetapi bagaimana beliau meminum obat yang saya bawakan. Bukan sekadar beliau sakit, terus minum obat, terus sembuh. Bukaaaan…, tidak sesuperfisial itu! Baru saya ketahui belum lama ini, bahwa yang beliau minum itu adalah ‘kasih sayang’ seorang sahabat yang kebetulan sedikit tahu tentang ilmu batuk pilek, kemudian datang dengan nyangking obat dan diberikan ke beliau.
Maka atas perkenan Allah, penyakit tersebut lenyap.
Ada penderitaan lain yang beliau alami. Penderitaan yang disebabkan oleh hal-hal yang tak bisa dijelaskan dengan ilmu medis. Tetapi fakta tentang ‘sakit’ beliau bisa dibuktikan secara medis, baik secara klinis, laboratoris, maupun secara radiologis. Dan ilmu medis tak sanggup mengusir sakit beliau itu. Maka beliau memohon kasih sayang Allah dengan ‘laku’ yang beliau lakukan, dan lenyaplah sakit tersebut.
Itulah Cak Nun, kepercayaan beliau, apresiasi beliau terhadap ilmu medis menyebabkan beliau mencari upaya penyembuhan atas ‘penderitaaannya’ melalui jalan medis terlebih dahulu. Baru setelah dengan ilmu medis tidak memperoleh ‘jawaban’ atas penderitaannya, maka beliau memakai upaya lain.
En Toch begitu Cak Nun menganggap itu bukan penderitaan, bukan sakit. Lha wong jelas berat badannya turun 20 Kg, hingga saya tidak mengenalnya. Badannya kurus kering, tangannya tremor (gemetar), ehh beliau tidak menganggap ini penyakit. “Dot, ngene iki, Alhamdulillah, iki aku diwenehi kesempatan Gusti Allah ben iso ngrasakke rasane disanthet. (Dot, (dengan) sakit ini, Alhamdulillah, saya diberi kesempatan oleh Allah bagaimana rasanya disantet).”
Tetap saja sisi positif yang beliau kemukakan. Bukan sisi negatif, bukan penderitaan, tetapi justru kebalikan dari sisi tersebut yang beliau kemukakan.
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (Q.S Ali Imran ayat 159).