Ngemis-Ngemis Tiada Tara
Waktu bangun tidur tadi pagi saya tertekan oleh penyesalan kenapa pada streaming Mocopat Syafaat (Maiyahan 17-an) semalam tidak ada pembicaraan atau uraian dari Yoyok ahlu kesehatan KiaiKanjeng. Mestinya ketika moderator Helmi Mustofa mempersilakan saya urun pendapat, saya minta dulu Yoyok bicara. Bukan terutama soal sopan santun kebersamaan atau keseimbangan forum, tapi saya memang memerlukan pendapat-pendapat Yoyok tentang semua ini, Corona dan seterusnya.
Ada tiga level pemahaman yang perlu dielaborasi dan dieksplorasi bersama di Maiyah tentang Corona ini. Pertama, Coronavirus itu sendiri sebagai kasus penyakit dan kesehatan dengan segala ulang-alik sebab akibatnya. Di wilayah ini kita punya dr. Eddot Yogya, dr. Supriyanto Tulungagung, dr. Ade Hasman Kalimantan, serta Yoyok Prasetyo KiaiKanjeng. Kedua, multiefek dari deraan global Coronavirus ini, serta pemaknaan sosial yang ditawarkan atau ditimbulkannya, serta kemungkinan perubahan-perubahan yang dibentangkannya. Di sini kita punya Sabrang, Kiai Tohar, Mas Tanto Tadabbur dll. Dan Ketiga, perspektif yang tidak hanya lebih luas, tetapi yang memang merupakan fakta hakiki keluasannya, yang terkait dengan asal-muasal kehidupan, sangkan paran, hukum timbal balik makro dalam kehidupan makhluk, ada “qadar” ada “qadla”, ada “nahr” ada “syafa’at” dst. Di sini kita punya Cak Fuad, Syekh Kamba, Kiai Muzzammil, Kiai Jalil Kudus dan lain-lain.
Dalam perjalanan Bis KiaiKanjeng Maiyahan ke berbagai tempat, saya sering mendengarkan uraian Yoyok tentang kesehatan. Agak banyak berbeda dengan umumnya dokter, ada sedikit nekad-nekadnya, tetapi itu lahir dari “energi hidup” khas kreativitas manusia dan juga menghasilkan “energi hidup” berikutnya. Pada tahap ketika “Stay Home” sudah melelahkan dan membosankan, saya dengan KiaiKanjeng berniat untuk segera kumpul dan latihan bersama di Kadipiro, meskipun tetap dengan disiplin masker, jaga jarak, bersih tangan, kaki, mulut, leher dan pasal-pasal fiqih Corona lainnya. Dan pelopor keinginan besar KiaiKanjeng untuk segera latihan lagi adalah Yoyok bassist petugas kesehatan masyarakat itu.
Saya sudah kemukakan pendapat saya, bahwa masalah utama adalah rasa aman masyarakat sekitar, juga etos perlindungan para pengurus Kelurahan, RW, RT terhadap warganya. Kalau tiba-tiba mereka mendengar gemontang gamelan KiaiKanjeng, jangan-jangan para pengurus kampung jadi terjepit antara kewajiban melindungi warga dengan rasa pekewuh kepada KiaiKanjeng. Juga warga sekitar yang mendengarnya bisa kebingungan, khawatir atau merasakan ketidakenakan dan tekanan tertentu dan itu bisa melemahkan kondisi mereka sehingga rawan Corona. Jadi nggak usah latihan dululah KiaiKanjeng. Tasammuh dan ishbiru wa shabiru lebih terpuji bagi siapapun.
Pada saat yang sama aslinya saya tidak punya bahan apapun untuk saya kemukakan dalam streaming Mocopat Syafaat tadi malam. Helmi menggali sana-sini, Kiai Silmi Tadabbur Sutanto Mendut dan Sabrang Mowo Damar Panuluh mengemukakan sangat banyak faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam urusan Corona dan sekitarnya — yang saya justru sama sekali tidak punya pengetahuan untuk menguasai itu semua. Jadi ketika kemudian saya terpaksa bicara karena disuruh Helmi, sebenarnya saya tidak merasa mengeluarkan apapun dari dalam diri saya. Mulut saya saja autopiloting. Artinya, bukanlah saya subjek pembicaraan saya tadi malam.
Mumpung kita berada di tema itu saya ingin sekali menekankan kepada semua saja di sekitar saya, terutama anak cucu saya Jamaah Maiyah yang kasat mata atau yang tidak kita ketahui, bahwa hendaknya siapapun saja jangan menggantungkan apa-apa, utamanya bab Corona ini, kepada saya. Sebagaimana tradisi standard opening Maiyahan: “Saya ke sini tidak untuk menjadi pusat perhatian atau sumber ketergantungan bagi siapapun saja untuk hidup enak, dilimpahi rahmat dan barokah serta syafa’at. Saya ke sini untuk mengajak acak cucu saya semua untuk meneguhkan pemusatan perhatian hidup kita kepada Maiyatullah wa Maiyatur-Rasul. Saya hadir tidak untuk menolong Anda, melainkan mengajak Anda untuk bersama-sama minta tolong kepada Allah dan atau melalui Rasulullah. Harap ingat, Rasulullahnya bukan saya melainkan Nabi Muhammad Saw.”
