Lockdown 309 Tahun
Sebuah kapsul raksasa melintasi langit, turun dari angkasa ke bumi beberepa meter di dekat tempatku berdiri. Karena tidak ada border imigrasi di angkasa, dan keberadaannya tidak terdeteksi oleh Menara bandara (“la tudrikuhul abshar”), maka kapsul dari langit ini bisa langsung mendarat. Saya ketakutan dan spontan akan melarikan diri, tetapi kaki saya tak bisa diangkat.
Sebuah sosok yang tak mungkin kugambarkan bentuk dan wujudnya keluar dari pintu kapsul.
Kemudian sosok yang pertama mendatangiku dan bertanya: “Kenapa kalian masih berkeliaran di padang luas ini? Kenapa tidak kalian tutup pintu-pintu rumah dan Negara kalian, sedangkan Ashabul Kahfi yang hanya beberapa orang di-lockdown oleh Allah 309 tahun di dalam gua tertutup rapat, hanya ada satu lubang kecil untuk masuknya sinar matahari? Penduduk Negeri kalian 250 juta tanpa Pemerintah kalian melindunginya, pintu di sekeliling pagar Negerimu terbuka lebar. Rupanya pucuk pimpinan kalian merasa sayang untuk melewatkan pemasukan dari turis-turis, dan tidak eman kepada nyawa rakyatnya sendiri. Bahkan Menteri kalian yang melihat bawahannya berusaha menutup pintu dan jendela, memperlakukan mereka seperti penjahat yang tidak mengerti aturan”.
Saya terperanjat oleh kalimat-kalimat yang bertubi-tubi membombardir telinga dan kepala saya. Tiba-tiba sejumlah sosok yang lain keluar bertaburan dari kapsul itu, kemudian menyebar ke berbagai penjuru. Mereka membawa semacam tempayan besar, atau wajan raksasa, di dalamnya sebagian berisi cairan, sebagian lain berisi serbuk-serbuk entah apa. Dan mereka bergerak ke sana kemari menciprat-cipratkan atau menabur-naburkan cairan dan serbuk itu dengan cembungan telapak tangan mereka yang ukurannya kira-kira tiga kali lipat ukuran telapak tangan rata-rata manusia.
“Cairan dan serbuk untuk apa yang ditabur-taburkan itu, Baginda?”
Saya menggunakan kata “Baginda” karena tidak mungkin pakai “Pak”, “Oom” atau “Mister”.
Beliau, yang saya tidak tahu siapa, menjawab: “Fungsinya berjodoh dengan isi hati dan muatan pikiran kalian masing-masing. Cairan dan serbuk itu bisa menjadi racun atau bisa juga menjadi penawar racun”.
“Berkenankah Panjenengan memperpanjang kata untuk menjelaskan hal yang belum benar-benar saya pahami?”
Beliau sabar menjawab: “Allah menyatakan Ana ‘inda dhonni ‘abdi bii. Aku bersemayam di dalam prasangka hamba-Ku atas-Ku. Kalau engkau pergi ke keramaian manusia memakai masker karena berprasangka akan bertemu dengan orang yang engkau takut ditulari penyakit olehnya, maka Allah membuka kemungkinan bahwa terdapat orang dari kerumunan itu yang berpenyakit. Tapi kalau engkau memakai masker dangan kerendahan hati dan takut orang lain yang berkerumun tertulari penyakit yang kau bawa, maka Allah menghormati tawadlu’mu dan sikap bisa rumangsa-mu dengan membebaskan kalian semua dari penyakit yang kalian takutkan. Singkat kata, segala yang akan menimpa kalian pada hakikatnya berasal dari diri kalian sendiri. Sekarang tinggal kalian pilih: tawadlu’ atau takabbur. Sadar bahwa manusia sangat tidak berdaya, atau terus merasa hebat, sehingga lalai, bodoh dan GR merasa aman-aman saja, sebagaimana sikap mental Pemerintah kalian”.
Rupanya beliau bisa mendengar suara hati saya yang bereaksi terhadap kalimat-kalimat beliau.
“Beberapa pemuda yang bersembunyi di Gua Kahfi itu pendekar semua. Ilmu pertahanan diri mereka mumpuni. Ilmu pertarungan mereka canggih. Olah senjata mereka tingkat tinggi. Tapi Allah menyembunyikan mereka di dalam Gua yang semua orang menyangka itu adalah sarang anjing sehingga tak ada yang memasukinya, sebab di mulut Gua itu ada terjurai dua kaki anjing Qithmir atau Raqim. Negeri kalian malah membuka pintu Gua, padahal serbuk yang menebar itu berkapasitas 14 deret ukur. Kalian memang bangsa yang sok hebat, tidak belajar afdhaliyah, atau aqdamiyah masalah, tidak mengerti skala prioritas. Atau pemimpin dan pengelola Negeri kalian memang dungu”.
“Kalau para petugas langit yang datang bersamaku itu menghentikan taburannya, lantas kalian merasa lega dan berhenti parno, nanti kalian makin sombong dan bodoh lagi. Kalau taburan serbuknya diteruskan, kasihan manusia-manusia yang tidak bersalah”.
“Jadi akan diteruskan atau dihentikan, Baginda?”
“Bertanyalah kepada Tuhan langsung. Tugas saya dan rombongan saya hanya ya’malu ma yu`marun, menjalankan yang diperintahkan. Kenapa tidak ada pemimpin-pemimpin Agama kalian yang menganjurkan kalian beristighatsah seperti biasanya? Mengijazahkan wirid-wirid untuk didzikirkan oleh ummatnya? Kalian tidak punya pertahanan badan, tidak punya vaksin jasad, tetapi tidak pula berikhtiar untuk membangun pertahanan qudrah, pertahanan rohaniyah, memohon kasih sayang Allah. Apakah kalian memang diam-diam punya mindset bahwa Allah itu tidak berkuasa? Sehingga dalam keadaan darurat pun tidak ada upaya vertikal untuk memohon perlindungan Tuhan? Rupanya Pancasila kalian adalah dusta kepada Allah dan kepada diri kalian sendiri”.
Allah mengerti persis segala sesuatu. Yang sedang, sudah dan yang belum. Tetapi Allah tetap bersikap seakan-akan ada yang tidak Ia ketahui. Allah merajuk: “Wahai hamba-Ku, Aku kesepian, kalian tidak menyapa-Ku”.
Bahkanpun ketika sudah terseret oleh Corona sampai ke tepian lubang kuburan, kita tetap saja tidak menyapa-Nya.
Untunglah anak cucuku Jamaah Maiyah sejak dinihari masalah ini sudah langsung menyapa-Nya dan memohon kasih sayang-Nya. ***
Jakarta, 18 Maret 2020