Membangun Benteng Kewaspadaan Diri
Bulan Maret lalu, Gambang Syafaat tidak dilaksanakan. Bulan April ini, dengan Penggiat mempersiapan dari beberapa hari sebelumnya, meski masih ada kekurangan di sana-sini, rutinan akhirnya dapat terselenggara.
Meskipun forum berlangsung online, tetapi wahana ini bisa menjadi obat kangen bagi para Jamaah. Kang Hajir memandu jalannya forum. Ia meng-update keadaan Pandemi Covid-19 berdasarkan pengalaman para Penggiat. Keberadaan virus yang berawal dari Wuhan sudah menyusup hingga ke pelosok ini. Mau atau tidak masyarakat harus mulai menerima dan mencari solusi alternatif untuk menyiasati keadaan yang ada.
Jamaah Maiyah diajarkan untuk tidak menyepelekan dan juga tidak terlalu parno. Mengambil titik tengah agar mencapai keseimbangan. Ikhtiar semaksimal mungkin sebagai bentuk dialektika terhadap Gusti Allah agar berkenan menjaga dan syukur-syukur manarik virus corona.
Mengulang sedikit di bagian mukadimah Gambang Syafaat edisi April 2020 dengan tema ‘Benteng Kewaspadaan’. Ada empat bentuk kewaspadaan, yaitu benteng spiritual, benteng ritual, benteng rasional, dan benteng sosial. Masing-masing benteng memiliki bentuk penyikapan yang berbeda. Dianjurkan agar semua jamaah Maiyah mau membangun keempat benteng tersebut, yakni setidaknya untuk lingkup dirinya dan keluarga.
Banyak sudut pandang digunakan dalam merespons fenomena Covid-19 ini. Cak Noeg, yang malam itu mendampingi Kang Hajir di studio streaming, berbagi cerita di awal. Menurutnya tidak bisa seseorang fokus pada satu titik saja. Hanya membangun salah satu benteng kewaspadaan saja dengan melalaikan benteng lain.
Sebagai orang Maiyah, beliau berusaha menerapkan prinsip-prinsip Maiyah ke masyarakat. Melakukan satu aksi tanggap sosial sejauh yang ia bisa jangkau. Sebagai Ketua RW, ia memantau keadaan warganya setiap malam. Ia juga mengingatkan kepada pendatang baru serta warganya yang baru bepergian dari luar untuk isolasi diri.
Ia optimis masyarakat Indonesia mampu melewati ujian dari Allah ini. Alasannya? Cak Noeg berpendapat bahwa masyarakat Indonesia mempunyai rasa gak tegelan. Tidak mampu melihat tetangga di sekitar kelaparan atau kekurangan. Jiwa solidaritas dan tenggang rasa masyarakat kita sangat tinggi.
Di kampung beliau sudah ada satu bentuk adaptasi nyata terhadap dampak Covid-19, yakni dibentuknya lumbung kelurahan. Warga sekitar bisa memperoleh kebutuhan pangan dari lumbung tersebut. Adapun barang yang ada di lumbung didapatkan dari para pengusaha kecil di lingkungan Cak Noeg.
Cak Noeg menutup sharing-nya dengan memberikan makna yang berbeda tentang mengapa orang-orang saat ini harus menggunakan masker. Masker bukan hanya sebagai upaya mencegah penularan virus melalui mulut. Namun, ia memaknai bahwa penggunaan masker merupakan bentuk latihan. Bertujuan untuk mawas diri dalam menjaga setiap kata yang keluar dari mulut. Supaya kita meninggalkan perkataan yang dapat memancing keributan dan bahkan bencana besar di masyarakat.
Sharing berikutnya adalah dari Mas Wakijo. Berawal dari sambat salah seorang kawannya yang merupakan tim medis, ia mengetahui bahwa ada persoalan yakni kurangnya alat pelindung diri (APD) di rumah sakit dan puskesmas. Ia yang merupakan pengrajin akrilik berinisiatif mengajak teman-teman untuk menggalang dana. Sampai saat ini, ia dan timnya sudah mendistribusikan sekitar 2500-an pcs alat perlindungan diri.
Beberapa wilayah yang sudah dijangkau di antaranya Jateng, Jakarta, Lampung, Bali dan wilayah lain. Sampai hari ini open donasi masih dilaksanakan. Nantinya donasi akan disalurkan dalam bentuk APD untuk tenaga medis yang menjadi garda terdepan menghalau Covid-19.
Mas Wakijo merasa bersyukur karena masih ada banyak Hamba Tuhan yang bahu-membahu saling membantu. Masih banyak persediaan orang-orang berhati baik di negeri ini yang mereka ikhlas berbagi kepada saudara-saudaranya.
Turut bergabung juga malam hari itu melalui panggilan telepon yakni Bib Anies. Efek thaun selalu akan dirasakan dua segi, kesehatan dan ekonomi. Kebijakan pemerintah melakukan gerakan #dirumahaja tidak serta merta dapat diterapkan semua pihak. Hanya kalangan masyarakat ekonomi kuat yang bisa menjalankannya. Sementara masyarakat ekonomi lemah? Tidak bisa bertahan dalam jangka waktu lama. Mereka harus bekerja harian untuk mendapatkan rezeki.
