CakNun.com

Lima Miliar Allahuakbar

Corona, 62
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit

Tolong dihitung berapa kali AllahuAkbar diucapkan pada setiap raka’at oleh seseorang setiap mendirikan shalat. Berapa pada seluruh raka’at shalat lima waktunya dalam sehari. Kemudian dikalikan berapa orang yang shalat setiap hari di Negeri ini: katakanlah diminimalisir dari 260 juta penduduk hanya 50 juta yang shalat lima waktu.

Kemudian hitung berapa AllauAkbar dilantunkan oleh muadzin di masjid dalam sekali adzan. Lima kali adzan dalam sehari. Kalau di negeri ini terdapat sekitar 800.000 masjid, anggaplah separuhnya saja yang aktif adzan lima waktu. Berapa jumlah semua AllahuAkbar dalam shalat dan adzan. Syukur ada tambahan dari wirid bakda setiap shalat yang menyabut 33X AllahuAkbar. Juga setiap kali seorang muslim menjumpai sesuatu yang mengagumkan, membuatnya bersyukur atau mengharukan, lantas ia ucapkan AllahuAkbar.

Lima miliar kali AllahuAkbar diucapkan, dilantunkan, diteriakkan, dilantangkan, difrekuensikan, dikumandangkan setiap hari. Lima miliar AllahuAkbar memenuhi atmosfer Indonesia setiap hari, siang dan malam.

Allah mengadzab penduduk suatu negeri yang siang malam memenuhi alam dengan lima miliar AllahuAkbar? Bismillah, astaghfirullah wa na’udzubillah, enggak lah.

Di kandungan setiap AllahuAkbar terdapat beragam jenis niat, energi, tujuan atau motivasi. Ada yang tepat ada yang tidak. Ada yang halalan thayyiban ada yang kurang. Ada yang ikhlas ada yang pamrih. Ada yang tulus ada yang pretensius. Tetapi lima miliar AllahuAkbar dilantunkan setiap hari di negeri ini. Dan Allah Maha Pembalas Jasa dan Maha Penyantun. Dan Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyantun. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyantun.

Tidak ada seorang pun muslim di zaman sekarang ini yang utuh wungkul sebagaimana Sinuhun Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bahkan tidak sekhusyuk setunduk Baginda Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tidak pula seteguh sekokoh Panglima Umar bin Khattab. Atau seseimbang dan seharmonis Beliaunya Utsman bin Affan. Apalagi setotal se-pasrah bongkokan Pangeran Ali bin Abi Thalib. Tetapi lima miliar AllahuAkbar dilantunkan setiap hari di negeri ini.

Jangankan lagi sejantan dan se-sportif Kakek Adam As yang mengaku kepada Allah: “Rabbana dhalamna anfusana wa in lam taghfir lana lanakunanna minal khosirin”. Atau “La ilaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadhdhalimin”-nya beliau Nabi Yunus teladan kerendahan hati kita. Kita manusia paling mutakhir di zaman yang gegap gempita dengan kemegahan dan kemewahan, tidak pernah merasa salah, tidak mengaku bodoh, bahkan tidak menetapkan posisi atau titik koordinat mu’amalahnya dengan Sang Maha Pencipta.

Kita manusia milenial gemar diam-diam atau terang-terangan merasa lebih hebat dari Tuhan, lega hati kalau tidak mengakui adanya Tuhan, sangat berselera untuk tidak mau menemukan posisi dan peran Tuhan. Kita manusia abad 20-21 menegakkan kebenaran tapi mengingkari Sumbernya. Merasa ilmiah tapi memilih kebodohan di depan realitas Tuhan atau haqqullah.

Merasa intelektual tapi membangkang terhadap kausalitas universal, hulu-hilir setiap benda dan kejadian, pangkal ujung dan sangkan paran kehidupannya sendiri. Rakus menikmati tapi tidak berterima kasih. Serakah memewahi rahmat tapi membangkang Maha Pelimpahnya.

Kita manusia milenial sedunia sedang disebar “indzar” kecil dan ringan, namun sangat merepotkan mereka dan menghentikan putaran kapitalisme keduniawian mereka. Dan tidak ada gejala bahwa kita akan berubah dalam hal-hal yang berhubungan dengan Allah sebagai Al-Awwalu wal-Akhiru. Tidak akan lantas menyadari fakta Al-Fattah Ar-Razzaq. Atau menginsyafi Al-Halim wal-Karim. Tidak takut kepada As-Syadid Al-Muntaqim. Tidak kagum kepada Al-Qadir wal-Muqtadir. Tidak terharu pada Ar-Rahman war-Rahim. Sosiologi global ummat manusia tetap klasik dan akut: al-Maghdlub wad-Dhallin.

Meskipun demikian tetap lima miliar AllahuAkbar dilantunkan setiap hari di negeri ini, seberapa pun kadarnya, semeleset apapun akurasi bathiniyahnya.

Di manakah letak Jamaah Maiyah di tengah itu semua? “Wujuduhu ka’adamihi” Bagi Indonesia, adanya Jamaah Maiyah sama dengan tidak adanya. Maiyah tidak terdapat dalam satuan, kategori atau terminologi apapun yang dikenal oleh Indonesia, dunia, bahkan mungkin juga Kaum Muslimin. Aliran bukan, golongan bukan, kumpulan tarekat bukan, ormas orsospol bukan, klub bukan, Maiyah adalah ketiadaan.

