Secuplik Cerita Pejalan Sunyi
Pagi ini, saya membuka linimasa Twitter. Sebuah cuitan dari Pak Budi Maryono melintas. Pak Budi Maryono ini adalah salah satu orang yang dituakan di Gambang Syafaat Semarang. Dalam cuitannya di akun @bmsakerah, Pak Budi menceritakan pertemuan dengan Mbah Nun pada suatu siang di tahun 80’an, di Kampus UNDIP Fakultas Sastra.
Memang, selalu ada cerita yang muncul pada saat momen 27 Mei. Ada banyak orang yang mungkin baru ingat momen perjumpaan dengan Mbah Nun pada masa lalu, yang kemudian baru teringat ketika banyak orang sedang membicarakan Mbah Nun, seperti 27 Mei 2020 kemarin.
Saat itu, Mbah Nun yang tentu saja masih muda, dihampiri oleh Pak Budi. “Ape nang endi, Cak?”, Pak Budi menyapa. “Ape ngoyo (kencing). Kamar mandi paling cedhek endi yo?”, Mbah Nun membalas. Pak Budi yang saat itu masih menjadi mahasiswa di UNDIP, dan agak preman karena mahasiswa senior — saking seniornya karena sudah melewati batas masa kuliah — menyimpan kunci duplikat kamar mandi dosen Fakultas Sastra UNDIP. Sudah pasti, kamar mandi milik Dosen lebih bersih dari yang digunakan mahasiswa.
Dalam cuitan itu Pak Budi menceritakan bahwa saat itu Mbah Nun datang ke UNDIP karena diundang menjadi pembicara sebuah seminar. Lucunya, ketika Mbah Nun sampai di Gedung pertemuan tempat seminar akan dihelat, Mbah Nun diberitahu oleh salah seorang panitia bahwa acaranya belum dimulai karena pembicara utama belum datang. Mbah Nun kemudian bertanya kepada panitia siapa pembicara utama seminar tersebut, kemudian dijawab: Emha Ainun Nadjib. “Ya sudah Mbak, saya jalan-jalan dulu. Kesini lagi nanti kalau Emha sudah datang”.
Singkat cerita, Mbah Nun kemudian bersama Pak Budi Maryono dan teman-temannya sarapan Mie Ayam di sebuah warung sebelum mengisi seminar tersebut.
Jangan dibayangkan seperti sekarang, Mbah Nun jika akan mengisi acara di suatu tempat pasti didampingi oleh Mas Alay atau Mas Gandhie, sehingga tidak mungkin ada peristiwa lucu seperti yang diceritakan Pak Budi Maryono, apalagi sampai Mbah Nun kaliren. Seperti diceritakan seorang Netizen kemarin, suatu hari Mbah Nun diundang untuk mengisi seminar di sebuah Kampus di Malang, setelah diantar ke Hotel tempat menginap untuk istirahat, beberapa saat kemudian Mbah Nun menghilang dari Hotel. Ternyata, Mbah Nun pergi keluar Hotel untuk membeli makan. Lhadalah, Mbah Nun kaliren, panitia sampai kelupaan tidak menyiapkan makan Mbah Nun di Hotel.
Alhamdulillah, sekarang Mbah Nun kalau ada undangan mengisi acara di suatu tempat ada Mas Alay atau Mas Gandhie yang mendampingi, jadi sudah tidak ada lagi cerita Mbah Nun kaliren karena panitia tidak sigap dalam menyambut kedatangan Mbah Nun.
Lain hari, Mbah Nun pernah bercerita, ketika suatu hari di Bandung, saat baru sampai lokasi acara seminar, yang ditanyakan oleh panitia adalah; “Sudah sholat belum, Cak?”. Lho, habis perjalanan jauh, yang disodorkan kok pertanyaan tentang sudah sholat atau belum, ini pertanyaan yang sedikit menuduh dan mencurigai bahwa selama perjalanan tidak sempat mampir ke Masjid untuk sholat. Dan juga, menjadi sapaan yang tidak membuat akrab. Kan lebih enak jika pertanyaan awalnya adalah; “Sudah makan siang belum, Cak?”, atau “Kita ngopi dulu, Cak, di selasar sebelah sana, sambil ngobrol-ngobrol”. Kan lebih enak.
