CakNun.com

Sregep dan Niteni, Dua Kata “Ajaib” dalam Sinau Bareng

Achmad Saifullah Syahid
Dibaca 3 mnt

Sekali waktu, sambil ngopi, mari kita berbincang santai sambil menemukan apa bahasa Indonesia kata “sregep”. Bukan untuk menunjukkan bahasa Jawa lebih tua dari bahasa nasional. Bukan pula untuk kepentingan ego Jawa sentris.

Dalam laku sregep terkandung muatan sikap rajin, istiqamah, rutin, pantang menyerah, ajeg.

Ada kata lain dalam bahasa Jawa, misalnya “niteni”. Ini kata, bahasa Indonesianya apa? Kalau memang tidak ada, tidak perlu dipaksa atau diada-adakan.

Sregep dan niteni, dua kata ini terngiang di telinga pikiran saya. Terutama sejak selesai mengikuti Workshop Sinau Bareng Redaksi Caknun.com beberapa waktu lalu.

“Kunci menulis adalah Anda harus sregep menulis,” ungkap Mbah Nun. Kata “sregep” kembali dituturkan Mbah Nun pada pengajian Padhangmbulan, Kamis (9/1/2020). “Belajar adalah proses menemukan jawaban atas sejumlah pertanyaan. Untuk itu, Anda harus sregep membuat pertanyaan.”

Adapun kata “niteni” pernah disampaikan Mbah Nun beberapa puluh tahun lalu. Waktu itu Beliau mengisi seminar di Universitas Brawijaya tahun 95-an. Pesan Mbah Nun, kita bisa membaca apa kemauan Tuhan dengan cara niteni laku hidup kita.

Apa itu niteni? Kalau dicarikan padanan dalam bahasa Indonesia, kira-kira sama dengan mengingat, meneliti, mewaspadai, mencatat, merangkum, menghubungkan antar momentum. Dalam laku niteni terkandung setiap kata tersebut.

Manusia Jawa memiliki kesadaran: waskita jalaran saka niteni. Ini perspektif yang tak kalah menarik untuk di-SinauBareng-i.

Sregep dan niteni menjadi kunci proses belajar. Katakanlah kita tengah belajar menulis. Sregep menulis adalah sregep membuat sejumlah pertanyaan, sambil terus menerus niteni gejala, fenomena, peristiwa, momentum yang dipandu oleh 5W+1H. Pak Budi Sardjono menambahkan 2I, yakni intuisi dan imajinasi.

5W+1H+2I sesungguhnya semacam “tools” yang dipakai untuk membedah fakta dan realitas. Namun, “perkakas bahasa” itu akan tergeletak, tidak berfungsi, manakala rasa ingin tahu tenggelam dalam kemapanan.

Kata anak zaman sekarang rasa ingin tahu itu namanya “kepo”. Daripada ngepoin aib orang lain, dan hanya menghasilkan rasan-rasan, tajassus, ghibah — mengapa kita tidak ngepoin fenomena, gejala sosial, fakta, dan realitas di sekitar kita?

Karena menulis adalah juga proses berpikir dan belajar, maka kemampuan bertanya menjadi “fardlu ain”. Al-Qur’an membahasakannya sebagai afalaa ta’qilun, afalaa tatafakkaruun, afalaa tatadabbaruun. Atau afalaa yandhuruuna ilal ibili kaifa khuliqat (Q.S.: Al-Ghaasyiyah 17).

What yang ditangkap pancaindra awalnya adalah pengetahuan yang kasat mata. Aktivitas berpikir — yang menggunakan tools kata tanya, yang digerakkan rasa ingin tahu, yang diistiqamahi oleh prigel bergaul dengan pertanyaan — adalah upaya menyingkap what di balik what di balik what di balik what. Begitu seterusnya.

Kita tidak sekadar tahu di hadapan kita adalah garam. What tentang garam bisa dilacak, diteliti, ditelusuri, didalami, misalnya dengan merasakan asinnya garam. Bukan hanya itu. Perangkat 5W+1H+2I — yang setiap unsurnya saling berhubungan, yang delapan unsur pertanyaan berada dalam satu sistem lingkaran — bisa digunakan untuk membedah setiap unsur pertanyaan.

Ringkasnya, kita menggunakan why, when, who, where, how, serta mengaktivasi intuisi dan imajinasi untuk menyingkap dan mendalami what.

Mbah Nun menyimulasikan hal itu cukup gamblang di Pengajian Padhangmbulan bertema pendidikan beberapa waktu lalu.

Begitu pentingkah menyibak lapisan-lapisan hijab yang menyelimuti what? Apa what yang sesungguhnya ingin ditemukan? Adalah terminologi khas Maiyah yang memandu langkah berpikir dan ijtihad kita. Terminologi itu dimulai dari Hakikat-Syariat-Tarekat-Ma’rifat.

Hakikat adalah what-nya what yang berada di balik what. Ia adalah inti, akar, atau bahkan roh segala sesuatu. Bias saat membaca kedalaman hakikat, bisa menyebabkan “dis-akurasi” syariat, tarekat, dan ma’rifat.

Pada konteks ini waspada terhadap denotasi dan konotasi kata, selalu melakukan muroja’ah dan muhasabah menemukan pijakan urgensinya.

Mbah Nun kerap memberi contoh simulasi sederhana. Misalnya, memastikan bahwa yang di depan kita adalah benar-benar nasi. Kesimpulan bahwa ini memang nasi, prosesnya tidak sesederhana yang kita sangka. Sejumlah pertanyaan, meski berjalan “otomatis”, tetap perlu diajukan untuk memastikan “ini” memang nasi.

Demikianlah, proses berpikir dan bertanya berlangsung setiap saat. Sedangkan menulis adalah salah satu tarekat yang disyariati oleh aturan-aturan baku untuk menemukan ma’rifat yang mengantarkan kita menuju hakikat berikutnya.

Proses dari hakikat menuju ma’rifat berlangsung melingkar-lingkar, terus-menerus, melewati syariat dan tarekat.

Sinau Bareng memang menyatukan kembali garis linier dari dua titik garis linier menjadi satu titik temu yang melingkar.

Lainnya

Topik