Mengalami Maiyah

“Lho Mas, Padhangmbulan itu masih ada?” tanya seseorang kepada kawan saya. Yang ditanya tidak langsung menjawab. Ia balik bertanya, “Menurut Sampean, Padhangmbulan masih ada apa tidak?”

Ini salah satu contoh keheranan yang pernah diceritakan seorang kawan kepada saya. Kawan saya sangat tidak mengerti bagaimana pertanyaan itu muncul dari orang yang selama ini disangkanya aktif mengakses informasi.

Keheranan itu lantas ditegaskan oleh kawan saya sendiri melalui sikap yang dipelajarinya dari Maiyahan. “Yang tidak tampak, yang tidak eksis, yang tidak tampil bukan berarti tiada. Sebaliknya, yang tampak, yang eksis, yang tampil bukan berarti benar-benar ada,” tandasnya.

“Kawan saya ini mengalami Padhangmbulan,” spontan saya berkata dalam hati. Mengalami Padhangmbulan, bagaimana ini?

Kawan saya sedang meng-alam-i; ia mengerjakan proses penyeimbangan diri sebagaimana alam bekerja dalam keseimbangan sunnatullah. Dia kembali kepada karakter alam yang seimbang dan menyeimbangkan.

Kunci kewaspadaan dan keseimbangan itu dinyatakan oleh Allah: “Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu. Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah: 216).

Padhangmbulan menjadi atmosfer yang menyeimbangkan alam berpikir, menata cara pandang, mengokohkan kuda-kuda kewaspadaan, meng-conditioning kedalaman dan keluasan kesadaran hidup.

Proses keseimbangan ini tidak mungkin ditolak oleh sistem kerja alam yang sejak semula menyerahkan diri (muslim) kepada ketentuan Allah. Pada konteks kewaspadaan menjaga keseimbangan itu kawan saya meng-alam-i (melalui dan di dalam) Padhangmbulan.

Ternyata, kawan saya bukan hanya satu orang. Ia berjumlah ratusan, ribuan, bahkan saya tidak bisa menghitung berapa total jumlahnya. Baik mereka yang kelihatan apalagi yang tidak kelihatan.

Kawan-kawan saya tersebar dalam lingkaran Majelis Masyarakat Maiyah. Mereka mengalami Bangbangwetan, mengalami Mocopat Syafaat, mengalami Kenduri Cinta, mengalami Gambang Syafaat. Mereka juga mengalami Simpul-simpul Maiyah yang secara teknis tidak bisa saya tulis satu persatu di sini.

Mereka terhubung melalui getaran frekuensi yang sama. Syekh Nursamad Kamba menyatakan mereka dianugerahi Allah tetes kelembutan. Mbah Nun menyebutnya Kelembutan Muhammad.

Kawan-kawan saya, pada akhirnya, bukan kawan-kawan saya lagi. Saya, kamu, mereka, hingga anasir “siapa” dan “apa” — kini — menjadi saudara dan bersama-sama mengalami Maiyah. Bernaung di bawah langit al-mutahabbuna fillaah.

“Sekarang hati saya semakin tenang,” ungkap saudara saya. “Mau dikatakan Padhangmbulan ada atau tidak ada sama sekali tidak mengurangi kegembiraan atau menambah kesedihan saya.”

Saya manggut-manggut sambil mencatat segala kemungkinan kata-katanya untuk diolah menjadi kesadaran yang baru.

Pesan Mbah Nun, “Laksanakan firman: Yastami’unal qoula fayattabi’una ahsanahu”. Dengarkanlah semua perkataan, dan terima, kemudian pakailah yang terbaik bagi (pertimbangan)mu.

Alhamdulillah, mengalami Maiyah bahkan jauh lebih sederhana dari apa yang saya tulis ini.

Jagalan, 23 Maret 2020