Teras Gemah Ripah Cak Rudd

“Menyulap teras rumah untuk ketahanan pangan membutuhkan ekstra keuletan dan ketelitian. Bagi Cak Rudd bertanam juga harus dilandasi rasa gemati.”
Belasan pot berbentuk mirip botol minum itu menempel di tembok pagar. Aneka warna pot bercorak putih, merah, hijau, hitam, serta jingga meninggalkan kesan estetik tersendiri. Di dalamnya berisi sayur-mayur segar nan maknyus disantap. Cak Rudd, pemilik tanaman itu, semulanya ingin mengisi halaman kosong yang gersang agar nampak indah di mata. Ternyata ia mendapat nilai plus.
Di tengah pandemi Covid-19, hobi pemilik nama lengkap M. Khairuddin, itu membawa hoki. Ketahanan pangan rumahannya tercukupi. Ia tak perlu membeli sayuran di warung. Cukup menelateni budidaya tanaman di teras rumah. Hobi ini ia lakoni sejak tiga tahun silam. Desember 2017 mengumpulkan barang bekas, Januari 2018 mulai menanam.
Namun, sebelum itu, mulai 2014 ia pernah melakukan eksperimen. Mencoba menyilangkan beberapa varietas padi untuk membuat varietas unggul baru. Selain membawa manfaat bagi keluarganya, hobi Cak Rudd itu membawa berkah tetangga. “Sebelah rumah saya itu ada warung seperti ramesan. Saya bilang kalau butuh sawi ambil saja di halaman. Tapi jangan sama potnya,” tuturnya sambil terkekeh.
Tetangga itu berterima kasih dan ingin membeli. Tapi Cak Rudd larang. Hidup di dusun masih kental nilai kekeluargaannya. Cak Rudd mempraktikkan laku ini sebagai nilai bebrayan agung. Tradisi leluhur yang kian tergerus zaman. Blora, kota kelahiraan dan tempat tinggal Cak Rudd, adalah salah satu contoh wilayah yang makna bertetangga berarti saling memberi tanpa motif pragmatis. Belakangan hobi Cak Rudd itu menular ke tetangga desa. “Setahun setelah saya kira-kira tetangga desa saya juga ikut bertanam,” ungkapnya.
Hampir sepuluh tahun Cak Rudd bekecimpung di dunia botani. Pertama kali terjun ke dunia pertanian sejak akhir 2011. Mulanya diajak Cak Dil ikut pelatihan pertanian yang diadakan Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. Bersama enam orang, termasuk Cak Rudd, pergilah ke Malang mewakili Padangmbulan. “Sebetulnya ini pelatihan untuk pesantren-pesantren. Dan rombongan dari Padhangmbulan ini termasuk yang terbanyak. Oleh Pak Tjuk Haryo Basuki saya diminta ikut sekalian,” kenangnya.
Tujuan pelatihan ini agar peserta melakukan pelatihan dan praktik di desa masing-masing. Materi pelatihan, lanjut Cak Rudd, seputar dasar-dasar pertanian organik dan kiat ramah lingkungan. Setelah pelatihan di Malang, rombongannya mengadakan Pelatihan Petani Muda di “pesantren” Padhangmbulan. Bertempat di Sentono Arum pada 22-24 Juni 2012. Berangsur selama dua tahun setelahnya para alumnus pelatihan diundang lagi. Kota setelah Malang adalah Magelang. “Lalu kembali ke Malang lagi,” ucapnya.
Cak Rudd banyak mencecap asam garam. Pasalnya, ia sering pindah dari kota ke kota, pengalaman demi pengalaman. Pernah belajar kepada Cak Rohmat, penggiat Bangbang Wetan, selama setahun perihal percetakan. Lalu membuka percetakan sendiri di rumahnya. Sebelum itu melalangbuana ke Tuban, Bojonegoro (1996-1998), Surabaya (1998-2003), Tuban (2003-2007), Gresik (2007-2009), Surabaya (2009-2011), dan kembali ke Blora sampai sekarang.
Menggagas Sekolah Sawah
Blora tempat kelahiran dan berteduh Cak Rudd kini selalu di hati. Bersama sekitar 11 penggiat Simpul Maiyah Lumbung Bailorah Cak Rudd rutin perbulan menggelar sinau bareng. Bisanya tiap tanggal 6 melingkar mewedar topik-topik relevan yang sebelumnya tersepakati. Menuju tanggal 6 bulan berikutnya Lumbung Bailorah rajin mengadakan wirid-wirid Maiyah. “Tapi Mei kemarin ini pertemuannya tanggal 18. Dari April jadwalnya berubah-ubah karena kondisi Corona,” ujarnya.
