Jobbang, Jokbang, Jombang
Sejak menjelang “Sirna Ilang Kertaning Bumi” (1400 tahun Saka) berakhirnya kerajaan Majapahit yang berlangsung di Bumi Nusantara adalah persaingan, permusuhan dan pertempuran antara Kekuatan Hijau melawan atau dilawan Kekuatan Merah. Bergilir-gilir menang kalahnya.
Sabdopalon Noyogenggong adalah simbolisme kekuatan Merah pasca Majaphit yang kalah mendendam dan bersumpah akan bangkit 500 tahun kemudian (sekitar 1978). Wali Songo adalah kekuatan Hijau yang secara relatif memperoleh kemenangan sehingga lahir Kasultanan Demak, kemudian Pajang dan Mataram.
Ketika kemudian muncul kekuatan dari luar (Eropa, penjajahan) di penghujung abad ke-16, kekuatan Hijau maupun Merah bergeser-geser dari bersatu, pecah, luntur, campur, kabur, merah dalam hijau, hijau dalam merah, hijau tapi merah, merah tapi hijau, dan bermacam-macam dialektika sejarah lainnya sampai hari ini.
Dalam keberlangsungan sejarah Nusantara hari ini, sesudah merasa merdeka dengan Proklamasi 1945, muncul ratusan fenomena ketidakmenentuan, hipokrisi, eufemisme dan kemunafikan. Luar hijau dalamnya merah atau sebaliknya, dianggap merah tapi hijau, mengaku hijau tapi merah, identitas hijau kualitasnya merah, display-nya merah muatannya hijau, agamanya hijau politiknya merah, merah kehijau-hijauan dan hijau kemerah-merahan–serta beribu macam lagi fenomena ekspresi bangsa Nusantara.
Pancasila berniat bikin Jobbang, Ijo mbarèk (bareng, bersama, menyatu) Abang atau Jokbang, Ijo karo Abang. Demikian juga bilhikmah Walisongo mengupayakan dengan banyak cara untuk mencapai itu. Tetapi faktanya sampai hari ini, setelah berabad-abad sejarah, yang berlangsung kuat dan tegak adalah Jombang. Ijo musuh Abang. Sekarang ini Abang sangat berkuasa di Nusantara, sehingga Ijo bertengkar sendiri, pecah belah, bermusuhan sendiri, bahkan bermusuhan dengan dirinya sendiri untuk menata keijoan dan keabangan di dalam dirinya. Maka perlu penerjemahan dan tafsir atau tadabbur baru menjadi Jombbang dengan dua-b: Ijo Mberèk Abang bersatu-padu menjadi kedigdayaan Indonesia,
Dan sekarang, abad ke-21 tahun 2020 menuju 2024: sudah sampai ke puncak kegelapannya. Yang hijau tidak mengerti hijaunya, yang merah tidak paham merahnya. Yang hijau tidak sungguh-sungguh dengan hijaunya, yang merah merajalela dengan ketidaktahuan akan merahnya. Karena kerendahan mutu pengetahuannya, yang hijau menjadi lebai dan ekstrem dengan hijaunya, yang merah tidak sungguh-sungguh menyadari merahnya, sehingga malah sering tampil menjadi pahlawan hijau.
Dari mulut saya terkadang terucap: makanya Indonesia belajar ke Jombang kalau mau selamat masa depannya. Dari kisah berdirinya Jombang, cikal bakal kekuatan sosial budaya dan sosial politik Indonesia yang bermula dari mengalirnya ayat Quran dari Madura ke Jombang, sampai Ludruk, Gambus Mishri, sampai Padangbulan dan kaum yang Allah yang menolongnya (Manshuro, Menturo). Tetapi ucapan saya itu bahkan tidak dipahami oleh Kepala Masyarakat Jin yang paling intelektual pun. Jangankan lagi bangsa Indonesia kontemporer yang bergelimang medsos, kedengkian, fitnah, ketidakadilan berpikir, kecurangan sikap dan kekumuhan mental.