Kita Semua Adalah Biang Penyakit
Semakin kemriyek saya mendengar bahwa Jamaah Maiyah sudah semakin memuncak rasa rindunya untuk ingin Maiyahan lagi, ngumpul lagi bareng, Sinau Bareng, tertawa, khusyu dan semua “‘isyq” lainnya seperti biasanya.
Sebenarnya kalau faktornya adalah keberanian, tidak ada satu Jamaah Maiyah pun yang takut Maiyahan dalam keadaan bahaya apapun. Kalau urusannya tawakkal, bismillah, berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja — kita akan berduyun-duyun kumpul di lapangan atau di manapun sebagaimana keasyikan bersama kita.
Tetapi berani ada potensi terpeleset ke sembrono. Tawakkal ada muhasabah rasionalnya. Berani mati ada famili sebab-akibat dan takut mati ada kompleks probabilitasnya. Berani hidup ada asal-usul dan spesifikasi kasusnya. Tekad dan nekad ada nasab dan illat urusannya. Segala sesuatu ada alamatnya, koordinatnya, ruang dan waktunya.
Beberapa kali saya sitir puisi saya tahun 1975: “Rimba gelap di depanmu, loncat masuk!”. Saya berhak memberlakukan pola sikap itu untuk diri saya sendiri, tetapi saya tidak punya hak untuk melepaskan itu menjadi pedoman siapa saja yang bukan saya. Andaikan ada alat genggam, atau gerbang detector, hasil karya teknologi kesehatan mutakhir yang bisa mengidentifikasi langsung setiap orang memuat di dalam dirinya ada virus Corona atau tidak, sehingga alat itu memberi tanda bunyi tertentu kalau yang lewat adalah penderita Corona. Maka Maiyahan atau semua jenis kerumunan cukup diatasi dengan penerapan teknis alat tersebut. Tapi ilmu kesehatan dan inovasi teknologi kita belum sampai ke situ. Kita semua baru saja ta’aruf berkenalan dengan Coronavirus dan para ilmuwan juga masih belum akrab dengannya.
Hari ini mindset berpikir kita adalah bahwa masing-masing atau kita semua adalah penderita Covid-19. Ada yang kentara, ada yang belum kelihatan, ada yang sampai sembuh tidak pernah terdeteksi. Tapi kita semua dan masing-masing adalah gerbong Corona, yang bisa menularkannya ke siapapun saja di sekitar kita, apalagi yang bersalaman, terciprat batuk kita atau sekadar bercampur ruangan dengan kita. Tingkat trauma ummat manusia saat ini seperti Lepra massal.
Maka kita jangan Maiyahan dulu. Jangan resepsi pengantin. Jangan tahlilan. Jangan istighotsahan. Bahkan jangan Jumatan. Jangan shalat berjamaah. Kita semua adalah biang penyakit. Tak ada seorang pun di antara kita yang mau ditulari, apalagi menulari. Bahkan pun di dalam rumah kita sendiri harus sedemikian hati-hati dan steril atau murni.
Masing-masing orang tidak bisa mengelak untuk melakukan pemurnian diri. Kemurnian badan, kemurnian mental dan rohani. Segala yang kita lakukan, sendiri atau bersama-sama, harus kondusif terhadap pemurnian dan kemurnian itu: diri sejati ahsanu taqwim karya Allah Ar-Rahman Ar-Rahim sebagaimana nasib dan takdir sejatinya.
Pakdhe Pur Sukoharjo Solo telepon minta panduan: “Saya Cuma bisa istighfar saja Cak”. Saya jawab: “Itu cukup Dhe. Istighfar itu yang terbaik dan paling efektif dalam konteks hubungan kita dengan Allah dengan berbagai kamungkinan ketentuan-Nya. Istighfar adalah tindakan pengamanan diri di hadapan kekuasaan Allah atas kita dan Corona serta apapun saja. Ada banyak doa-doa lainnya, yang dari Al-Qur`an langsung maupun yang dari Kanjeng Nabi atau karya-karya para Ulama. Tetapi selamat tidaknya kita tidak terkait dengan jenis doa kita, melainkan bergantung pada bagaimana Allah menilai totalitas taqwa dan tawakkal kita – melalui doa, dzikir, wirid atau bahkan hizb apapun. Pakdhe Pur kan sudah riyadlah terus, puasa 41 hari makan 5 hari. Pakdhe tidur tiap malam di sisi makam Budhe Pur. Insyallah itu sudah sangat baik dan tepat, Pakdhe”.