Pilihan bekerja dari rumah tidak bisa dijalankan selamanya. Perlu ada langkah khusus yang tidak menyudutkan satu pihak. Terobosan ide diharapkan muncul. Misalnya membuat pakaian aman dan nyaman yang bisa digunakan beraktivitas keluar rumah. Karena orang sehat tapi lapar lama-lama juga bisa sakit.
Bib Anis melengkapi dengan menghubungkan antara hak prerogatif Allah memberikan perlindungan dan ketaatan makhluk pada-Nya. Jika tingkat ketaatan manusia kendor tidak menutup kemungkinan jika perlindungan Allah juga menipis dan sebaliknya. Menerima keadaan juga bukan pilihan bijak. Beliau mengajak semua pihak untuk menganalisa semua kemungkinan yang dapat dijadikan acuan mengambil langkah tepat mengatasi dampak Covid-19.
Berikutnya, Mas Sabrang bergabung melalui panggilan telepon juga. Mas Sabrang mengawali dengan menyampaikan fakta-fakta ilmiah baru yang sedang berkembang saat ini di berbagai belahan dunia. Menurutnya, arena ketidaknormalan yang tercipata atas kemunculan Covid-19 ini akan memaksa terbukanya ruang kesempatan bagi gagasan-gagasan baru.
Mas Sabrang menggarisbawahi jika banyak perubahan besar di dunia terjadinya pada saat terjadi malapetaka/bencana besar seperti perang, kelaparan, penyakit dan lainnya. Sehingga Covid-19 mungkin saja akan memicu lahirnya revolusi besar di berbagai lini. Sehingga kemudian terjadi sebuah keseimbangan baru.
Sebelum melangkah ke sana, harus ada masalah yang harus dipikirkan. Muncul dilematika sosial di kalangan masyarakat. Misalnya bagaimana negara-negara importir seperti Indonesia tidak bisa lagi melakukan pengadaan barang dari negara luar. Membuat Indonesia harus bisa mengatasi masalahnya sendiri.
Sebuah pertanyaan muncul. “Kapan Covid-19 akan berakhir?”
Mas Sabrang memberikan gambaran, Covid-19 disebabkan oleh virus yang diberi nama CoV-2. Sementara di masa sebelumnya, penyakit SARS yang dibawa virus CoV-1 saja sampai saat ini belum ditemukan vaksinnya. Padahal sudah sepuluh tahun berlalu. Bagaimana dengan nasib Covid-19? Bisa lebih lama atau kemungkinan tipis bisa lebih cepat teratasi dari perkiraan awal. Mungkin beberapa bulan, 1, 2, 3 atau 4 tahun lagi?
Beralih dari situ, Mas Sabrang mengajak jamaah untuk mulai menyiapkan strategi logis mengatasi dampak Covid-19. Menciptakan sel terkecil dari lingkungan terdekat. Bisa mulai dengan menanam sayuran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Lalu membuka pasar lokal. Menggandeng teman-teman terdekat. Misalnya satu kampung. Untuk berpikir secara komunal, bukan lagi individual. Saling melengkapi dan memenuhi kebutuhan masing-masing.
Beliau menekankan agar jamaah tidak usah terlalu memikirkan isu-isu tidak jelas berkaitan dengan Covid-19. Berbagai macam teori konspirasi, senjata biologis, strategi dagang atau apapun itu. Kegiatan un-faedah yang menguras energi. Jamaah diminta untuk memprioritaskan hal-hal yang terpenting. Satu statement terakhir dari Mas Sabrang, ‘Kalau tidak berubah, punah’.
Menyusul bergabung kemudian adalah Pak Ilyas. Dengan dampak Covid-19 yang memaksa sebagian besar masyarakat berdiam diri di rumah, hendaknya kita dapat mengelola waktu semaksimal mungkin. Waktu-waktu ‘kosong’ dapat dijadikan sarana untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan Allah. Merenung dan menemukan masalah masing-masing bisa menjadi alternatif untuk mengisi ‘kekosongan’. Mengutamakan kebutuhan dibandingkan keinginan menjadi salah satu langkah nyata mengurangi dampak negatif Covid-19.
Pak Ilyas juga berbagi cerita bahwa ia sudah mulai belajar melatih kemandirian sejak lama. Menanam beberapa sayuran di rumahnya. Lombok, tomat, terong, kacang panjang dan aneka sayuran lain. Setidaknya dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Lebih-lebih dibagikan ke tetangga. Terakhir, ia mengajak jamaah untuk tidak terbiasa bermimpi tapi belajar menghadapi realita nyata kehidupan.
Sekitar pukul 00.00 Gambang Syafaat diakhiri. Ada rasa berbeda antara berkumpul online dan offline. Terasa ada sesuatu yang hilang. Biasanya ada kotak amal berjalan, aroma kopi Mbah Gambang, Nasi bakar khas, wedang jahe segar, kepulan rokok jamaah dan narasumber atau elemen lain yang mungkin dirindukan. Maiyahan malam tadi menunjukkan bagaimana berkumpul menjadi kemewahan dalam pandemi Covid-19.
Semoga Allah bermurah hati untuk memanggil paceklik yang diberi nama Covid-19 kembali ke asalnya. Atau Allah berkenan memberi jalan keluar atas pandemi ini, Amiin.