Tiga Sekawan
Tiga bersaudara Gareng, Petruk dan Bagong, secara ilmu dan ekosistem kebudayaan bisa saja “dipaksakan” untuk disebut Tiga Sekawan. Gareng sebagai filosof, Petruk sebagai intelektual dan Bagong sebagai Budayawan, boleh Digambar garis-garis peran dan kerjasamanya dari wilayah yang berbeda. Tapi jangan lantas bikin istilah Empat Sekawan: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
Kalau Semar itu satu dari tiga seperibuan dengan Togog dan Bhatara Ghuru. Adapun Gareng Petruk Bagong posisinya direkrut dan diterima oleh Semar untuk menemani tugas “pamomong titah” di bumi.
Bahkan juga tidak tepat kalau kita mengarang satuan Lima Sekawan: Rasulullah Muhammad saw, Abu Bakar As-Shidiq, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan Nabi Musa dan Nabi Khidlir, bahkanpun Nabi Musa dan Nabi Harun, pun tidak tepat untuk kita karang sebagai Duo Sejoli Dua Sekawan.
Tokoh penegak hukum Syerif Wyatt Earps di abad 18 malah agak cocok kalau dibilang Dua Sekawan dengan Doc Holiday. Atau Butch Cassidy dan Sundance Kid, memang dua perampok sekawan. Juga Billy the Kid dengan delapan rekan se “Regulator”nya masih bisa dianggap secara serabutan sebagai Sembilan Sekawan.
Tapi Jaka Tingkir sendirian, Arya Salaka hanya diterima dan dipercaya untuk mengiringinya. Anglingdarma dan Batik Madrim tampak seperti Dua Pejabat Sekawan yang ideal, tetapi akhirnya terlibat dalam peperangan kelas siluman yang tan kinaya ngapa. Layang Seta dan Layang Kumitir memang bersaudara putra Logender dan profesi serta pemihakannya sama.
Sabdopalon dan Noyogenggong bisa saja disebut Dua Sekawan karena misi sejarahnya sama dan latar belakang keilmuan dan kehidupannya tidak jauh berbeda. Tetapi Iblis bukanlah Dua Sekawan dengan dirinya sendiri ketika masih berdiri sebagai Syekh Kanzul Jannah. Bahkan ia berbeda lagi dengan Iblis yang Begawan Smarabhumi atau Kiai Semar Badranaya. Pikiran sempit dan persepsi sekilas-sekilas akan lebih terjebak lebih lanjut oleh kebingungan apakah Smarabhumi dengan Syekh Subakir itu Dua Musuh Bebuyutan ataukah justru Dua Sekawan yang mengolah tanah liat rintisan peradaban bangsa Jawa.
Sementara itu Walisongo juga tidak tepat disebut Sembilan Sekawan, karena eranya berbeda, wilayah tugas dan riyadlah atau jenis workshop dakwahnya berbeda.
Mungkin Kanjeng Nabi Muhammad saw dengan beliau Hajjah Siti Khadijah agak mendekati nuansa kalau disebut Dua Sejoli, karena berada pada lara-lapa perjuangan perintisan awal-awal Islam yang luar biasa dan mereka bersama-sama sebagai “tumbu ketemu tutup”.
Dua Sekawan, Tiga Sekawan, Lima Sekawan atau berapapun sekawan memerlukan landasan ilmu, pengetahuan, thariqah dan ‘amaliyah yang sedemikian rupa, sehingga tidak bisa disimpulkan hanya berdasarkan percik-percik permukaan fakta yang menampakkan seakan-akan mereka itu sekawan.