Terkesan remeh, tetapi justru hal-hal seperti ini yang membuat kita akrab satu sama lain. Bukankah kalau di rumah kita kedatangan tamu, maka biasanya yang ditanyakan adalah: kopi atau teh?, untuk menanyakan minuman apa yang ingin disajikan.
Cerita lucu tentang panitia yang tidak mengenal siapa sosok Mbah Nun itu beberapa kali terjadi. Mbah Nun pernah bercerita ketika di Jerman, dalam acara yang juga Mbah Nun sendiri mengisi acara, ketika hendak mengisi buku tamu dikira Sam Bimbo. Kemudian, suatu kali ketika di Jakarta, setelah pulang dari studio rekaman album “Perahu Retak” kalau tidak salah, Mbah Nun dikira Caca Handika oleh seorang supir taksi. Kemudian, lain waktu, ketika bersama Bu Via, dalam sebuah pesawat ada salah satu penumpang pesawat yang mengira Mbah Nun adalah Mus Mulyadi. Karena sosok gondrongnya mungkin memang mirip dengan nama-nama yang disebut diatas. Ada-ada saja.
Ada juga kisah yang ngeri-ngeri sedap. Seperti yang diceritakan oleh akun @emil_sl. Kemarin, saat tagar #67TahunCakNun sedang trending, Mas Emil menceritakan kisah pada Desember 1997 menggelar konser Tombo Ati di Jember dan Surabaya. Pengalaman yang sangat berkesan baginya, penonton yang datang duduk ndlosor di lantai, dari awal sampai akhir acara.
Yang membuat ndredeg Mas Emil saat itu adalah Mbah Nun sangat tajam mengkritik Rezim Orde Baru. Tidak tanggung-tanggung dan tanpa tedeng aling-aling. Untuk teman-teman yang dulu merasakan bagaimana Orde Baru berkuasa, pasti sangat paham betapa rezim tersebut sangat antikritik. Siapa saja yang berani mengkritik penguasa, penjara adalah ancaman yang nyata. Masih mending kalau hanya dipenjara, ada yang diculik dan disiksa, bahkan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya.
Maka, meski Mbah Nun hanya ngomong; “Iki engkok, wis ndang ganti ta gurung yo...??” (ini nanti akan segera diganti belum ya?), merujuk pada kemungkinan apakah Pak Harto akan segera dilengserkan atau tidak, mengingat saat-saat itu tekanan kepada Pak Harto untuk segera mundur semakin kuat. Namun demikian, butuh nyali yang besar untuk menguncapkan kalimat seperti yang diucapkan oleh Mbah Nun itu, apalagi di sebuah panggung di hadapan banyak orang.
Tapi kemudian Mbah Nun menyampaikan kalimat yang lebih adem; “Mangkane, ayo bareng-bareng ndunga’aken Presiden Seoharto. Lhak sae toh ndunga’aken Presiden! Mugi-mugi purun taubatan nasuha. Mugi-mugi purun njaluk sepuro kalian Gusi Allah. Mugi-mugi ndhuwe roso salah karo wong cilik!”. Kalau diterjemahkan, kira-kira begini: Makanya, ayo berdoa untuk Presiden Soeharto. Kan baik mendoakan Presiden. Semoga mau taubat nasuha. Semoga mau minta ampun kepada Allah. Semoga punya rasa bersalah kepada orang kecil.
Kalimatnya adem, tapi bagi panitia pelaksana event, ya bikin ketar-ketir juga. Apalagi selama acara, Mas Emil selaku EO dikerubungi aparat yang menjaganya agar tidak kabur dari lokasi acara. “Saya mules, wedi kebablasan,” kenangnya.
Begitu tajam kritik Mbah Nun kepada Presiden Soeharto pada masa-masa itu. Sangat tajam, dan sempat dicekal di beberapa kota. Bahkan, puisi-puisi yang akan dibaca Mbah Nun, biasanya di-screening dulu oleh aparat, dan akan ada coretan-coretan pada naskah puisi itu untuk menandakan mana kata-kata yang boleh dibaca dan mana yang tidak boleh dibaca.
