Jiwa Bangsa Hilang Kahyangan
Memandang pantaimu Bali
Batu karang di timur itu adalah seorang Yogi
Duduk bersila dalam samudera.
Tidak bergeming ia oleh gelombangnya
Langit yang perkasa, menyelipkan kembang di telinganya
Bulan cantik berkunjung ke pura dan ia berkata,
“Aku persembahkan nafasku kepada tanah yang merendah
Dan kepada gunung, si pertapa”.
Bangsa Indonesia ini sejak menyatakan merdeka seperti sengaja mengikis kekuatan rohaninya. Sengaja melenyapkan etos “Yogi”, prinsip “Al’Aqilin”, disiplin merenung dan berpikir, serta sengaja menjadi – pakai idiom Allah: “Innahum la ya’qilun”. Mereka menjadi orang-orang yang tidak berpikir. Bukan bangsa yang bertafakkur dan berdzikir. Padahal mayoritas penduduknya adalah Kaum Muslimin.
Di dalam dunia wayang, dengan pementasan wayang kulit yang dirintis dan dikembangkan dengan carangan-carangan oleh Sunan Kalijaga, ada satu lakon berjudul “Semar Mbangun Kahyangan”. Berabad-abad masyarakat menyangka bahwa itu bukan urusan Bumi Mercapada alias dunia ini. Mereka tidak menemukan ide dasarnya yang kritis, bahwa bangsa kita ini semakin lama semakin kehilangan “aspirasi kahyangan” dari jiwanya.
Mereka bersikap simplifikatif dan memandang secara linier bahwa kahyangan adalah kosakata dunia kesenian wayang. Padahal yang dimaksud “mbangun kahyangan” adalah membangun kembali kesadaran keilahian, kesadaran rohaniah, yang memang hampir dikikis total oleh Sekularisme Negara yang kita jalankan. Rakyat anut grubyug saja, karena tak seorang pun bilang bahwa yang mereka sedang jalani adalah Sekularisme. Jangankan menjelaskan apa beda kasus antara Sekularisme dengan Sekularisasi yang dulu diproklamasikan oleh ilmuwan nasional Nurcholish Madjid.
Kita punya “Ketuhanan Yang Maha Esa” di Pancasila, tetapi praktik kehidupan bernegara kita selama hampir tiga perempat abad ini mencerminkan tidak ada kesungguhan dari Pemerintah, Kaum Ilmuwan, para Negarawan dan Kelas Menengah untuk benar-benar mengelaborasi “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi aplikasi-aplikasi sosial, politik, hukum dan budaya.
Kita pilih Negara Republik adalah produk dari kekurangsungguh-sungguhan Bapak Pendiri Negara kita, kurang mempertimbangkan dengan rentang waktu yang panjang. Itu pun setelah memilih bentuk Negara, kehidupan politik kita setelah 70 tahun lebih tidak membuktikan bahwa kita bersungguh-sungguh dalam bernegara. Setiap orang, tokoh dan kelompok, selalu memfokuskan langkahnya demi pelampiasan kepentingan golongannya sendiri.
Kita mengibar-ngibarkan Pancasila tapi semua perilaku kenegaraan dan langkah-langkah Pemerintah adalah copy-paste Sekularisme Global. Tidak ada konteks martabat sebagai bangsa dan manusia. Dalam wacana pemerintahan dan kenegaraan kita tidak ada urusan dengan harga diri bangsa. Bahkan pada pemerintahan yang terakhir ini belum lama berselang terjadi pada sikap pemimpin nasional kita apa yang digambarkan di salah satu bait puisi “Bali” Musik-Puisi Dinasti, kalau Anda memiliki simbolisme-asosiatif dan proyeksial:
Mari Tuan… mari...
“Nah, tuan. Ini tanah kami, tuan. Silahkan beli tuan”
Sepuluh dollar, Sir. Ini seni khas Bali
Tuan-tuan, ini bar and restoran. Itu hotel.
Dan ini gigolo kami, Madame
Tuan-tuan, mari telanjang bulat dengan alam, tuan.
Ya. silahkan copot saja pakaian
Mari rengkuh ombak tuan, ya… bergulung-gulungllah di pasir tuan
Tuan butuh hiburan dan kami perlu uang...
Hanya asosiasi-asosiasi simbolik semacam itu yang penyair sanggup mengungkapkan apa yang sesungguhnya dialami oleh Negeri, tanah air, rakyat dan Pemerintah Indonesia. Apalagi saya sekadar seorang “Penyair Ngasak”. Sungguh perlu dibantu oleh para kaum terpelajar, para ilmuwan, para peneliti, untuk bisa mem-breakdown secara teknis ilmu dan pemetaan akademis, syukur dengan bahasa ungkap yang sederhana sehingga sebanyak mungkin masyarakat dan rakyat Indonesia memahaminya.
Demi Allah, saya menyaksikan, mengalami dan sangat berprihatin bahwa mayoritas rakyat kita benar-benar tidak mengerti nasib mereka, tidak memahami apa yang sedang menimpa mereka, apalagi yang akan menimpa mereka di masa depan. Rakyat sama sekali tidak pernah mendapatkan peluang pendidikan politik dan kenegaraan. Mereka hanya kuda-kuda tunggangan massal, yang di punggung mereka duduk gagah putra-putri mereka sendiri yang mereka sekolahkan dengan membiayainya melalui kerja keras yang luar biasa. Namun mereka hanya dieksploitasi, dijadikan sapi perah, dijadikan objek tipudaya, sehingga secara berkala selalu ada proyek demi proyek pembodohan kepada mereka.