Aurat Hidup Saya


Selama saya terpuruk, sangat kurus, groyok, tremor, dan rasa jasad tanpa kenyamanan, pada tahun 2003, yang paling mencintai, memperhatikan dan menangisi saya, di samping istri saya, adalah Pakde Nuri. Sahabat terdekat saya dunia akhirat, sejak 1970 dia bekerja sebagai Pak Bon di kantor Harian “Mertju Suar” Yogya.
Muhammad Zainuri, yang giginya atas bawah habis karena dipukuli oleh suatu pasukan yang menangkapnya menjadi kurir KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), yang merupakan salah satu sayap pasukan yang sedang bermusuhan sesudah peristiwa G.30.S 1965.
Setiap melihat wajah Pakde, hati saya merasa semakin sakit kalau mendengar atau membaca orang sekarang bicara tentang G.30.S secara sepihak, egoistis, dan subjektif. Apalagi kalau melihat peristiwa akhir September 1965 itu merupakan puncak dari rentetan dinamika politik nasional sejak 1948, kemudian perubahan gelombang besar di kalangan Kaum Muslimin pasca Pemilu Nasional pertama 1955. Sebab dalam rentetan itu kami sekeluarga di Jombang mengalami penderitaan yang luar biasa.
Fakta-fakta yang kami alami itu tidak pernah mempengaruhi batin dan mental saya tatkala menerbitkan satu kata pun dari mulut saya. Atau tulisan-tulisan dalam buku-buku saya. Atau ungkapan kegiatan apapun sampai 2021 ini. Saya tidak sukar menghapus trauma, tidak berat untuk menghapus dendam, dan bukan pekerjaan berat untuk tetap jernih dan objektif menjalani apa saja yang menyangkut Indonesia pada era-era sesudah itu semua.
Yang terkadang terasa agak tidak ringan adalah bahwa saya harus menyimpan dan tidak mengungkapkan apa yang sebenarnya saya alami dan ketahui, analisis, dan pandangan saya tentang Bung Karno, Pak Harto, PKI, Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Wahab Hasbullah, sampai Gus Dur dan semua yang ada dalam lingkup tema itu. Termasuk Pak Amien Rais, Kiai Zainuddin MZ, dan sejumlah tokoh lagi.
Sekarang ini adalah zaman di mana manusia, sebagai manusia, sebagai masyarakat, sebagai kelompok dalam masyarakat, atau sebagai bangsa, sangat tidak siap mendengarkan kebenaran sejarah. Sangat tidak siap mental untuk bercermin dan menatap wajahnya sendiri.
Mereka hanya siap hidup dengan pamrih dan nafsunya sendiri. Hanya nyaman hidup dalam khayalan dan anggapan-anggapan fatamorgananya sendiri. Tidak siap untuk sedikit saja merasa tidak nyaman kalau sampai menyadari bahwa yang mereka ketahui sebenarnya adalah palsu.
Mereka dididik dan dibesarkan oleh kepalsuan-kepalsuan informasi sejarah sehingga tak pernah menjadi dewasa. Apalagi matang. Mereka kanak-kanak abadi, yang hidup dalam khayalan-khayalan tentang mainan-mainan di tangan mereka.
Jangankan mainannya diambil dan diganti. Sedangkan anggapan dan khayalan subjektif mereka tentang mainan itu dibantah sedikit saja, jiwa mereka pingsan, mentalnya sempoyongan, akal pikirannya hancur dan perasaannya terluka tanpa ada kemungkinan untuk menyembuhkan.
Lebih dari sekadar “buruk muka cermin dibelah”. Mereka sudah menjadi sangat paranoid dan super-sensitif. Kalau ayat-ayat Allah tidak mereka ketahui bahwa berasal dari Allah, tetapi diucapkan oleh sesama manusia, mereka pasti sangat tersinggung. Tetapi ini positif, karena masih ada sisa rasa takut kepada Tuhan.
Itu juga yang menyebabkan saya tidak akan mengungkapkan apa, siapa, kenapa, dan bagaimana tiba-tiba saya menjadi sakit, darah saya darah orang lumpuh, tangan kaki gemetar, badan kurus pol, sampai akhirnya setelah pemeriksaan total di RS Sardjito UGM, muncul vonis bahwa usia saya tinggal paling lama 3,5 bulan lagi.
Itu adalah bagian dari aurat hidup saya. Yang hanya saya singkap kalau Allah sendiri memerintahkannya secara langsung.
Hasil rontgen menunjukkan bahwa dari leher hingga dada saya gelap pekat. Semua organ saya sudah hancur dan luluh lantak. Tidak ada fungsi pengolah makanan dan penyerap serta pembagi unsur-unsur yang terkandung dalam makanan dan minuman. Tubuh saya akan terpaksa memakan lemaknya sendiri dan itu batasnya sekitar 3 bulan.
Teman-teman Dokter tidak tega menyampaikan kepada saya. Akhirnya dr. Eddy Supriyadi sahabat saya membisikkan itu semua dengan sangat hati-hati kepada Pakde Nuri. Di warung depan Sardjito Pakde menangis di depan saya. Lelaki yang gagah perkasa. Yang selalu mengayomi kesehatan semua anggota KiaiKanjeng. Yang ketika ditabrak oleh Vespa maka Vespanya yang hancur. Yang ketika ia terjatuh, aspalnya yang hancur berantakan. Menangis di depan saya dan lirih berkata: “Kowe ki tau ngopo to Cak, kok ono wong tego miloro lan mateni kowe...” Sampeyan ini pernah melakukan apa, sehingga ada orang yang tega menyakiti dan membunuh Sampeyan.
Pakde sendiri atas saran istri saya membawa contoh beberapa jumput tinja saya yang bentuknya kental keras berwarna hitam seperti aspal yang dibakar. Pakde membawa pulang bahan itu dimasukkan ke dalam tabung plastik tebal Fuji Film. Sesampainya di rumah, tabung itu meledak, pecah, dan tinja menciprat berantakan ke berbagai arah. Pakde ambil sisa yang masih bisa diambil. Dibawa ke Laboratorium Fakultas Pertanian tempat kerja Pakde. Bahan dari perut saya itu tidak terurai oleh pemanasan sebelum 1.300 derajat Celsius. Salah satu bahan yang terkandung padanya adalah unsur Uranium.
Nilai Kimia saya di SMA dulu paling tinggi 4,5. Jadi saya tidak paham apa gimana Uranium atau unsur-unsur lainnya di dalam tinja saya sendiri. Saya hanya bisa bersyukur bahwa perut saya tidak terbakar atau meledak. Sebagaimana tiga bulan saya menggelandang di Belanda di bawah 0 derajat Celcius, hanya mengalami sedikit nyeri satu dua tahun sekali di tulang samping kanan pinggang saya.
Saya tidak menuding, menyimpulkan, atau menuduh. Tetapi firman Allah di bawah ini secara sangat samar-samar membayang di batin saya:
أَوَ مَن كَانَ مَيْتاً فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُوراً يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ
كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا
كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Atau orang yang mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia. Serupa dengan orang yang keadaanya berada dalam gelap gulita yang berkali-kali tidak dapat keluar daripadanya.”
Setiap manusia yang punya akal dan bisa mengoperasikan logika atau manthiq kehidupan, mengerti bahwa sesungguhnya siapa saja tidak ada yang sungguh-sungguh hidup kecuali Allah.