Yang juga lebih ngeri, cerita ketika Mbah Nun menunjuk muka Bambang Trihatmojo (Putra Soeharto) di Aula Gontor dengan telunjuk tangan kiri. Peristiwa yang juga cukup mengkhawatirkan bagi sebagian orang, sampai-sampai produser stasiun televisi yang meliput acara tersebut konon kabarnya dicopot dari jabatannya saat itu. Selang beberapa hari kemudian, istri Bambang sendiri yang menghubungi Mbah Nun untuk membujuk Bambang agar mau keluar dari kamarnya. Karena pasca peristiwa di Gontor itu, Bambang memilih menyendiri di kamarnya.
Tapi, Mbah Nun tidak pernah sekalipun ditangkap oleh aparat saat itu. Paling pol adalah dicekal, itu pun kemungkinan hanya karena kekhawatiran aparat setempat saja, bukan atas instruksi dari penguasa. Buktinya, justru ketika lengser, Mbah Nun adalah salah satu orang yang diminta oleh Pak Harto untuk menemaninya. Bukan hanya saat akan lengser, bahkan setelah lengser pun, Mbah Nun beberapa kali diminta Pak Harto untuk datang ke Cendana. Hal ini yang sering disalahpahami oleh beberapa orang, yang kemudian Mbah Nun dicap sebagai antek Cendana, bahkan pernah juga difitnah menerima aliran dana dari Pak Harto.
Entah bagaimana mainstream berpikir masyarakat kita saat ini yang sangat mudah menyimpulkan sesuatu tanpa pendalaman analisis yang tepat. Misalnya saja, ketika foto Mbah Nun dengan beberapa orang tertentu beredar di media sosial, kemudian Mbah Nun terseret diberi label sebagai bagian dari kelompok tertentu. Padahal, ada juga foto lain yang juga Mbah Nun bersama tokoh-tokoh nasional Indonesia ketika mereka sowan kepada Mbah Nun di Kadipiro. Toh pada akhirnya, foto-foto itu juga diabaikan.
Mengenai kritik Mbah Nun kepada penguasa, agaknya para pendukung rezim penguasa saat ini tidak pernah, atau bahkan tidak mau mencari informasi bagaimana sepak terjang Mbah Nun sebelum rezim penguasa saat ini berkuasa. Mbah Nun sendiri, sejak era 70’an bahkan sudah berani melontarkan kritik tajam dan keras kepada penguasa, jika dibandingkan dengan saat ini.
Ketika Mbah Nun menyampaikan kritik, banyak dari mereka yang tidak menerima kritik dari Mbah Nun, dan cenderung kemudian mem-bully Mbah Nun di media sosial. Sementara Mbah Nun sendiri tidak memiliki satu pun akun media sosial hingga hari ini. Aneh tentu saja, mereka hanya berani beradu argumen di media sosial, sementara Mbah Nun memiliki forum-forum rutin Maiyahan di berbagai tempat. Bukankah lebih gentle jika kemudian mereka mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan Mbah Nun secara langsung?
Tapi, mungkin itu tadi, seperti cerita Pak Budi Maryono, ketika akan mengisi seminar di UNDIP, panitia juga tidak mengenal siapa itu Emha Ainun Nadjib. Mungkin juga, mereka yang tidak setuju dengan kritik Mbah Nun atau yang mereka banyak mengenalnya sebagai Cak Nun mungkin juga tidak mengenal siapa Emha Ainun Nadjib.
Barangkali, ini juga yang menjadi penguat istilah “Jalan Sunyi”. Mbah Nun benar-benar menapaki jalan yang sunyi, yang sudut pandang mainstream tidak mampu melihat sosok Mbah Nun, yang mungkin juga memang dengan sengaja mereka mengabaikan sosok Emha Ainun Nadjib dalam kancah nasional hari ini.
Mungkin memang disinilah garis jalan Maiyah dan Mbah Nun sendiri. Maka Mbah Nun pun menulis tulisan ketika Idul Fitri kemarin; Kenapa Maiyah Tidak Viral. Maka, tidak salah jika Mbah Nun mengutip salah satu pesan Rasulullah Saw; Fathuba lilghuraba`. Jika pada 2017 lalu Mbah Nun sangat gamblang menyampaikan pesan untuk Menjauhlah Dari Maiyah, agaknya kali ini Mbah Nun tidak tega jika kembali mengungkapkan pesan itu lagi, maka Mbah Nun kemudian menyampaikan ucapan selamat Idul Fitri kepada kita dengan ungkapan; Selamat melakoni Jalan Sunyi.
Matur suwun, Mbah Nun.
Sanah helwah, Mbah Nun.