Rumah Cak Rudd menjadi tempat melingkar simpul. Sebelum itu pernah di halaman Gedung Sasana Bhakti, sekitar timur laut dari Alun-alun Blora. Oleh karena di lokasi itu sedang renovasi, banyak seng-seng menjejali halaman, maka Lumbung Bailorah pindah ke warung kopi milik salah satu penggiat. Sekitar tiga sampai empat kali di sana, namun karena kontrak tempatnya habis, pindahlah ke rumah Cak Rudd.
Cak Rudd bersama dua orang penggiat — Mas Agus dan Mas Hartono — sedang menggagas Sekolah Sawah di Blora. Cetak biru perencanaan sudah matang. Ia membayangkan kelak anak-anak muda di dusunnya melek jagat persawahan. Ide tersebut mengisi kekosongan sekaligus merespons zaman: manakala generasi kiwari makin jauh dari desa, maka Sekolah Sawah diharapkan menjadi jawaban. Nanti tempat belajar itu digadang menjadi pusat pelatihan terpadu.

“Bisa jadi destinasi wisata juga. Tapi itu untuk sampingan,” terang Cak Rudd. Ia menjelaskan kalau tempat belajarnya sudah ada, namun masih menunggu panen padi. Usai masa panen dapat dimulai. Kebetulan salah seorang penggiat juga punya ruang baca. Di situ kelak akan dijadikan lokasi belajar, bermain, maupun berlatih.
Bertani Itu Merdesa
Bertani menjadi bagian tak terpisahkan dari desa. “Ungkapan nenekku seorang pelaut” yang klise terdengar di larik nyanyian seharusnya juga dibarengi “leluhurku seorang petani”. Ucapan itu menguak kondisi geografis dan sosiologis kawasan Nusantara yang selain maritim juga agraris. Ketambah pula “tongkat dan batu jadi tanaman” seperti sebaris lirik berjudul Kolam Susu karya Koes Plus bukan sekadar mitos. Ia benar apa adanya. Ia bisa dibuktikan sedemikan rupa.
Cak Rudd mengisahkan para leluhur dulu sewaktu bertani penuh strategi. Sepetak lahan, misalnya, tak serta-merta ditumbuhi padi. Sekian meter diberi jeda buat ditanami sayuran. Selain sisi efektivitas lahan, strategi ini memberi dampak keseimbangan. “Pengetahuan semacam ini mungkin sekarang tidak begitu populer atau diketahui banyak orang. Padahal contoh dari orang zaman dahulu tersebut sangat bermanfaat,” ucapnya.
Pola penanaman itu ditiru Cak Rudd. Ambil contoh lahan seluas empat meter persegi. Permeter ditanami satu jenis sayuran. Sudah barang tentu sebelum itu lahan tersebut dibagi empat bagian. Tiap bagian ditanami jenis sayuran dengan selisih waktu tanam satu minggu. Menanam bayam, kangkung, sawi, maupun selada akan lancar jaya. Metode ini memungkinkan diterapkan pada jenis tanaman jangka pendek dan menengah.
Bila pola ini dilakukan secara disiplin, menu makanan tiap hari bisa variatif. Senin bayam, selasa sawi, rabu kangkung, kamis selada, jumat buncis, sabtu kacang panjang, minggu jagung manis. Seraya memanen variasi makanan, aneka minuman kesehatan perhari juga mungkin dilakukan. Tergantung bagaimana penanam membagi dan menyiasati strategi.
“Untuk lebih memaksimalkan lahan bisa kita aplikasikan sistem tanam vertikultur dengan kombinasi akuaponik,” imbuh Cak Rudd. Media tanam jelas pakai tanah dan kompos. Agar tanaman sehat dibutuhkan nutrisi. Tak perlu membeli tapi bisa buat sendiri. Ia menyarankan pakai air bekas cucian beras (leri) dan sampah dapur yang difermentasikan. “Yang penting jangan terlalu banyak disiram. Harus sesuai takaran dan terjadwal.”