Jamaah Maiyah mengerti sesuatu atau seseorang itu penting dan berguna tidak karena sesama manusia menganggapnya penting dan berguna (itulah cara berpikir demokrasi, yang di Indonesia tidak ada usaha untuk mencapainya juga). Sesuatu itu penting dan berguna karena Allah menganggapnya penting dan berguna. Nah, jarak antara pengetahuan kita semua bersama publik tentang sesuatu yang penting dan berguna dengan pendapat Allah tentang hal yang sama — itulah yang tidak pernah dipelajari di mata pelajaran dan kurikulum apapun di sekolah, pesantren maupun universitas.
Manusia ini ngawur saja bikin skala prioritas kehidupan, serampangan menetapkan apa yang penting dan tidak penting, serabutan memutuskan ini berguna itu tidak. Manusia sangat nekad dan kalap mengidolakan sesuatu atau seseorang, buta huruf meng-kiai-kan, Menokohkan, meng-ustadz-kan, mem-pemimpin-kan, me-wakil rakyat-kan, mem-pejabat-kan, mem-presiden-kan meng-gubernur-kan, men-teladan-kan atau mem-panutan-kan , meng-uswatun hasanah-kan siapa saja yang tampak di pandangan kebodohan mereka. Kita sedang menjalani peradaban membabi buta.
Termasuk mengkayal-khayalkan Mbah Nun, yakni saya sendiri. Padahal andaikan pun saya ini dilantik menjadi Nabi oleh Allah, tidak juga akan saya sanggupi harapan-harapan mereka dan persangkaan-persangkaan mereka. Sudah sangat terang-benderang peneguhan ilmu kita setiap saat bahwa “La haula wa la quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Adhim”.
Kalau soal cinta dan mencintai, relatif bisa saya jamin, minimal tidak pernah tidak saya ikhtiarkan. Terserah mau pakai Bahasa Mbah Surip “I love you full” atau pakai retorika “I love you from the bottom if my heart”, dengan semua kelengkapannya: “soul”, “mind”, “qalb”, “fuad”, “dhimmah”, “lubb” beserta “dlouq”-nya sekalian. Sepanjang sejarah sejak Nabi Adam, tidak pernah ada puluhan ribu manusia berkumpul tenang tertib 6-8 jam sampai menjelang pagi, untuk mengasah cinta kepada Allah dan Rasulullah, untuk Sinau Bareng, untuk saling mencintai satu sama lain secara proporsional karena Allah. Jamaah Maiyah saja yang melakukan itu selama hampir dua puluh tahun belakangan ini. Makhluk Bumi tidak melihatnya, dan saya berharap makhluk langit menyaksikannya dengan gembira.
Tetapi jangan berharap Mbah Nun memancarkan keajaiban: terbang di angkasa Nusantara, melayang ke sana kemari membawa tempayan berisi cairan dan serbuk, yang diciprat-cipratkan, ditabur-taburkan ke seantero wilayah Nusantara untuk mengusir Covid-19. Empu Baradah terbang membawa kendi dikucurkan untuk membikin perbatasan antara dua Negeri di Kediri. Tetapi hatta Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw sendiri tidak dipentaskan oleh Allah Maha Sutradara Agung untuk terbang di angkasa dunia menabur-naburkan serbuk vaksin dan cairan antitoxin.
Saya dan kita semua hanyalah mengemis-ngemis tiada tara kepada-Nya.
Lha di hati dan pikiran saya sendiri muncul kalimat: “Ibadahku belum laku. Shalat dan doa-doaku belum memenuhi syarat untuk dikabulkan oleh Sang Hyang Kang Murbeng Dumadi.” Mungkin karena kadar iman, taqwa, tha’at, tawakkal dan kesetiaan saya masih jauh dari mencukupi. “Ya ayyuhannnas, antumul fuqara` ilallah”. Wahai manusia kalian fakir di hadapan (kamulah yang butuh kepada) Allah. Jangan-jangan Simbahmu ini masih tergolong “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah).
Ibadah pribadiku, ibadah keluargaku, ibadah kemasyarakatanku, seluruh ibadah selama usia kehidupanku, belum mencukupi untuk membeli hidayah kepada Allah. Saya memohon juga jauh-jauh hari agar salah seorang dari Jamaah Maiyah diperkenankan untuk mendapatkan petunjuk dari-Nya. Tetapi sejauh ini saya “termakan” sendiri oleh firman-Nya yang sering saya bersamakan dengan Jamaah Maiyah: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashsahs). *****