Meminjam Periskop Akurasi Pandang Syaikh Kamba
“Jadi, Wirid Wabal ini yang pertama untuk kepentingan keselamatan kita semua, keselamatan umat manusia, keselamatan global. Perhatian Maiyah terutama untuk menjaga Nusantara, menjaga Indonesia, menjaga rumah kita. Menjaga amanah yang diberikan Gusti Allah kepada orang-orang Nusantara ini, menjaganya agar jangan sampai rusak. Karena tidak ada wilayah di seluruh dunia ini yang seindah Indonesia, yang seideal Indonesia,” terang Syaikh Kamba.
Waktu itu bulan Januari 2016, di Kenduri Cinta Mbah Nun dan KiaiKanjeng melaksanakan upacara Tahlukah dalam bentuk pembacaan Wirid Wabal untuk yang pertama kali. Tepat esok harinya, Syaikh Kamba sepulang dari Kenduri Cinta kemudian bertolak ke Purwokerto untuk hadir di Juguran Syafaat. Sebagai moderator saat itu, saya menggali beberapa hal dari beliau, salah satunya adalah mengenai apa itu Wirid Wabal. Kemudian Syaikh menerangkan sebagaimana di atas.
Syaikh pun menerangkan bahwa apa yang disampaikan Mbah Nun kepada jamaah Maiyah bisa dimaknai peristiwa pewahyuan. Beliau amat memercayai itu. Termasuk juga Wirid Wabal. Syaikh Nursamad juga menyampaikan bahwa Wirid Wabal adalah rangkaian dari prosesi Tahlukah yang sudah dimulai sejak 2013. Sebuah prosesi yang menjadi keprihatinan atas kondisi Nusantara kini.
Kala itu Juguran Syafaat mengangkat tema “Shalawat: Proses dan Prosesi”. Dan memang tidak ada yang lebih tepat menyampaikan tema tersebut selain Beliau, Marja’ Maiyah, yang telah menempuh proses hidup dengan empirisme shalawat.
Seusai teman-teman berbagi tentang ragam tradisi sholawat yang ternyata di banyak tempat memiliki kekayaan tradisi itu, Syaikh kemudian memberikan respons. “Iman kita kepada Rasulullah itu harus benar-benar iman yang empiris, bukan karena didiktekan. Rasulullah harus hadir di depan Anda atau Anda hadir di depan Beliau. Itu baru empiris. Kalau ndak ketemu Rasulullah ya ndak bisa ngefek. Mengapa iman kita kepada Rasulullah ndak bisa memberikan militansi sebagaimana Rasulullah Saw mendidik para sahabatnya. Islam dan Iman yang kita terima dari Rasulullah diperoleh melalui buku atau informasi lain yang kita tidak pernah bertemu langsung. dengan Beliau. Nah, bertemu langsung ini bagaimana caranya? Ya melalui shalawat itu,” terang Syaikh Kamba lagi.
Dari apa yang disampaikan Syaikh Kamba tersebut, membuat mata batin kita terbuka. Beriman adalah proses penumbuhan diri, bukan beriman yang sekadar prosesi atau ritual semata.
Saya membuat analogi, seolah-olah kita, umat beragama ini hanyut dan tenggelam bersama buku-buku, literatur-literatur, pengertian-pngertian, definisi-definisi dan nomenklatur tentang iman, agama dan mursyid. Lalu Syaikh Kamba-lah yang memberikan periskop supaya kita bisa memahami sesuatu di balik permukaan yang selama ini belum sanggup kita jangkau.
Saya tidak cukup dekat dengan Syaikh, sehingga tidak mempunyai perbendaharaan bagaimana empirisme Syaikh dalam menghadirkan Kanjeng Nabi. Namun, saya niteni betapa hal itu terefleksi pada akhlak Beliau dalam berkhidmat kepada Mbah Nun. Dengan segenap ketinggian ilmunya, Beliau menunjukkan penghormatan yang demikian tinggi kepada Mbah Nun.
Pada bulan Desember tahun 2017, untuk kedua kalinya Syaikh hadir di kota saya untuk memenuhi undangan teman-teman IAIN Purwokerto. Siapa sangka, terjadwal sehari sebelumnya, Mbah Nun dan KiaiKanjeng juga hadir di sini untuk beracara Sinau Bareng di Alun-Alun Purbalingga.
Sontak, Syaikh pun memajukan jadwal berangkat demi bisa berjumpa dengan Mbah Nun. Turun dari stasiun Purwokerto Syaikh langsung menuju wisma singgah dekat alun-alun, menunggu kedatangan Mbah Nun, kemudian menemaninya selama di transit dan di panggung acara Sinau Bareng hingga acara usai.
Ini cerita biasa saja. Memang, Syaikh terbiasa seperti itu. Teman-teman sudah hafal bagaimana Syaikh yang kerap hadir bersama Mbah Nun di Kenduri Cinta hampir tidak pernah undur diri lebih awal. Beliau menemani Mbah Nun hingga acara usai.
Mas Karim, salah seorang penggiat Maiyah bercerita, saat menghadiri Kenduri Cinta Syaikh dalam kondisi kurang sehat karena baru pemulihan usai operasi. Ibu Fatin, sang istri mengingatkan Syaikh untuk segera beristirahat. Lantaran Syaikh tak kunjung beranjak, Mbah Nun dimintai tolong untuk membisiki. Syaikh pun mengiyakan, tetapi pada praktiknya Beliau tetap mengikuti acara sampai selesai.
