Membangun Desa Maiyah di Tengah Residu Media Sosial
Hujan yang mengguyur wilayah Jombang dan sekitarnya sejak siang hingga malam hari tidak menyurutkan ghirah kita untuk datang ke Pengajian Padhangmbulan. Selain rindu hujan-hujanan juga rindu suasana desa Menturo Sumobito Jombang yang syahdu menenangkan.
Ada hal berbeda pada Pengajian Padhangmbulan yang berlangsung pada Ahad, 29 November 2020. Pada bulan sebelumnya acara pengajian dilaksanakan di halaman Ndalem Kasepuhan. Halaman utama Pengajian Padhangmbulan yang berada di sebelah timur Sentono Arum masih direnovasi. Bulan ini Padhangmbulan kembali dilaksanakan di halaman utama.
Kita juga nganyari panggung Padhangmbulan. Teman-teman Omah Padhangmbulan mempercantik backdrop dengan bahan dasar anyaman bambu. Tulisan “Majelis Masyarakat Maiyah Padhangmbulan” dengan tagline “Menata Hati Menjernihkan Pikiran” berbahan kayu yang dibentuk timbul dan permanen menyuguhkan view yang berbeda dari sebelumnya.
Halaman panggung hingga depan Masjid dan Ndalem Kasepuhan di-paving rapi dan bersih. Semua perubahan itu berkat gotong-royong dulur-dulur Omah Padhangmbulan bersama para jamaah.
Hujan masih turun rintik-rintik ketika Cak Madjid mengawali majelis dengan nderes ayat Al-Qur’an. Disambung LeK Ham dan Lemut Samudro yang mengajak jamaah melantunkan wirid Padhangmbulan dan Maulan Siwallah, memohon keselamatan bagi diri, keluarga, dan masyarakat Indonesia.
Sinau dari Desa dan Mengenang Kisah Hidup di Desa
Pengajian Padhangmbulan mengangkat tema “Akun Medsos: Pahlawan atau Pecundang”. Lek Ham memandu diskusi dan meminta Pak Dudung, Teguh Azmi Pamungkas (Cak Imung), serta perwakilan jamaah yang merasa anak desa untuk naik ke atas panggung. Lek Ham memberi pijakan awal tentang pemahaman mengapa kita perlu belajar dari desa? Karena sudah saatnya kita kembali ke cara hidup desa, berjiwa dan berhati desa, sebab semua berasal dari desa.
“Majunya kota karena peran dan sedekah dari desa,” tambah Lek Ham. Hal ini juga untuk merefleksikan buku Mbah Nun yang berjudul Indonesia Bagian dari Desa Saya, yang baru diterbitkan ulang.
Pak Dudung merespons pembahasan tentang desa. Beliau merasa terharu mengikuti wirid Padhangmbulan di tengah gerimis hujan yang menambah kesejukan suasana malam. “Sungguh merupakan anugerah dari Allah ketika kita bisa merasakan suasana yang tenang dan khusyuk saat berdzikir,”ungkap Pak Dudung
Selanjutnya Cak Imung, putra kelima Cak Mif, memantik diskusi dengan menceritakan kisah masa kecilnya di Menturo. Cak Imung suka mandi dan kungkum di kamar mandi kompleks bangunan Ndalem Kasepuhan, sebelum akhirnya ketika dewasa ia terdampar ke Yogyakarta dan sekarang di Jakarta.
Cak Imung berbagi pengalaman bahwa di Jakarta orang merasa kangen nguri-nguri kehidupan di desa. Misalnya menerapkan bungkus makanan dari daun tumbuhan untuk mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan sampah kemasan plastik yang sulit terurai. “Jadi sebenarnya peradaban Indonesia sangat maju dan berkelanjutan,” tambah Cak Imung.
Cak Amin menyampaikan bahwa hal yang paling disenangi adalah ketika pulang ke rumah neneknya di desa. Di rumah nenek dari ibu di Gresik itu merupakan tempat pelarian bagi Cak Amin atau saudara yang lain ketika ada masalah atau salah paham dengan orang tua. Cak Amin merasakan kedamaian dan tepo seliro selama tinggal di desa neneknya. Ia merefleksikan sebenarnya di Indonesia tidak ada kota, sebab sudah jelas, Mbah Nun mengatakan bahwa Indonesia Bagian dari Desa Saya.
Menggali Falsafah Jawa dan Langkah Menyongsong Kemajuan Peradaban Indonesia
Setelah itu Lek Ham meminta respons jamaah tentang falsafah Jawa. Diawali oleh seorang ibu yang menyampaikan bahwa falsafah yang harus kita gali sekarang adalah jembar dalane. Sebab kita butuh sikap jembar ati untuk menggali dan membangun desa, bersedekah kepada Indonesia supaya jembar dalan kehidupan anak cucu kita kelak.
Dilanjutkan oleh Mas Elan yang menyampaikan falsafah urip iku urup. Dan ketika ditanya apa maknanya, Mas Elan menyampaikan falsafah itu diperoleh dari tulisan yang ada di bak truk. Ia memaknai bahwa untuk membangun desa diperlukan urup, yakni saling bertukar kebutuhan sehari-hari. Membantu tetangga yang sedang kesusahan sesuai kemampuan kita adalah bentuk urup sebagai manusia yang urip. Begitu pun sebaliknya, tetangga kita akan membantu ketika kita mengalami kesulitan. Jadi urip itu saling urup.
