Tidak Malu Oleh Penghinaan Corona
Sebuah Majalah nasional pernah mengungkap bahwa cerita pendek saya diplagiat oleh seseorang yang mengaku bahwa itu adalah karyanya, yang terlanjur dimuat oleh Majalah tersebut. Majalah itu menanyakan apa tindakan saya, dan saya jawab: “Mulai tanggal terbitnya cerpen plagiat itu, resmi cerita pendek itu adalah karya dia, bukan karya saya”. Artinya, tidak ada sanksi apapun kepada yang memplagiat cerpen saya. Kenapa begitu? Karena apapun yang muncul dari saya bukanlah hasil kerja saya sendiri tanpa ada pihak lain yang lebih berkuasa dan pandai dibanding saya. Kalau engkau mencuri, kau sembunyikan di mana barang curian itu, dalam lingkup kekuasaan dan pengetahuan Allah?
Intelektual utama Indonesia di masanya, Dr. Nurcholish Madjid menjelaskan tentang konsep Sekularisasi yang ia sebar-luaskan: “Kalau pohon itu ya pohon saja, bukan itu wilayah angker atau ada hantunya”. Tidak salah sama sekali dalam dua pengertian. Pertama, objektivitas materiil pohon. Dua, maksud memberantas takhayul dan klenik dalam budaya masyarakat.
Tetapi di luar itu, di pohon ada sejarah, ada asal-usul dan lingkungan faktualnya, bahkan ada Tuhan dan Malaikat yang bertugas urusan pohon. Itulah sebabnya perlu dikelola pemahaman yang membedakan antara Sekularisasi dengan Sekularisme. Kalau sekularisasi fokusnya objektivitas materiil. Kalau sekularisme meyakini bahwa objektivitas materiil itu adalah keseluruhan entitas sesuatu hal. Untuk kepentingan objektif dan rasional, kita memerlukan sekularisasi. Tetapi untuk menyadari betapa pengetahuan manusia benar-benar sempit, “wama utitum minal ‘ilmi illa qalila” — kita harus waspada dan menjaga diri jangan berhenti pada kesempitan materiil pandangan ilmu kita.
Kadang memang aneh cara yang ditempuh oleh kaum cendekiawan. Untuk membereskan urusan materi kehidupan, mereka membatasi diri pada hal-hal yang bisa dijangkau oleh pancaindera. Itu sangat penting dan memang produk utama teknologi peradaban modern adalah kepuasan pancaindera: teknologi materialistik, gedung-gedung pencakar langit, pesawat dan segala hal yang berbatas materialisme. Akhirnya kehabisan tenaga batin untuk memperhatikan yang jauh lebih luas dan mendalam dari meteri. Sebenarnya itu “semester pertama” pembelajaran manusia atas alam dan atas manusia sendiri. Tapi karena kelelahan oleh materialisme yang memanjakannya, memudahkan hidupnya, dan tanpa disadari membuat mereka malas rohani — akhirnya manusia merasa “mungguh” ( kegedean hati) dengan capaian materialismenya. Kemudian mereka tidak puas sendiri, sebab semua capaian materialisme tidak menjamin kebahagiaan batin mereka. Sedangkan yang disebut batin itu adalah sisi tertentu dari keluasan rohani.
Kecendekiawanan itu sendiri adalah rohaniah. Ilmu itu rohani. Juga estetika, kesenian. Tetapi para ilmuwan dan seniman membuang fakta bahwa mereka adalah rohaniawan atau pekerja rohani. Yang mereka “tugasi” untuk mengurusi rohani dan menjadi rohaniawan adalah pelaku-pelaku Agama. Sialnya kemudian karena para agamawan tidak berhasil memperjuangkan supremasi rohani dalam kehidupan manusia, akhirnya para pekerja Agama, termasuk tokoh-tokohnya, malah menjadi pelaku materialisme, antara lain dengan mengkapitalisasikan unsur-unsur Agama.
