CakNun.com

Mana Para Pewaris Nabi?

Corona, 76
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Selama menjalani “Tirakat Corona” ini kita sebisa-bisa mencari dan menerima apa saja yang bisa menerbitkan kegembiraan hati, semangat menjalani keprihatinan, menguatkan mental, serta memperpanjang rentang panjang jalan harapan.

Lebih 60 tulisan saya selama Corona mengandung rentang atau polarisasi dengan gradasinya, eksplisit maupun implisit — antara pandangan atau peta pemahaman yang Tuhan ada di dalamnya dengan yang tidak. Motivasi utamanya semata-mata karena hanya dengan adanya Tuhan serta peran-Nya maka manusia masih punya harapan. Kalau hidup hanya seperti yang selama ini kita jalani di dunia, meskipun ada banyak kemewahan di Mal, ada Liga Sepakbola, ada Maiyahan atau main kartu — dan kini dunia dihadiri virus yang sedemikian menyiksa, lantas tidak ada Alam Barzakh, tidak ada Malaikat Munkar Nakir, Raqib Atid dan semuanya terutama Baginda Jibril, tidak ada alam Akhirat – terus apa enaknya kehidupan ini?

Jelas manusia tidak mampu menciptakan kehidupan, sebab kalau mampu — pasti sekarang sudah mereka daur ulang semuanya. Maka pastilah ada yang Maha Pencipta yang pasti bukan manusia, dan untungnya kita tergolong yang meyakini itu. Bagi kita sesuatu yang paling tidak rasional atau sama sekali tidak masuk akal adalah kalau alam ada dengan sendirinya, kalau makhluk menciptakan dirinya sendiri, kalau manusia adalah segala-galanya, kalau kehidupan ini milik kita dan bukan milik siapapun lainnya — sebagaimana demikian pemahaman dan pernyataan yang kita peroleh dari Kehidupan dan Peradaban Manusia Modern sampai hari ini.

Tidak perlu menggunakan penjelasan yang ruwet. Bahasa jelasnya adalah bahwa arus besar kehidupan manusia di muka bumi dengan segala praktik politik, kekuasaan, teknologi dan kebudayaannya — adalah kehidupan Kafir, Musyrik dan Munafik. Pengingkaran atas Tuhan, atas ada-Nya maupun aturan-Nya. Ketidaktegasan menomorsatukan atau mengakui keutamaan Allah. Atau berpura-pura mengutamakan-Nya dalam ibadah-ibadah formal namun menyelingkuhi-Nya dalam praktik sosial, budaya, politik dan peradaban.

Setelah berkali-kali memberi contoh tentang fakta kekafiran, kemusyrikan dan kemunafikan itu dengan mempertanyakan “Siapa pemimpin Negara dan dunia yang di tengah Corona ini ingat Allah dan meminta tolong kepada-Nya” — dalam tulisan sebelum ini saya kutipkan sebagian pidato pemimpin spiritual Iran yang terang-terangan memohon kepada Allah Swt agar berkenan mempercepat datangnya Imam Mahdi. Imam Khamenei sangat jelas pernyataan dan logika berpikirnya tentang asal-usul Coronavirus.

Seorang sesepuh Maiyah dari Kudus yang juga seorang aktivis Nahdliyin menulis dan dikirimkan kepada saya: “Dunia masih memperdebatkan Apakah Covid itu asli atau rekayasa, namun kesengsaraan sudah melanda dan menjadi fakta. Banyak saudara kita yang sudah kelaparan dan tidak tahu harus berbuat apa. Tali-temali permasalahan yang kompleks membuat Negara gagap merespons, sehingga sulit dipahami ujung pangkal kebijakannya. Agama sebagai benteng terakhir berserah diri juga belum memberikan kedamaian. Sebagian malah ikut membumbui kecemasan. Astaghfirullah….Ya Rabbi… Jika semua sudah buntu, kemana lagi kami minta pertolongan. Bahwa sekian lama kami menyakiti-Mu adalah benar. Bahwa Lidah kami penuh nanah dosa sehingga tidak layak mengucapkan doa adalah benar. Namun saya yakin Rahman Rahim-Mu jauh lebih besar… Ijinkan kami bersimpuh di hadapan-Mu…Mohon petunjuk-Mu untuk kedamaian bumi-Mu. Mohon kami diberi kesempatan untuk bertaubat agar bisa yadkhuluna fi dinika afwaja”.

Kemudian beliau menuntaskan: “Dalam situasi seperti ini, yang harus mengambil alih komando adalah Rijalul-ghaib, para Wali dan para ‘Arifin”.

Sangat sehaluan dan segelombang dengan pemimpin Syi’ah Iran yang saya kutip juga itu: “Seluruh umat manusia sedang mengharapkan kehadiran seorang Imam atau pemimpin dunia yang mampu menjadi juru selamat. Juru selamat yang datang atas kehendak Allah. Yakni Imam Mahdi. Pemimpin yang dapat menyatukan semua manusia, membebaskan dari ketersiksaan duniawi, juru selamat bagi semua Agama. Saat ini, ummat manusia menderita kemiskinan, penyakit, ketidakadilan, dan perpecahan kelas yang luas. Dan, manusia menyaksikan penyalahgunaan sains, penemuan, dan alam oleh kekuatan dunia. Ini telah menyebabkan keletihan dan frustrasi ummat manusia dan keinginan mereka untuk dianugerahi seorang Penyelamat, tangan yang menebus”.

