Kebiasaan Untuk Hidup
Menjelang pertengahan Mei 1988 yang lalu saya diundang baca sajak di Universitas Padjajaran Bandung. Dan seperti biasanya selalu saya didapuk untuk jadi ekor acara: yang lain-lain dulu, baru saya. Saya selalu menjadi ‘orang kesekian’.
Pada April, bersama Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Sutardji Calzoum Bachri, Syu’bah Asa, Abdul Hadi WM dll. ketika kami membacakan puisi di Taman Ismail Marzuki, saya juga dijatah sebagai buntut antrean. Untung tidak sampai ‘kehabisan rangsum’.
Tapi biasanya malah susah. Umpamannya jatah baca cuma sepuluh menit, karena diletakkan terakhir, penonton jadi punya kesempatan untuk mengulur ‘jam kerja’ saya. Di TIM itu jadi satu setengah jam. Di Unpad, malahan sejak paginya saya sudah disediai seorang pemusik untuk pentas bareng saya, karena tampaknya mereka juga merencanakan saya harus ‘kerja lembur’.
Pemusik yang diperkenalkan kepada saya ini seorang solois kasidah. Jago nyanyi Arab dan mumpuni dalam memetik “gitar Arab” yang bentuknya seperti helm lonjong itu. Alat itu aslinya dari Persia, sedang yang asli Arab adalah pukulan gendang atau semacam ‘terbang’ yang iramanya tertentu yang kini ditransfer secara canggih oleh banyak grup kasidah ‘Arab Indonesia’.
Ternyata setelah kami mencoba-coba berlatih, tak sanggup menghasilkan apa-apa yang bisa kami pentaskan malamnya. Jadi tak tahu bagaimana nanti, pokoknya berbekal ‘iman’ saja.
Lha kok malahan jadi. Di tengah baca sebuah puisi, mendadak ada mood yang membikin saya spontan memintanya naik panggung, memintanya memetik suatu nada yang terserah dia tapi pokoknya saya bisikkan: “Pelan dulu, dan usahakan agak sedih tapi sabar”. Ndilalah kok aransemen mendadak kami bisa jalan. The show is running as it arranged before.
Saya jadi ingat ketika pentas di Tinambung Sulawesi Selatan. Mendadak saja grup musik Flamboyan itu saya ‘perintah’ dari panggung untuk membunyikan ketukan gendang, diisi oleh taburan gitar, ditegaskan oleh gong, lantas kami rajut-merajut keindahan. Juga ingat tatkala pentas dengan sobat Zapata Yauw si drummer hitam kelam di Rotterdam: ketika habis latihan ‘formal’ pentasnya malah jelek, ketika tak latihan malah pentas bagus.
Sunnatullah atau hukum alam itu aneh, dan sama sekali tak selalu bisa dikendalikan oleh rekayasa atau cultural engineering yang kita lakukan. Dalam hal-hal tertentu kita harus bersikap konsepsional dalam mengelola hidup, tapi untuk soal-soal tertentu yang kita andalkan adalah kemampuan improvisatoris.
Kemampuan untuk berbuat sesuatu tak harus kita peroleh sebelum sesuatu itu kita perbuat. Kebiasaan untuk hidup tak kita miliki sebelum lahir. Lahir dulu, baru belajar kesanggupan untuk hidup.
Jadi ternyata memang hanya kalau kita tak mengenal sunnatullah saja lantas kita menjadi pengecut menghadapi kehidupan yang wajahnya berupa kebahagiaan namun juga derita, keberlimpahan namun juga kemelaratan, berjabatan tinggi namun juga berkemungkinan jadi gelandangan.
Dokumentasi Progress. Tulisan diambil dari rubrik Secangkir Kopi Harian Masa Kini Yogyakarta Rabu Wage, 15 Juni 1988. Serial tulisan dalam rubrik tersebut kemudian terbit menjadi buku berjudul Secangkir Kopi Jon Pakir oleh penerbit Mizan Bandung