Kelelahan manusia oleh materialisme yang toh membuat mereka bersaing dan bertengkar terus sampai-sampai ada Perang Dunia I dan II hingga Perang Dingin, Perang Global Asimetris dan macam-macam permusuhan lainnya – akhirnya mereka kehabisan energi untuk urusan Tuhan. Dimensi Tuhan dan ketuhanan akhirnya diambil sejauh yang menguntungkan manusia sendiri secara meteriil.
Kelelahan peradaban itu membuat manusia terpeleset pada kecenderungan untuk menuhankan manusia itu sendiri, daripada menempuh langkah untuk benar-benar jujur mengenali Tuhan.
Secara implisit maupun eksplisit terdapat aspirasi global bahwa manusia menuhankan dirinya sendiri. Bentuk penuhanan diri ini kita sebut saja Fir’aunisme. Manusia besar kepala dan merasa besar sendiri. Tidak mungkin ada Universitas atau Sekolah modern yang mewacanakan informasi dari Tuhan bahwa “Al-Haqqu min Rabbika”. Bahwa kebenaran itu milik Allah dan hanya bersumber dari-Nya. Statemen seperti itu bikin repot mekanisme akademik.
Pencapaian ilmu dan teknologi memompa mental manusia menjadi berisi kibriya`, keangkuhan dan kekaguman atas dirinya sendiri. Peradaban manusia Jawa memuncaki pengetahuannya dengan rekomendasi: “Ojo dumeh, ojo gumunan, ojo gemedhe”. Tetapi seluruh tonjolan-tonjolan ekspresi peradaban manusia 20 milenal adalah Peradaban Dumeh, Paradaban Gumun dan Peradaban Gemedhe — dalam konteks hubungannya dengan Sang Maha Induk segala-galanya, yang kalau kita langsung menyebutnya: Allah subhanaHu wa ta’ala.
Ini bukan terbatas soal iman dan keyakinan, tapi juga konteks ilmu, pengetahuan, dengan batas logisnya. Misalnya orang Jawa bilang “tan kinoyo opo, tan kinoyo sopo, tan kinoyo ngopo”. Tidak seperti apapun, tidak sebagaimana siapapun, tidak juga bagaimana pun. Kalau kasat mata, kasat telinga, kasat alat-alat jasad, disimpulkan itu bukan Tuhan. Kalau pakai idiom Allah sendiri: “laisa kamitslihi syai`un”, ‘lam yakun laHu Kufuwan ahad”. Tuhan tidak seperti apapun. Tidak sesuatu pun menyerupainya atau men-seperti-i Ia.
Kalau bisa dibayangkan, dirumuskan, digambar, dilukis, dipatungkan, berarti bukan Tuhan. Budaya Islam yang dituntut Allah bahkan kasih reserve: wajah Rasulullah Muhammad saw pun disembunyikan sedemikian rupa dalam sejarah Islam dan ummatnya. Kalau Kanjeng Nabi berkenan menemuimu, beliau berwajah cahaya. Kalau beliau hadir dalam kesadaranmu, kehadirannya berupa pancaran cahaya.
Dan tiga kedunguan global itu tidak luntur oleh penghinaan makhluk super-mikro yang bernama virus kepada kesombongan manusia. Coronavirus membuktikan secara semena-mena bahwa manusia yang Allah mengkonsepnya sebagai “ahsanu taqwin” ini ternyata memang derajatnya sangat rendah, pantas diremehkan, dilecehkan, layak dihina dan direndahkan. Sesuai benar dengan tradisi berabad-abad “dholalah” dan “jahalah” mereka. Kedunguan akut dan ketersesatan permanen.
Coronavirus sangat memparanoidkan semua manusia di dunia, tetapi tidak membuat mereka merasa malu. Sedikit pun tidak. Manusia, kaum cendekiawan, pemimpin-pemimpin Negara dan masyarakat tetap angkuh dengan penuhanan atas dirinya sendiri dan tidak terpikir untuk ingat ada sesuatu yang lain yang jauh lebih berkuasa dibanding manusia. Semua komponen ummat manusia bekerja ekstra keras untuk “Bersama Melawan Corona”, tapi tak seorang pun merasa malu. ***