Pandawayudha
Pemerintah Indonesia dengan TNI dan Polrinya maupun Muhammad Rizieq Syihab dengan FPInya sudah memperoleh bukan hanya izin, tapi bahkan perintah dari Allah untuk berperang.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ جَـٰهِدِ ٱلْكُفَّارَ وَٱلْمُنَـٰفِقِينَ وَٱغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
“Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka”.
Kafir dan munafik itu yang mana? Kafir dan munafik menurut siapa? Kita masing-masing menuding yang bukan kita itulah yang kafir dan munafik. Kita sudah sampai pada suatu situasi dan pemetaan politik kebangsaan di mana kita saling mengkafirkan dan memunafikkan, bisa dengan bahasa yang berbeda-beda.
Bagi Pemerintah, MRS atau HRS adalah pengingkar (kafir) hukum Negara, tokoh palsu yang mengaku Imam Besar Kaum Muslimin Indonesia, kata-katanya keras dan kasar, melecehkan Pemerintahan yang sah, menghina dan menista TNI dan Polri, provokator perpecahan NKRI, tukang hasut dan merendahkan pemimpin tertinggi Negara sampai menyebutnya Jokodok.
Demikian juga bagi HRS Pemerintah adalah penista nilai-nilai Islam, sehingga mereka mendirikan Front Pembela Islam. Penguasa penindas rakyat, penuh korupsi dan manipulasi, bergelimang kebohongan dan kedhaliman.
Kedua belah pihak sudah memiliki pola pikir dan dasar argumentasinya masing-masing untuk berbenturan satu sama lain, dengan landasan nilai yang masing-masing sangat meyakininya. Kedua belah pihak juga sudah memiliki semua yang diperlukan untuk maju perang: motivasi, mental, emosi, siasat, dorongan batin, strategi dan taktik, juga persenjataan.
Kepada siapa saja yang merasa ditindas atau dianiaya oleh kekuatan kafir dan munafik, Allah memerintahkan “jahidul kuffar walmunafiqun”. Masing-masing merasa benar dan baik, sehingga wajib memerangi yang ingkar dan hipokrit.
Masing-masing sudah pasang kuda-kuda “Sapa Sira Sapa Ingsun”. Emang siapa kamu kok mau dialog sama saya? “Kamu pelanggar hukum!”. “Kamu penindas rakyat”. “Kamu menghina tentara dan Polisi”. “Kamu menista Islam”. “Kamu Habib porno”. “Kamu pencuri harta rakyat”. “Kamu penghasut”. “Kamu teroris teriak teroris”. “Kata-katamu menyakiti banyak pihak, bahkan sesama Ummat Islam sendiri”. “Tindakan-tindakanmu menghancurkan masa depan rakyat”. Itulah “Sapa Sira Sapa Ingsun”. Sudah sama-sama berwatak takfiri: Makar! Sesat! Kafir! PKI! Subversif! Sudah terpojok oleh ammarah bis-su`i, sudah mangkel dan dendam hati ini, sudah mentog, nggak ada dialog-dialog. Pertèngsèng taèk lintung ta dialog-dialog barang.
Ini bukan soal Persatuan dan Kesatuan. Kita ini tidak inklusif. Masing-masing kelompok kepentingan di antara kita ini skeklusif. Ini bukan nasionalisme. Ini bukan kebersamaan dan keutuhan untuk masa depan. Ini bukan kemashlahatan seluruh rakyat. Ini masalah sakit hati dan penyerangan. Ini soal dendam dan pembalasan. Kita bukan Malaikat, kita manusia biasa. Takdir utama makhluk manusia adalah potensi hasad, makanya Allah nyuruh manusia berlindung “wa min syarri hasidin idza hasad”. Apalagi “Al-insanu mahallul khaththa` wan-nisyan”. Manusia itu tidak normal kalau tak bermuatan kesalahan dan kelalaian.
Dulu Perjanjian Hudaibiyah yang diakomodasi oleh Rasulullah Muhammad dengan mewakilkannya kepada sahabat Utsman bin Affan, serta sejumlah dialog dan perjanjian-perjanjian antara kelompok yang bermusuhan: tak akan terjadi kalau sikap ultra-subyektif “Sapa Sira Sapa Ingsun” diizinkan oleh prinsip nilai di semua ruang dan waktu. Bahkan Negeri Madinah sangat Pencasialis, yang dibangun dengan “musyawarah menuju mufakat” sampai menghasilkan 47 pasal Ats-Tsaqafah Al-Madaniyah. Karena Kanjeng Nabi Muhammad tidak berpikir “Emang siapa itu Kafir-kafir di pinggiran kota Mekah kok mau dialog dengan saya? Kalau mau brèng, ayo!”
Bahkan muatan Perjanjian Hudaibiyah ditentang dan dicurigai sebagai sangat merugikan Kaum Muslimin oleh mereka yang tidak memahami akar masalah, yang berpikir pendek, linier dan hitam putih. Yang tidak mengerti kondisi tanah dan akar pohon, karena perhatian dan pamrihnya hanya kepada buahnya. Oleh mereka yang tidak mengerti dialektika, sebab-akibat dan komprehensi ruang maupun waktu. Yang menganggap daun ya daun, buah ya buah, kembang ya kembang. Yang beranggapan bahwa bau kentut adalah bau kentut, tak ada hubungannya dengan makan simbukan atau peté.
Kita tunggu Perang Pandawayudha. Bahkan sebenarnya sudah mulai episode-1 dengan korban 6 prajurit di salah satu Pandawa. Ini bukan Bharatayudha, di mana yang bertempur adalah Kurawa dilawan dan melawan Pandawa. Di negeri ini, semua merasa Pandawa. Tak usah diperhitungkan siapa saja dan berapa jumlahnya yang berdiri di belakang pasukan Pandawa-1 maupun Pandawa-2. Tak perlu disimulasi Pandawayudha ini akan memanjang dan meluas sampai ke mana dan seberapa. Pokoknya lampiaskan saja. Kita sudah membangun sistem dan atmosfer ammarah bis-su`i bersama-sama. Terakhir, ada satu hal yang saya dilarang mengemukakannya ketika menulis ini.
9 Desember 2020
Yogya, Mbah Nun