Rata-rata Jamaah Maiyah bukan kaum terpelajar, yang memiliki dan mengerti sanad ilmu-ilmu sebagaimana para pembelajar Sekolah, Universitas dan Pesantren. Itu termasuk saya sendiri, Simbah mereka semua. Maka Jamaah Maiyah adalah kaum awam. Hafidhul Qur`an pun bukan. Alangkah kaget dan kagumnya saya kalau ada anak Maiyah yang pintar qira’ah apalagi hapal Al-Qur`an. Jangankan lagi Kitab-kitab, kuning maupun coklat dan putih – saya dan Jamaah Maiyah rata-rata awam. Jadi mohon izin kepada masyarakat luas dan Kaum Muslimin jangan sampai tersesat menjadi Maiyah sebagai rujukan apapun. Maiyah itu kumpulannya berapa orang saja tidak tahu. Tidak ada anggota resmi. Tidak ada “wajah” KTA-nya.

Tetapi kalau ternyata ada di antara Jamaah Maiyah yang belajar di universitas atau pesantren, sehingga mereka mengetahui dan menguasai apa yang kebanyakan Jamah Maiyah serta saya sendiri tidak mengetahui dan menguasai, misalnya peta dan sanad-sanad ilmu apapun – alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Saya bersyukur luar biasa. Karena hal itu membuka kemungkinan yang di-Maiyahkan tidak hanya pesawahan-pesawahan di permukaan Bumi, tapi juga tataran-tataran galengan di lereng-lereng bukit, bahkan kalau mungkin sampai ke puncak gunung dan kedalaman Bumi.

Allah itu ‘Alimul Ghaibi was-Syahadah. Kaum cendekiawan itu al’Alim, kelompok mereka disebut Ulama. Jamaah Maiyah tidak punya kepandaian, kepintaran, keahlian, kesarjanaan, ekspertasi apapun yang membuat mereka “kompeten” di hadapan Allah Swt. Jamaah Maiyah sejak awal memahami bahwa dalam “ilaiHi roji’un”, tatkala kembali kepada Allah, bahkan sekarang pun, kepandaian, keahlian dan kehebatan termasuk tidak laku di hadapan-Nya. Orang lain mlipis hapal ayat-ayat, anak-anak Maiyah kalau shalat paling baca “Wal’ashri, innal insana lafi khusrin, illalladzina amanu wa ‘amilus shalihati, watawashau bilhaqqi watawashau bis-shabri” atau surat-surat pendek dan mudah lainnya.

Menurut Allah yang rugi adalah yang tidak beramal saleh, yang tidak Sinau Bareng saling mewanti-wanti hal kebenaran dan kesabaran. Yang rugi bukan yang tidak punya sanad ilmu, yang bukan Sarjana, yang bukan akademisi. Meskipun demikian, keilmuan sarjana dan akademisi juga adalah kebenaran, meskipun ia bukan kemenyeluruhan, bukan “kaffah” melainkan parsial dan fakultatif. Jamaah Maiyah sangat detail mempelajari itu semua sisi, sudut, gradasi, sela-sela, jarak, resolusi dan frekuensi itu semua di Sinau Bareng mereka di mana-mana.

Hari-hari ini sangat menggembirakan bahwa suara adzan tetap bergema dan berkumandang pada momentum-momentumnya di mana pun di negeri yang didera Corona ini. Juga sangat melegakan hati bahwa Kaum Muslimin yang rajin shalat, sekarang semakin rajin. Yang biasanya malas shalat, sekarang mulai rajin. Jamaah Maiyah memastikan diri bakda momentum Gua Kahfi ini adalah peluang untuk memperbaiki diri, meskipun masih menjadi pertanyaan besar apakah kehidupan global ummat manusia akan belajar dan melahirkan perbaikan baru bagi peradabannya.

Alhasil, kalau di Sorga kelak, parameter antreannya adalah keahlian atas ilmu dengan sanad-sanadnya, adalah gelar kesarjanaan dan kesantri-utamaan, maka Jamaah Maiyah bisa-bisa tidak kebagian ular antrean. Ketika maghrib tiba di depan gerbang Sorga, Jamaah Maiyah masih menggerombol di salah satu pojokan Alam Barzakh dengan nasib yang belum menentu.

Di tengah deraan Corona ini, Jamaah Maiyah ketika shalat, tatkala adzan di mushalla atau masjid, selalu sangat menikmati firman-firman Allah:Ingatlah, ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (AL-Anfal). *****

Lainnya

Pendidikan Investasi Peradaban

Pendidikan Investasi Peradaban

Bagi negara dan bangsa, memandang pendidikan sebagai sebuah beban (cost) saya tidak sependapat. Pendidikan (dan juga kesehatan) mestinya diperlakukan sebagai sebuah investasi.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Bersatu dalam Ilmu

Bersatu dalam Ilmu

Sekolah sederhana ini setiap hari seperti menggelar orkestra. Betapa tidak, dengan sekat antarkelas dari gedeg bambu atau triplek, maka suara yang muncul antarkelas bisa saling menyeberangi.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.

Topik