Kalau akar tanaman membusuk, menurut Cak Rudd, dapat ditanggulangi dengan mengocor H2O2 atau Hidrogen Peroksida. Banyak didapat di toko pertanian. Takarannya sebanyak tiga persen dari air yang digunakan. “Atau dikocor dengan Trichoderma, sp. dan Coryne Bacterium. Trichoderma untuk menanggulangi jika penyakit itu diakibatkan jamur patogen, sedangkan Coryne jika diakibatkan bakteri patogen. Tapi sayangnya di toko pertanian tidak ada. Harus bikin sendiri atau beli di laboratorium pertanian yang tidak semua dinas pertanian kabupaten punya,” tambahnya.
Cara membuat Isolat Trichoderma, sp. cukup mudah. Setidaknya menggunakan tiga bahan dasar. Pertama, nasi basi sesuai kebutuhan. Kedua, bambu tiga ruas yang baru ditebang. Ketiga, tali atau karet untuk pengikat. “Agar trichoderma yang kita buat tidak cepat habis, maka satu kepal trichoderma padat yang dicampur dengan air sebanyak sepuluh liter itu jangan langsung dipakai. Tetapi dijadikan sebagai biakan trichoderma cair dulu,” pesan Cak Rudd.

Sambil bertanam, Cak Rudd juga budidaya ikan. Kolam berbentuk silinder milknya itu berdiameter dan setinggi satu meter. Tiap kolam bisa diisi maksimal 2000 ekor ikan lele. Namun, selama ini ia hanya mengisi 1500 ekor perkolam. Saat memanen ia bisa mendapatkan satu kuintal perkolam. “Tapi sekarang kolamnya kosong. Rencananya mau isi lagi tapi mungkin bukan lele. Pengennya ikan kutuk (gabus). Tapi sayangnya di Blora belum ada yang jual benihnya,” katanya.
Ikut Pementasan Lautan Jilbab
Pada masa mudanya Cak Rudd pernah ikut pementasan kolosal Lautan Jilbab selama dua hari, tanggal 12-13 Agustus 1991 di Go Skate Surabaya. Tahun itulah ia pertama kali berinteraksi langsung dengan Cak Nun. Tapi berjumpa dengan pemikirannya sejak beberapa tahun sebelumnya melalui tulisan maupun mengikuti seminar akademik. “Tulisan beliau yang membuat saya berkesan itu berjudul Sufi Sufi Itu. Dimuat di sebuah majalah waktu itu. Berkesannya karena sangat aneh,” kelakarnya.
Sejak 1989 sebetulnya Cak Rudd sudah di Surabaya. Di kota ini ia tinggal sampai tahun 1996. Pernah menjejaki dua jurusan (Administrasi Negara dan Bahasa & Sastra Indonesia) di sebuah kampus ternama. Seiring dengan proses perkuliahan, Jurusan Administrasi Negara akhirnya ia selesaikan. Tapi tidak bagi jurusan satunya karena bertahan sampai semester V. “Ceritanya dulu sambil kerja kuliah dobel. Karena waktunya crash akhirnya salah satu harus saya tinggalkan,” ucapnya.
Koran Jawa Pos edisi Selasa Pahing, 23 Juli 1991 mencatat drama kolosal tersebut digelar Universitas Muhammadiyah Surabaya yang bekerja sama dengan Yayasan Ababil Yogyakarta. Melibatkan mahasiswa setempat, siswa perguruan Islam se-Surabaya, Kelompok Titian, serta Gito Rollies. Pentas ini melibatkan sekitar 70 orang—40 dari Surabaya dan 30 dari Yogyakarta.
“Pementasan di Surabaya kali ini digarap oleh empat sutradara, Jujuk Prabowo, Gutheng M.S., Fauzi, dan Whani Darmawan. Yang bertindak sebagai proyek officer adalah Jujuk Prabowo… ,” catat Jawa Pos. Pada masanya Lautan Jilbab sukses digelar di beberapa pagelaran. Sebelumnya di Ponpes Gontor dan Ponorogo. Jauh sebelum itu naskah tersebut pernah dipentaskan Sanggar Shalahuddin pada 1979.
Cak Rudd berkesan betul saat itu. Selain persinggungan perdananya dengan Cak Nun, ia terlibat aktif sebagai salah satu aktor. Tiga tahun setelah itu (1994/1995) ia sempat mampir ke Padangmbulan.
Cak Rudd betapa pun adalah saksi sejarah embrio Maiyah.