Al-Malik dan Al-Quddus, Sang Maharaja dan Yang Mahasuci
Bulan Ramadlan yang bertepatan dengan malam bulan purnama wanginya tercium juga. Purnama bersinar sempurna. Senin, 26 April 2021, Pengajian Padhangmbulan kembali digelar di desa Mentoro Sumobito Jombang.
Pukul 19.30 teman-teman Lemud Samudro melakukan cek sound. Santri-santri TPQ duduk rapi di depan panggung. Usai shalat Isya dan Tarawih jamaah mulai memadati halaman pengajian.
Pengajian Padhangmbulan dibuka dengan tadarus Al-Qur’an oleh bapak Abdullah Qayim. Dilanjutkan Wirid Padhangmbulan oleh Cak Luthfi, Cak Huda, Mbak Yuli, Mbak Nia, dan teman-teman Lemud Samudro.
Alhamdulillah, Mbah Fuad rawuh di tengah-tengah kita. Babul ‘ilmi atau pintu ilmu yang akan kita masuki adalah Asmaul Husna: Al-Malik dan Al-Quddūs. Pada kesempatan itu Mbah Fuad menjelaskan pengertian Al-Malik dari sisi bahasa dan maknanya. Beberapa ayat Al-Qur’an menggunakan kata Al-Malik di antaranya adalah surat Al-Hasyr ayat 22-24. Ayat ini nanti di sesi selanjutnya menjadi bahan sinau bareng.
Kata “malik” juga dipakai untuk menyebut raja dari sekelompok manusia yang diberi kekuasaan. Surat Al-Baqarah ayat 247 menjelaskan hal itu. “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: ‘Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu’. Mereka menjawab: ‘Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?’ Nabi (mereka) berkata: ‘Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa’. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”
Selain penggunaan “malik” untuk manusia, ayat tersebut menjelaskan kalimat kunci bahwa raja yang sebenar-benarnya raja adalah Allah Swt. Dia memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki. Jadi, kekuasaan untuk manusia itu statusnya pemberian, pinjaman, bukan hak milik.
Penggunaan sifat malik dalam Al-Qur’an ada tiga, yaitu: Al-Malik (nama dan sifat yang melekat pada Allah), Mālikul mulki (pemilik kerajaan), dan Al-Malīk (penguatan atau mubalaghah dari sifat Al-Malik).
Ketiga sifat itu menunjukkan bahwa Allah Swt adalah Al-Mulk, yang mengandung sifat Maha Agung (al-‘adhāmah), Maha Hebat (al-kibriyā’), Maha Pemaksa (al-qahru), Maha Pengatur (al-tadbīr). Semuanya bersifat mutlak dan tak terbatas dalam lingkup penciptaan dan pembalasan.
Sebagai Mālikul mulki, pemilik dan penguasa alam semesta, semua yang selain Allah adalah ‘abīd, hamba. Dia adalah Rabb yang haq, Malik yang haq, Ilah yang haq. Tiga kata ini: Rabb, Malik, dan Ilāh terdapat dalam surat An-Naas. Semua sifat Allah terkumpul dalam ketiga sifat itu.
Al-Rabb mencakup sifat Al-Qaadir, Al-Khaliq, Al-Baari’, Al-Mushowwir, Al-Hayyu, Al-Qayyūm, Al-‘Alīm, Al-Samī’, Al-Bashīr, Al-Muhsin, Al-Jawwād, Al-Mu’thi, Al-Māni’, Al-Dlārru, An-Nāfi’, Al-Muqaddim, Al-Muakh-khir.
Al-Malik meliputi sifat Al-Amīru, An-Nāhīy, Al-Mu’izz, Al-Mudhill, Al-‘Azīz, Al-Jabbār, Al-Mutakabbir, Al-Hakam, Al-‘Adl, Al-Khāfidl. Sedangkan Al-Ilāh mengandung semua sifat keagungan dan kesempurnaan Allah.
Allah Maha Suci dari segala kekurangan, ketidaksempurnaan, serta setiap pikiran yang tidak benar tentang Diri-Nya. Bertasbih adalah kesadaran yang bergerak untuk menyucikan Allah. Sampai di sini kita berjumpa dengan keterbatasan arti sebuah kata. Menyucikan, bukan berarti Allah kotor lantas dibersihkan. Mengagungkan, bukan berarti Allah tidak agung lalu kita mengagungkan-Nya supaya agung.
Subhānallāh, Maha Suci Allah, adalah kesadaran yang diberangkatkan oleh kekotoran pikiran kita tentang Allah. Yang dibersihkan adalah kotoran pikiran kita sendiri. “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” merupakan salah satu penyucian pikiran kita dari segala kekotoran persangkaan kepada Allah.
Subhānallāh dan kalimat thayyibah lainnya sering diucapkan secara tidak tepat karena keluar dari konteks. “Sekarang kamu tinggal di mana?” tanya seorang kawan. “Saya sekarang berdomisili di Jombang.” Kemudian kawan yang tadi bertanya mengucapkan, “Subhānallāh…!” Lho, apanya yang Subhānallāh!
Mbah Nun dan Mbah Fuad cukup peka terhadap hal-hal yang dianggap remeh seperti itu namun menyiratkan ketidaktepatan yang serius. Sebagian besar orang tidak lagi memiliki akurasi dan ketepatan konteks untuk “sekadar” mengucapkan kalimat thayyibah. Seorang sahabat bertanya, “Anakmu sekarang berapa?” Lalu dijawab, “Insya Allah dua.” Ini ambigu: dua itu baru punya anak satu sehingga Insya Allah akan dua, ataukah sudah punya dua anak? Ternyata, anaknya dua. Sudah punya dua anak kok Insya Allah.
Mbah Fuad menegaskan, Insya Allah digunakan untuk peristiwa yang belum terjadi. Misalnya, ketika diundang seorang teman, kita pun menjawab, “Ya. Saya akan datang. Insya Allah.” Bukan ragu-ragu karena belum tahu bisa datang atau tidak lantas kita berlindung di balik ucapan Insya Allah.
Mohon juga tidak dipersoalkan penulisan Insya Allah, pakai sh: Insha Allah atau sy: Insya Allah. Panjang bacaan sya dua atau lima harakat? Memakai prinsip mad thabi’i atau mad wajib muttashil? Kalau menyalahi kaidah tajwid bersiaplah masuk neraka.
Kalau begitu mbok mesisan. Jangan tanggung-tanggung. Mari kita jalani bersama secara konsisten. “Baik. Saya akan datang. In...(dibaca dengung sepanjang dua harakat karena ikhfa’ haqiqi) syaaaaaa Allaah.” Alangkah ribet dan repot hidup ini untuk melayani penulisan dan cara membaca Insya Allah.
Sesi berikutnya adalah workshop bersama jamaah. Mbah Nun memandu langsung bagaimana kita mentadabburi surat Al-Hasyr ayat 22-24 hingga ke tingkat aplikatif. Sifat Al-Malik dan Al-Quddūs juga disebut di surat itu. Kita lanjutkan catatan workshop itu pada seri kedua tulisan ini.