Pastikan Syaikh Nursamad Kamba Tidak Benar-Benar Meninggalkan Kita
Malam ini (30/7), keluarga, sanak famili, kerabat dan handai taulan Allahu Yarham Syaikh Nursamad Kamba berkumpul di kediaman Mbak Fatin di Kampung Dukuh, Kramat Jati, Jakarta dalam acara Yasinan dan Tahlilan 40 Hari Syaikh Nursamad Kamba yang diselenggarakan secara terbatas dan internal, wabil khusus Mbah Nun bersama Bu Via hadir malam ini bersama teman-teman penggiat Kenduri Cinta.
Setelah diawali dengan Takbiran karena malam ini adalah malam Hari Raya Idul Adha, kemudian dilanjut dengan Yasinan dan Tahlilan, Irfan, putra pertama Syaikh Nursamad Kamba menceritakan bahwa pada akhirnya Ia benar-benar mengalami kehilangan yang sangat berat dengan meninggalnya Ayahandanya. Tapi Irfan tidak berlarut dalam kesedihan, justru kemudian melihat beberapa pertanda yang dialami menjelang meninggalnya Syaikh Kamba. Seperti misalnya kenapa Syaikh Kamba telah menentukan tanggal 31 Oktober 2020 nanti sebagai hari pernikahan adiknya, Hanan. Setelah dihitung, ternyata tanggal 31 Oktober 2020 adalah hari pertama bagi Mbak Fatin setelah menjalani masa iddahnya.
Walaa tahsabanna-l-ladziina qutiluu fii sabiilillahi amwaataa bal ahyâ un ‘inda rabbihin yurzaquun. QS Ali Imron 169. Sebuah ayat yang dinukil Mbah Nun sebagai landasan untuk menegaskan bahwa secara hakiki Syaikh Nursamad Kamba tidak benar-benar pergi meninggalkan kita semua. Mbah Nun menjelaskan bahwa beginilah manusia sejatinya, harus mampu melakukan switching, karena sebenarnya hidup dan mati hanya soal dimensi kehidupan.
“Teman-teman Maiyah harus segera memastikan bahwa Syaikh Kamba itu tidak meninggal”, Mbah Nun kembali menegaskan dan bahwa untuk memastikan hal itu adalah dengan menggali lebih dalam lagi khasanah ilmu yang sudah ditinggalkan oleh Syaikh Nursamad Kamba. Tentu saja, secara fisik kita sudah tidak akan bertemu lagi dengan Syaikh Nursamad Kamba, tetapi secara ruhani masih sangat memungkinkan kita masih bisa bersentuhan dengan Syaikh Nursamad Kamba. Karena begitu banyak ilmu yang sudah ditinggalkan beliau untuk menjadi bekal bagi kita.
Mendengar cerita Irfan mengenai saat-saat terakhir bersama Ayahandanya, Mbah Nun menyampaikan bahwa momen kebersamaan itu adalah rezeki yang luar biasa dan harus disyukuri. Mbah Nun menceritakan bahwa ketika dahulu Ayah beliau meninggal dunia, Mbah Nun terakhir kali bertatap muka dengan mendiang Ayahanda pada 3 bulan sebelum meninggal.
“Yang terberat adalah ketika kita kehilangan orang tua kita.” Mbak Fatin memaklumi bagaimana Irfan begitu sedih mengalami kehilangan sang ayah. Apa yang dirasakan Irfan sebelumnya dirasakan oleh Mbak Fatin. Seminggu sebelum Syaikh Nursamad Kamba wafat, Ibunda Mbak Fatin wafat.
Membandingkan mana yang indah, mana yang mulia, mana yang benar, mana yang baik dalam sebuah momentum tidak bisa dirumuskan. Mas Sudjiwo Tedjo yang juga malam ini hadir di kediaman Mbak Fatin berkisah bahwa ketika Ayahnya meninggal, ia harus mendalang di Jakarta. Betapa kalut hatinya, mendalang adalah wasiat ayahnya sementara pada saat bersamaan ia harus mendalang. Mas Tedjo bertanya kepada Mbah Nun, mana yang lebih mulia? Dirinya atau Irfan?
Mbah Nun menjelaskan bahwa gradasi hidup tidak bisa dirumuskan, karena masing-masing individu mengambil keputusan atas dasar kebijaksanaannya. Tidak bisa disalahkan atau juga tidak bisa dibenarkan, karena pertimbangannya tentu berbeda pada setiap pengambilan keputusan.
Salah satu wasiat Syaikh Nursamad Kamba, seperti diungkapkan Mbak Fatin adalah berharap bahwa rumahnya dijadikan Rumah Tasawuf, yang terbuka bagi siapapun saja yang ingin belajar Tasawuf. Mbah Nun menyampaikan bahwa wasiat Syaikh Nursamad Kamba itu bisa ditindaklanjuti oleh teman-teman Kenduri Cinta serta Jamaah Maiyah, dan juga teman-teman dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung terutama mereka yang merupakan lulusan Jurusan Tasawuf Psikoterapi untuk mewujudkan wasiat Syaikh Nursamad Kamba tersebut.