Mas Bayu dari Kediri menyampaikan jer basuki mawa bea. Bahwa semua cita-cita membutuhkan ragat atau biaya. Dalam membangun desa, selain membutuhkan biaya, falsafah seperti gotong-royong, ketulusan, keistiqamahan dan tepo seliro juga diperlukan.
Salah satu problem dari pemuda desa yang diamati Pak Dudung adalah ketika orangtuanya menjadi petani, mengapa anaknya tidak meneruskan pekerjaan itu? Stigma yang beredar adalah menjadi petani itu soro sehingga sang anak memilih pekerjaan lain. Bukan hanya soal stigma saja. Seorang jamaah menyampaikan bahwa sawahnya sudah dijual. Jawaban itu disambut tawa jamaah.
Menurut Cak Imung salah satu langkah menyongsong kemajuan peradaban Indonesia adalah mengenalkan kembali budaya dan kehidupan desa kepada generasi masa kini. Misalnya sinau bercocok tanam, gotong-royong, tepo seliro, mengolah tanah dan merawat tanaman. Cak Imung menegaskan bahwa masa depan Indonesia dan peradaban global dimulai dari desa. Kita bersedekah kepada Indonesia juga dimulai dari desa.
Melahirkan Desa Maiyah
Malam itu Lek Ham mengajak jamaah untuk melahirkan desa Maiyah. Mau jadi petani, guru, dokter, politisi silakan, selama yang kita lahirkan adalah desa Maiyah: aktualisasi dari nilai dan prinsip Maiyah. Kita menggali potensi desa kita masing-masing untuk bersedekah kepada Indonesia.
Salah satu bentuk aktualisasi melahirkan desa Maiyah diawali oleh dulur Lemut Samudro yang membuat pupuk organik selama pandemi. Tujuannya untuk membantu petani yang kesulitan mencari pupuk kimia. Membuat produk kopi yang dimulai dari perawatan tanaman kopi sampai berbuah, dipanen dan diolah menjadi bubuk kopi merupakan upaya teman-teman Lemut Samudro untuk berdaya dan memberdayakan diri.
Cak Imung turut menambahkan insight tentang desa Maiyah. Salah satu caranya adalah membangun desa wisata. Biaya pembangunan desa wisata bisa memanfaatkan dana desa disertai kerja sama dan gotong-royong seluruh penduduk. Menurut Cak Imung ndak apa-apa kita menjalani proses perjuangan terlebih dahulu untuk kelak meraih manfaat terbentuknya desa wisata.
Sikap Jamaah Maiyah di Media Sosial
Cak Imung menukil puisi Mbah Nun pada tahun 85-an untuk merespons jamaah Maiyah yang suka membuat soup buntut dari video Maiyahan. Pada puisi itu Mbah Nun menyatakan bahwa kata-kata yang keluar dari mulut kita akan melahirkan burung-burung yang kelak akan menagih pertanggungjawaban atas apa yang kita omongkan. Sekarang apa yang kita ketik dan suarakan di media sosial juga akan melahirkan burung-burung yang akan menagih pertanggungjawaban kita.
Wak Mad yang bergabung dalam diskusi juga merespons tentang fenomena soup buntut yang menjadi pekerjaan rumah kita. Ini bukan fenomena hari kemarin, tapi kenyataan yang kian membuat kita prihatin. Potong-memotong pernyataan yang melepaskannya dari konteks — konteks dialektika diskusi, konteks respons atas pertanyaan, konteks suasana, konteks psikologis, konteks sosiologis, dan berlipat-lipat konteks lain yang tidak kasat mata — merupakan perbuatan sembrono.
Pertimbangan sesaat seperti mumpung lagi viral, memburu jumlah viewer, atau yang lebih tega dari itu, misalnya mem-VS-kan seseorang lawan seseorang adalah residu media sosial. Apapun konteks dan tujuannya, residu itu perlu diantisipasi secara cerdas, seimbang dan bijaksana.
Wak Mad berharap jamaah Maiyah bersikap waspada di tengah “virus” residu media sosial yang kian merajalela. Kita memiliki kemerdekaan untuk mengekspresikan cinta kepada Mbah Nun dan Marja’ Maiyah. Ekspresi cinta itu dikelola dengan cara meneladani apa yang telah disampaikan Mbah Nun dan Marja’ Maiyah. Begitu memasuki Maiyah pada dasarnya kita juga memasuki ruang Salamin Aminin.
Di penghujung acara Lek Ham membangkitkan jiwa desa kita dengan bertanya, “Apakah dengan situasi dan kondisi seperti ini kita masih mencintai Indonesia?” Jamaah menjawab mereka tetap mencintai Indonesia. Lagu Indonesia Raya stanza 3 lantas dinyanyikan bersama jamaah.
Shalawat Sidnan Nabi dan Shalawat Badar memungkasi Pengajian Padhangmbulan. Jamaah kembali diingatkan untuk terus menanam kebaikan dan kemanfaatan di lingkungan masing-masing.
Menturo, 30 November 2020