Virus vs Pamor
Sore kemarin ketika saya menulis ini, Indonesia mengungguli Malaysia, dalam urusan Covid-19. Total kasus Malaysia hanya 5072, sementara Indonesia, pelan tapi pasti, mencapai terbang lebih tinggi hingga 5136 pencapaiannya dibanding “anak didik”nya sendiri. Bahkan jumlah yang meninggal karena virus Corona pun unggul: Indonesia sanggup mencapai 469, semantara Malaysia ketètèran hanya mati 83.
Dalam segala hal Indonesia selalu bersaing dengan Malaysia. Di dalam psikologi kedua bangsa ini terdapat rasa tidak mau kalah, rasa harus unggul, sampai ke tingkat dengki dan benci. Entah kapan mulainya dan apa yang menjadi sumber asal-usulnya. Berkali-kali saya bersama KiaiKanjeng pentas di Malaysia, terserempet juga situasi saling tidak enak itu, dan tak satu pihak pun sampai hari ini berinisiatif untuk memperhatikannya secara serius, mengamatinya, menelitinya, syukur mensimulasikan kemungkinan solusinya.
Kepada sejumlah tokoh kaum muda Malaysia saya pernah usul agar didirikan semacam jaringan atau forum persaudaraan Melayu-Jawa, tapi tentu saja tidak ada yang mau mendengarkan beneran. Apalagi usulan saya Melayu-Jawa, bukan Malaysia-Indonesia. Mereka tidak bertanya, sehingga lucu juga kalau saya menjawab yang bukan atau tak ada pertanyaannya, meskipun semua itu ada sebab-musababnya, hulu-hilirnya, landasan pikirannya serta proyeksi futurologisnya. Tetapi kalau menjawab padahal tidak ditanya kan namanya orang gila. Dalam banyak hal saya mungkin memang gila, tapi belum sampai ke stadium itu.
Dalam hal penanganan Covid-19 Malaysia memang lebih ketat dibanding Indonesia. Warga Malaysia, mahasiswa atau pelajar yang baru balik dari Eropa, terutama Italia, Inggris dan Spanyol, diisolasi oleh Lembaga kesehatan Negara 14 hari. Jadi bukan “self isolation” di rumah sendiri 14 hari. Makanya Dr. Musa Mohammad Nurdin menganggap “Indonesia adalah bom waktu”, akan datang waktu menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang terpapar Covid-19 jauh lebih banyak dibanding yang tiap sore laporannya kita dengarkan oleh Jubir Yuri.
Tidak ada ilmu manusia yang bisa menyimpulkan secara pasti apakah Dr. Musa itu salah ataukah Indonesia yang salah. Yang pasti sekarang ini adalah bahwa teknologi kedokteran dunia masih pasca-primitif, belum modern sama sekali. Belum ada alat genggam, semacam sensor berupa kamera atau apapun yang bisa memperlihatkan di sekitar kita ada virus Covid-19 beterbangan atau melayang-layang atau tidak. Manusia masih butuh proses panjang, berhari-hari untuk “ngonangi” Covid-19. Bahkan jika setiap Kabupaten punya 1000 PCR (Polymerase Chain Reaction). Teknologi manusia masih sangat tidak siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan, meskipun sekadar berwujud jasadiyah atau materiil sebagaimana Covid-19.