Perjumpaan-perjumpaan terakhir saya dengan Syaikh adalah pada Gambang Syafaat bulan Oktober 2019 dan di Kenduri Cinta bulan November 2019. Kemudian rezeki perjumpaan dengan beliau berikutnya sebatas melalui virtual gathering di masa pandemi. Syaikh hadir membersamai Reboan on The Sky pada edisi minggu ketiga dan keempat bulan April, serta pada minggu pertama bulan Mei 2020.
Syaikh terakhir kali hadir pada Kenduri Cinta edisi Hiber-Nation dalam 20 menit tayangan Instagram yakni pada 14 Mei 2020. Dari tempat tinggalnya, beliau memberikan penghikmahan bahwa hibernasi akibat pandemi adalah sarana untuk memuncakkan kerinduan kepada Allah juga menabung rindu kepada Mbah Nun. “Saya juga sangat rindu kepada Mbah Nun, tetapi walaupun tidak bertemu fisik, tetapi kita bisa bertemu secara spiritual”.
Syaikh memberikan pujian kepada Mbah Nun yang selama pandemi berlangsung tetap mengefektifkan bimbingan tarikatnya, membagikan inspirasi juga menyampaikan panduan wirid. Menurut Syaikh, perjalanan wirid di Maiyah yang terus meningkat tiba pada level di mana kita didorong untuk memahami kejadian saat ini sebagai aktivitas Ilahi yang maha halus.
Ajakan untuk mengenali segala sesuatu tidak sebatas mekanisme teknik, melainkan hingga tingkat yang lebih halus pernah disampaikan Syaikh pada Maiyahan di Gambang Syafaat bulan Oktober lalu. Syaikh mengurai bahwa ada dua istilah di dalam Al-Qur’an untuk menyebut pengetahuan, yakni al-‘ilm dan al-ma’rifat. Ya’lamu dan Ya’rifu. Ya’rifu artinya kita mengenali secara emosional, seperti orang-orang mengenali keluarganya. Anak mengenal bapaknya dan bapak mengenal anaknya, itu namanya makrifat. Sedangkan ya’lamu adalah pengetahuan biasa yang bersifat kognitif.
Dalam istilah lain, Syaikh lebih lanjut menerangkan ilmu kognitif disebut hushuli dan ilmu makrifat disebut hudhuri. Dalam disiplin ilmu tasawuf jalan menuju ilmu hudhuri itu harus dengan cinta.
Refleksi berikutnya adalah saya dan sejumlah jamaah Maiyah lainnya gagal memiliki sikap otentik untuk berkhidmat kepada Mbah Nun. Sikap penghormatan, peneladanan, dan pengambilan inspirasi serta sikap patuhan pada panduan tidak lebih dari mengikuti sikap pada umumnya jamaah.
Yang menolong adalah Syaikh Kamba. Beliau meminjamkan “periskop” ya’rifu-nya yang mempunyai pandang demikian dalam hingga memasuki pori-pori pengertian siapa sejatinya mursyid dan apa esensi bertarikat.
Pada sebuah kesempatan Maiyahan Mbah Nun pernah menegur saya supaya jangan menjadi orang yang peragu, “Kalau kamu diberi Maiyah, maka pergunakanlah itu. Kalau kamu tidak diberi Maiyah, maka pergunakanlah itu”. Pesan Syaikh Kamba pada kesempatan Reboan on The Sky memberikan peneguhan, “Maiyah sudah cukup sebagai jalan keselamatan. Tidak perlu merasa kurang karena Maiyah tidak bergabung dengan organisasi mainstream.”
Tausiyah berikutnya dari beliau yang menurut saya begitu mendalam: “Tidak bisa dipungkiri bahwa rasa cinta kita kepda Mbah Nun masih lebih besar daripada porsi bagaimana kita memahami cara berpikir seorang Emha Ainun Nadjib. Kita belum benar-benar mampu melakukan apa yang diinginkan oleh Mbah Nun.” Beliau menyampaikan itu pada kesempatan Reboan on The Sky seolah menaruh harap yang demikian besar kepada Jamaah Maiyah agar melakukan sesuatu yang lebih. Pada Kenduri Cinta Hiber-Nation Syaikh kembali menandaskan, “Yang Mbah Nun harapkan bukan kita mengikuti beliau, tetapi bagaimana kita semua mengefektifkan penempuhan pikiran masing-masing”.
Kemudian terakhir, ketika salah seorang penggiat bertanya mengenai apakah pandemi ini adalah jawaban Allah dari Wirid Wabal, Syaikh merespons, apabila wirid tersebut sudah dimunajatkan sedari empat tahunan yang lalu, maka tidak mungkin tidak ada efeknya.
Tentu saja bukan pembuktian empiris atau klaim yang dinarasikan. Yang perlu dilihat lagi adalah apa motivasi dari Wirid Wabal kala itu? Apa yang melatarbelakanginya?
Syaikh menyampaikan, Mbah Nun ingin Tuhan memperlihatkan keadilannya untuk mengingatkan kepada mereka yang merasa sombong. Manusia terlampau lengah, terlampau tidak memperhatikan peringatan dari Tuhan.