Tema “menderita, kemiskinan, ketidakadilan dan perpecahan kelas” adalah arena perbincangan tersendiri yang sangat-sangat luas, yang pada akhirnya harus kita dalami juga. Tetapi gelombang ini tidak hanya bergolak di Iran, tetapi juga di Jawa daerah para Wali. “Ada kebutuhan akan kekuatan spiritual dan Ilahi; tangan yang kuat dari Imam yang sempurna. Semoga Tuhan mempercepat kedatangannya”. Semua agama telah berjanji akan datangnya seorang Juru Selamat. Dalam Islam, orang-orang diminta untuk menunggu Juru Selamat. Menunggu bukan berarti duduk santai; menunggu berarti memiliki harapan dan persiapan. Itu berarti mengambil tindakan”.

Teman-teman Syi’i sungguh-sungguh sangat menantikan perkenan Allah mempercepat di-tanazzul-kannya Imam Mahdi. Hal ini juga bukan sesuatu yang dibantah atau diingkari oleh Kaum Sunny, yang jumlahnya amat sangat banyak bergerombol dan berkerumun di Tanah Air Nusantara sejak lebih setengah milenium yang lalu. Di masyarakat Barat sebutannya “Messiah”. Di Jawa dikenal sebagai “Ratu Adil” atau terkadang lebih romantis dipanggil “Satria Piningit” dan “Satria Pinilih”. Di kalangan Jamaah Maiyah dielaborasi pemahamannya dengan menggali pemahaman lengkapnya: “Sinisihan wahyu”. Sesepuh Maiyah Kudus di atas memakai istilah mafhumiyah “Rijalul Ghaib”. Semacam lelaki, ksatria, pahlawan yang didatangkan secara ghaib dari langit. Penamaan itu tidak salah meskipun lazimnya Imam Mahdi dalam khazanah Islam sudah diinformasikan oleh Rasulullah Saw bahwa Namanya sama dengan beliau, yakni Muhammad bin Abdullah. Berarti “ghaib dari langit” adalah — kalau Jawa: wahyunya, sertifikatnya, ndaru-nya, “cumlèrèt tiba nyemplung” Bumi.

Sebuah spanduk di Yogyakarta pada tahun 2014 menulis bahwa Presiden yang terpilih pada waktu itu adalah “Satria Piningit”. Kita tidak akan tahu persis siapa yang bikin spanduk atau poster itu. Merupakan informasi ghaib ataukah alat kepentingan untuk memenangkan kontes Pemilihan Presiden. Wallahu a’lam. Mudah-mudah ini tidak tergolong yang dimaksud oleh ancaman Allah “afahasibtum annama khalaqnakum ‘abatsan”. Kamu pikir Aku bikin manusia untuk main-main?

Kalau ternyata itu serius, tinggal kita teruskan logikanya. Misalnya, berarti menyebarnya Coronavirus ini adalah tahap strategi “Satria Piningit” sendiri? Bagian dari pelaksanaan tugas Imam Mahdi, Ratu Adil atau Rijalul-Ghaib sendiri? Sebagaimana Covid-19 memang ghaib dari capaian ilmu manusia sampai yang paling mutakhir dan modern?

Jadi sekarang sebaiknya kita meneruskan stres, linglung, atau memulai bergembira karena ada harapan?

Kalangan apapun dari Kaum Muslimin dan rakyat Indonesia yang awam sebagaimana saya dan Jamaah Maiyah, yang tidak ekspert pengetahuan dan ilmu Islam, yang tidak mengerti sanad dan matan, yang tidak kompeten atas Agama, Islam, Syariat, Sorga dan neraka — hari-hari ini hanya bisa mendambakan peran para Pewaris Nabi. Yakni beliau-beliau, para Ulama, Kiai, Ustadz, yang selama ini rajin mengantarkan Islam kepada kita, yang membuat kita terlalu hafal kata Bid’ah, syirik dan Musyrik, kufur dan Kafir, yang sangat ahli menunjukkan kesalahan-kesalahan kita dan memaparkan kebenaran-kebenaran mereka — kini kita tunggu dhawuh-nya. Sungguh kita gadhang-gadhang fatwanya.

Bukan fatwa semacam “ista’inu bis-shabri was-shalat”, cari hikmahnya dan yang semacam itu. Panjengaan semua adalah “Al’Ulamau waratsatul Anbiya`”. Panjenengan adapah pewaris para Nabi. Panjenengan dikabarkan sudah sering pinanggihan dengan Rasulullah saw. Panjenengan yang punya receiver rohaniyah untuk mengakses informasi langit. Mbok Panjenengan semua sowan ke Kanjeng Nabi dan mohon dhawuh dari Beliau. Apapun saja isinya, asalkan itu dhawuh dari Kanjeng Nabi, pengejawentah Nur Muhammad, yang pasti menerangi hati dan kehidupan kita semua. *****

Lainnya

“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Karena Cak Nun Saya Menjadi Nahdliyin

Karena Cak Nun Saya Menjadi Nahdliyin

Ditakdirkan oleh Allah lahir dan besar di lingkungan yang tidak mengenalkan apa NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya membuat saya bisa masuk ke mana saja.

Iswah Marully
Iwa

Topik