Al-Waliy, Allah Maha Pelindung
Residu, kata itu muncul di tengah obrolan bersama Cak Dil, Cak Nang, dan teman-teman Omah Padhangmbulan. Informasi, berita, pengajian, ceramah, tayangan video di medsos menyesaki ruang publik hingga ruang privat selama 24 jam. Pernahkah kita menakar, syukur-syukur melakukan muhasabah: berapa persen informasi yang memiliki manfaat, berapa persen yang menumpuk jadi residu atau racun sehingga menghasilkan mudlorot?
Racun-racun itu perlu diurai. Detoksifikasi merupakan proses netralisasi atau membuang racun melalui mekanisme tertentu. Bagaimana detoksifikasi dilakukan?
Pengajian Padhangmbulan memiliki formula: menata hati dan menjernihkan pikiran. Ini bukan sekadar tagline. Pengajian Padhangmbulan, dengan demikian, juga bukan hanya forum atau majelis ilmu yang menuangkan informasi ke dalam “cangkir” para jamaah. Lebih dari itu: majelis ilmu Padhangmbulan menyuguhkan atmosfer yang kompatibel dengan proses detoksifikasi hati dan pikiran.
Pada konteks kebutuhan itu kita tidak cukup menjadi “gelas” yang baik. Kita perlu menjadi “siwur” yang aktif nyiduk air, atau pada saat bersamaan kita berperan sebagai ceret yang menuangkan air ke dalam gelas.
Kapan menjadi gelas, siwur atau ceret, pengajian Padhangmbulan menyediakan ruang belajar yang lapang. Setiap jamaah mengemban tiga peran tersebut sekaligus.
Gelas akal diisi dengan air ilmu dan hikmah. Siwur pikiran aktif merespons tema pengajian, menyampaikan pendapat atau mengajukan pertanyaan. Ceret pengalaman membagikan air sublimasi hasil perenungan yang autentik kepada sesama jamaah.
Tiga peran itu disunggi tidak secara muluk-muluk, mewah dan rumit. Tidak harus ngilmiah, ndakik-ndakik. Sederhana saja. Menjalankan peran sebagai ceret kita bisa bercerita pengalaman keseharian yang bermakna. Berbagi pengalaman, penghayatan, perenungan — sesederhana apapun momentum yang memicunya — merupakan bagian dari proses detoksifikasi.
Ketika proses detoksifikasi berlangsung kita akan berjarak dengan fakta dan realitas. Kita tidak larut dalam kubangan realitas sehingga kuda-kuda kewaspadaan tetap kokoh dan seimbang.
Detoksifikasi itu membongkar pemahaman yang beku, statis dan stagnan. Sejumlah pertanyaan bisa kita ajukan: Apakah Allah menjadi satu-satunya penolong? Pernahkah kita menakar sekaligus memuhasabahi bahwa Allah adalah Al-Waliy dalam gerak langkah hidup kita?
Mengapa kita diam-diam sering bersandar dan mengharap pertolongan dari selain Allah? Mengapa pula kita cemas menatap masa depan, galau mengenang masa lalu? Bagaimana cara menyikapi hidup yang dikerumuni oleh ilah, tuhan made in kebudayaan manusia, sehingga kita menjadi sangat bergantung kepadanya?
Bagaimana menemukan aktualisasi firman Allah berikut ini di tengah buram mata antara yang haq dan batil, terang dan gelap, nur dan dhulmun?
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqoroh: 257)
Al-Waliy, Allah Maha Pelindung, menjadi pintu masuk untuk selanjutnya mengurai racun-racun yang ngendon di hati dan pikiran kita. Kita melakukan “detoksifikasi” pada Pengajian Padhangmbulan bulan Maret 2021 di Menturo Sumobito Jombang.