Seorang dari Jamaah Maiyah mempertanyakan kepada saya tentang “bencana Covid-19 ini tidak terlalu mengerikan kalau dibandingkan dengan berbagai jenis adzab yang Allah sendiri ceritakan di dalam firman-firman-Nya”. Saya mencoba menjelaskan bahwa dalam peristiwa adzab Allah di Al-Qur`an tidak ada peluang sedikit pun bagi manusia untuk meloloskan diri. Sementara dengan Corona ini tidak sempit peluang untuk lolos. Jamaah Maiyah itu kemudian memaparkan kepada saya kemungkinan-kemungkinan multiefek Corona di hari-hari berikut yang juga tak kalah mengerikan, terutama di wilayah penghidupan, survivalitas kesejahteraan sehari-hari rakyat Indonesia. Baru kemudian ia mengajak mengkreatifi hari esok: misalnya apa sesuatu yang baru, yang mendasar, yang substansial dan signifikan, yang bisa lahir atau sengaja kita lahirkan sesudah Corona berakhir. Sambil tetap ia peringatkan bahwa Corona ini bisa ada gelombang kedua dan bahkan ketiganya, yang juga tetap mengerikan sebenarnya.
Karena Jamaah Maiyah yang saya kisahkan itu pengetahuannya sangat luas, saya manfaaatkan untuk bertanya kepadanya. Misalnya, apa mungkin suatu bangsa memiliki semacam jenis imunitas kolektif atau ketahanan fisik mental komunal karena sejarahnya, karena tradisi kebudayaannya, karena bangunan habitat peradabannya, atau mungkin karena sesuatu yang ilmu modern belum punya rumusannya.
Ada semacam pandangan bahwa manusia Indonesia, rakyat Indonesia dan bangsa Indonesia yang sejak enam (6) abad silam sudah tertanamkan di lubuk kejiwaan dan tubuh mereka, suatu daya tahan khas Nusantara, baik dalam pengertian horisontal maupun dimensi vertikal. Semacam, kalau di komputer, terdapat dua file yang enrooted, yang permanen menjadi bagian dari wujud jasadiyah maupun ruhiyah fakta kemakhlukannya.
Sesuatu yang tidak bisa dipahami, dirumuskan, dipetakan, diakses, diurai, di-encrypted atau di-decrypted, diubah, dimutasi atau dikembangkan atau dieliminir oleh kemampuan, alat-alat dan aplikasi-aplikasi modern. Dan dua akar kembar itu, Kiai Oyot Kembar itu, tidak bisa diotak-atik dan tetap bersemayam di akar hidup seseorang yang meskipun ia sudah mengubah dirinya menjadi modern, sudah mem-Barat — meskipun pada posisi tertimbun dan tersembunyi.
Di Maiyahan sering dijelaskan bahwa misalnya kita menghadapi seekor harimau. Ada tiga jalan. Pertama, bertarung dan mengalahkannya. Kedua, menaklukkannya dengan ilmu dan strategi. Ketiga, dengan daya pawang. Asalkan ia berjumpa dengan kita, maka harimau itu langsung jinak dan tidak berbahaya tanpa si Pawang melakukan apa-apa.
Bagaimana kalau harimau itu adalah Covid-19? Apakah ada fenomena seperti itu yang dikenal oleh ilmu pengetahuan sampai dunia modern sekarang ini — yang juga tidak bisa menjelaskan misalnya “sepuhan” atau “pamor” dalam Keris?
“Sepuhan” atau “pamor” itu kategorinya mungkin mirip seperti teori tentang “Syafa’at”, meskipun rumus vertikalnya tetap saja tergantung pada ketetapan Allah: “Tiada seorang pun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya.” (Yunus). “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-(Nya).” (An-Najm).
Itulah sebabnya Jamaah Maiyah selalu mantap berharap kepada tradisi shalawatnya. Salah satu fungsi shalawat adalah merayu-rayu Allah dengan menyatakan cinta kepada kekasih-Nya, yakni Kanjeng Nabi Muhammad. Itu adalah satu-satunya pilihan pada posisi sangat tidak berdaya kecuali Allah bermurah hati kepada mereka. Mosok Kanjeng Nabi tega hati kepada Jamaah Maiyah yang sangat mencintai beliau dan sangat rajin menyatakan dan senantiasa berikhtiar membuktikannya. “`Azizun `alaihi ma `anittum harishun ‘alaikum bil-mu`minina ro`ufun rahim”. *****