“Mbatin”
Nyong wis mbatin, bakalen kaya kiye. Pernahkan kita membatin begitu?
Bolehkah manusia berprasangka? Memprediksi apa yang akan terjadi, lalu akhirnya membuat diri sendiri merasa kecewa? Bolehkah menyesali sesuatu yang telah terjadi, padahal itulah takdir Allah yang memang kita pilih? Jadi, kita yang menentukan takdir, atau memilihnya?
Nyong wis mbatin. Apa yang menjadikan manusia merasa mampu menggenggam masa depan? Sedangkan semenit ke depan kita masih hidup atau tidak sebenarnya di luar kendali kita?
Indera manusia didesain hanya untuk mengumpulkan data. Pikiran, akal, yang tidak terlalu penting, lama-lama memperdebatkan definisinya adalah alat untuk mengolah data itu. Jika di dalam pikiranmu terjadi rasan-rasan, pertimbangan, pertempuran argumentasi, itu tandanya sedang terjadi proses olah data. Namun hati, tetap menjadi sang pengambil keputusan. Nafsu adalah budak, akal adalah perdana menteri, dan hati adalah rajanya. Jika seseorang sudah gagal dari dalam pikirannya, maka kenyataan hidupnya pun tak akan jauh dari itu. Rasan-rasan yang orang lakukan — entah itu di dalam diri sendiri atau ketika bersama orang lain — selama akal tak benar memproses data inderanya, maka hasilnya adalah prasangka (dhon) yang seringkali justru membuatnya kecewa.
Manusia membuat ukuran-ukuran kehidupannya sendiri, lalu ketika itu membuatnya kecewa, mereka menyalahkan Tuhan. Manusia menciptakan ketakutan-ketakutannya sendiri. Membayangkan khayalan-khayalan sendiri. Menjatuhkan diri dalam jurang keputusasaan. Pesimis, lalu mengobatinya sendiri dengan keoptimisan — keberanian melawan pikirannya sendiri. Manusia menciptakan musuh, yang nantinya dia kalahkan sendiri. Hidup kok (kelihatan) repot begitu ya? Nyong wis mbatin.